Saya rasa semua orang tau betul, betapa besarnya pengaruh pandemi Covid-19 terhadap kehidupan manusia. Bukan hanya dalam persoalan ekonomi, tapi juga sosial, pendidikan, bahkan sampai masalah spiritual. Mau tak mau, manusia harus beradaptasi, tak ada jalan mundur. Tidak ada gunanya juga jika terus mengelu-mengelukan kehidupan sebelum pandemi. Capek? Jelas. Bosan? Semuanya juga. Kesal? Sabar. Mau bagaimana lagi? Jarum jam tidak akan bergerak ke kiri.
Tidak baik bagi mental kita kalau terus terjebak di masa lalu. Ayo beranjak lah, banyak kok peluang yang hadir akibat pandemi ini. Coba kita renungin deh, dulu kita ikut seminar berapa kali sih dalam sebulan? Dalam setahun aja mungkin masih bisa dihitung pakai jari. Tapi sekarang, webinar sudah menjamur banget. Bahkan bukan ga mungkin kalau kita bisa ikut tiga seminar atau lebih dalam sehari.
Dari sudut pandang panitia pun, secara umum, jadi lebih mudah mencari peserta. Kalau dilakukan secara luring mungkin peserta yang hadir tidak sampai ratusan. Tapi seminar yang dilakukan secara daring, atau biasa disebut webinar, akan lebih mudah untuk mendapatkan peserta diatas 100. Tentu ada banyak faktor yang membuat seminar atau webinar nya laku, tapi secara umum seperti itu, bukan?
Contoh lain, bagi mereka yang masih sekolah atau kuliah, akibat belajar daring sekarang jadi lebih mudah untuk mengulang materi yang disampaikan di kelas. Hal tersebut disebabkan ada fitur recording didalam aplikasi online meeting yang biasa digunakan seperti Zoom atau Google Meet.Â
Sebelum masuk lebih dalam, saya ingin membuat disclaimer agar para pembaca dapat lebih mengerti mengenai sudut pandang yang akan saya bawa. Perlu diketahui mungkin dalam artikel ini ada kalimat-kalimat yang bisa membuat Anda marah. Namun, melalui tulisan ini saya hanya ingin menghidupkan diskusi, bukan memancing emosi. Tidak ada niatan lain selain itu. Jika tidak bisa dan Anda tetap terbawa perasaan, cobalah untuk berdiskusi dengan baik.
Tahun ini pemerintah mengeluarkan kebijakan yang cukup banyak menjadi bahan pembicaraan, apalagi di sosial media, yaitu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Sampai artikel ini dipublikasikan, aturan yang terbaru adalah PPKM level 4 yang sebelumnya disebut sebagai PPKM darurat.Â
Tujuan utamanya adalah membatasi mobilitas masyarakat dengan harapan dapat menekan atau bahkan menurunkan laju peningkatan penyebaran Covid-19. Dasar dari penerapan PPKM level 4 yang berlaku ketika artikel ini dipublikasikan adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2021. PPKM level 4 ini merupakan kelanjutan dari PPKM darurat, dilakukan karena Indonesia belum mengalami pelandaian kasus yang signifikan.
Sudah tentu kebijakan ini akan menimbulkan pro-kontra. Mereka yang pro, biasanya akan mengambil sudut pandang perbaikan kesehatan. Sedangkan mereka yang kontra biasanya akan mengambil sudut pandang pemulihan ekonomi. Namun, yang ingin saya soroti adalah bagaimana masyarakat hanya ingin "menang sendiri". Saya adalah masyarakat, dan saya akan mengkritik masyarakat itulah kenapa saya sebut ini sebuah otokritik. Baca lebih lanjut supaya paham.
Setiap kali ada postingan terkait PPKM di sosial media, saya melihat kolom komentar selalu dipenuhi orang yang mengeluh dan marah kepada pemerintah. Sebagai manusia, saya paham betul bagaimana ujiannya ketika PPKM diberlakukan. Banyak orang jadi kesulitan dalam mencari uang.
Tapi masyarakat seolah-olah lupa, pembatasan yang terus berlanjut ini karena kasus Covid-19 yang naik terus melonjak. Dan kasus Covid-19 yang selalu naik sangat dipengaruhi oleh bagaimana tidak komitmennya usaha masyarakat supaya pandemi ini selesai.
Yang pertama adalah bagaimana kesadaran masyarakat menegakkan protokol kesehatan. Ingat bahwa protokol kesehatan itu bukan hanya sekedar memakai masker. Didalam protokol kesehatan mengatur juga bahwa masyarakat harus MENJAGA JARAK. Poin ini sering diabaikan. Selama diberlakukannya new normal, seberapa baik masyarakat dalam menjaga jarak? Saya yakin semua orang akan bilang hanya sedikit sekali yang benar-benar peduli untuk menjaga jarak. Cobalah lihat betapa sangat minimnya kepatuhan protokol kesehatan di pasar.
Bahkan dalam urusan memakai masker saja, masih banyak yang tidak benar menggunakannya. Ada yang meletakkan masker didagu. Ada yang tidak mengganti masker setelah dipakai selama 4 jam. Ada yang membuat masker nya lecek atau basah. Sampai-sampai, masih ada saja yang menggunakan masker scuba. Atau malah hanya menggunakan face shield tapi tidak menggunakan masker.
Kasus lain adalah ketika Bulan Ramadhan 1442 H dimana pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Namun, masih saja ada masyarakat yang mudik. Pemerintah menyebutkan ada 1,5 juta orang yang tetap mudik. Untungnya jumlah tersebut sudah lebih kecil dibanding perkiraan jumlah pemudik. Masih ingat kah video yang viral menunjukkan sepasang suami istri pengendara mobil yang marah-marah kepada petugas ketika disuruh putar balik ketika ada penyekatan?
Belum lagi pembodohan yang terjadi di masyarakat tentang Covid-19. Ada yang bilang virus ini hoaks. Ada yang bilang pandemi ini konspirasi dan argumen aneh lainnya. Bahkan yang berbicara adalah seorang musisi yang jelas-jelas bukan seorang yang ahli dalam bidang medis.
Kalau para pekerja ingin dipahami. Maka tenaga medis juga mau. Perlu dipahami bahwa kondisi rumah sakit sudah penuh. Bukan hanya sekedar penuh, pasien bahkan harus mengantri supaya mendapat perawatan. Tidak main-main, kapasitas yang penuh adalah kapasitas ruang ICU. Selain itu, oksigen juga semakin langka. Sudah banyak cerita di media sosial anggota keluarga seseorang yang harus meregang nyawa karena tidak sempat mendapatkan supply oksigen. Di media sosial juga sudah seringkali kita temukan broadcast orang-orang yang membutuhkan plasma konvalesen, oksigen, dan lain sebagainya.
Semua pihak harus mau bekerja sama menyelesaikan pandemi ini, jangan merasa paling menderita karena semua pihak juga menghadapi masalah yang berat. Marah-marah hanya akan memperkeruh suasana dan memutus tali kerjasama yang dibutuhkan saat ini. Apalagi pandemi ini tidak bisa dilihat melalui satu sudut pandang. Dibutuhkan sudut pandang holistik dan sistemik untuk menyelesaikannya.
Kritik memang dibutuhkan, namun ingat bahwa kita sebagai masyarakat juga harus bisa mengintrospeksi diri kita. Jangan apa-apa menyalahkan pemerintah. Memang pemerintah juga belum paripurna dalam mengatasi pandemi. Justru disitu lah yang harus menjadi titik awal kita bergotong royong.
Selain kebijakan, pemerintah sebagai pemimpin harus bisa menjadi teladan. Jangan sampai ada lagi petinggi partai penguasa yang malah berpesta ria, tanpa ngejalanin protokol kesehatan pula! Jangan sampai ada lagi pejabat yang merasa lebih dipentingkan untuk dirawat dibanding warga yang bukan pejabat. Jangan sampai ada lagi keluarga pejabat yang keluar negeri untuk bulan madu/kegiatan tidak penting lainnya disaat orang lain harus sabar diam dirumah. We are all in this together.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H