Diakhir penghujung tahun 2019, tepatnya pada bulan Desember muncul Virus SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) atau lebih dikenal sebagai Corona Virus Disease (COVID)-19 (Koronavirus atau virus korona dalam Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia). Virus korona adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernafasan yang bisa berujung pada kematian, seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang terjadi saat ini. Virus ini diduga berasal dari Kota Wuhan yang merupakan kota terbesar ketujuh di Tiongkok.
Dokter spesialis paru-paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan mengungkapkan, virus korona pada umumya dapat ditularkan secara langsung melalui droplet atau percikan air liur. Ketika seseorang yang terinfeksi virus korona batuk atau bersin, droplet atau percikan air liur tersebut dapat menginfeksi orang lain dalam jarak kurang dari satu meter. Selain itu, penularan virus korona dapat menyebar secara tidak langsung, yaitu droplet atau air liur orang yang terinfeksi virus korona jatuh menyentuh benda yang terkontaminasi sehingga tangan penyentuhnya ikut terinfeksi.
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) akhirnya menetapkan kejadian 2019-nCoV ini sebagai “Pandemi” setelah 114 negara tercatat memiliki kasus virus korona dengan tingkat penyebaran dan keparahan yang sangat mengkawatirkan. Pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar ke banyak orang dan akan bertambah signifikan serta berkelanjutan secara global dalam kurun waktu yang singkat secara bersamaan. Bahkan di beberapa negara lainnya penyebaran virus korona belum mencapai pada puncaknya.
Dilansir data website Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan COVID-19 Pemerintah Pusat bersumber dari WHO (15/05/2020), total kasus virus korona di dunia sudah terkonfirmasi sebanyak 4.347.935 kasus dari 216 negara. Dari jumlah tersebut, sebanyak 297.241 pasien meninggal dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri, tercatat sebanyak 16.496 yang sudah terkonfirmasi positif. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.649 pasien sembuh, 1.076 pasien meninggal dunia dan sisanya masih dalam tahap perawatan.
Segala bentuk langkah dan upaya pemerintah terus dilakukan dalam penanganan serta pencegahan demi mengurangi tingkat penyebaran virus korona. Pemerintah melakukan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masing-masing daerah agar masyarakat dapat mematuhi imbauan. Selain itu, tagar #stayathome (dirumahaja) dengan Gerakan Work From Home (WFH) yaitu kebijakan bekerja dari rumah, ibadah dari rumah, belajar dari rumah dan segala aktivitas yang dilakukan dari rumah diserukan untuk mengurangi penyebaran COVID-19.
Meskipun sudah ada imbauan demikian, tetap saja sebagian masyarakat harus keluar rumah untuk melakukan berbagai aktivitas yang tidak dapat dikerjakan dari rumah. Untuk itu, imbauan wajib menggunakan masker saat hendak bepergian dan melakukan sterilisasi dengan mencuci tangan menggunakan sabun atau handsinitizer hendaknya dilakukan. Sebab, tak dapat memungkiri bahwa ketika sedang berkegiatan diluar rumah seseorang akan berinteraksi dengan orang lain dan dapat berindikasi pada penyebaran virus korona. Maka imbauan social distancing (jaga jarak) ini diterbitkan melalui peraturan pemerintah dengan melakukan komunikasi atau sosialisai berjarak lebih dari satu meter karena dikhawatirkan droplet atau percikan air liur yang sudah terkontaminasi dapat menyebar ke orang lain.
Pada kenyataannya, imbauan pemerintah nampaknya masih belum dirasa efektif dan maksimal diterapkan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan imbauan Work From Home (WFH) menjadi suatu kultur yang baru selama pandemi COVID-19. Masyarakat yang berdiam terlalu lama di rumah akan merasakan jenuh, stress dan gelisah akibat tidak adanya kegiatan produktif. Tingkat kemungkinan untuk terserang penyakit pun menjadi tinggi, seperti penyakit demam kabin (cabin fever) yang akan berdampak pada kesehatan mental.
Menurut kamus Mirriam-Webster, istilah demam kabin muncul pertama kali pada tahun 1918 untuk menggambarkan kondisi orang-orang yang terisolasi di kabin karena udara yang sangat dingin, sehingga tidak memungkinkan untuk keluar. Demam kabin ini akan memicu pada emosi dan perilaku negatif akibat kondisi psikologis yang tertekan atau kegelisahan yang dialami seseorang ketika terisolasi dalam ruang yang terbatas dengan waktu yang lama.
Pada kondisi tersebut seseorang akan lebih mudah marah, depresi, bosan, putus asa, motivasi menurun, lemah lesu dan mudah tersinggung. Demam kabin memang bukan gangguan psikologis tetapi dampaknya bisa dirasakan secara psikologi. Bahkan, demam kabin tidak hanya dapat dialami oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak.
Disisi lain, diksi social distancing menjadi imbauan yang kurang tepat diterapkan pemerintah pada masyarakat ketika hendak berkegiatan di luar rumah. Dengan adanya imbauan tersebut, masyarakat seakan-akan menjaga jarak sosial antar sesama yang dikhawatirkan dapat menyebabkan isolasi sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat menjadi seakan-akan lebih mengutamakan dirinya sendiri (individualisme) dibandingkan antar sesama (pluralisme).
Akibatnya, muncul rasa paranoid dan tak acuh terhadap orang lain karena kekhawatiran terinfeksi virus korona ini. Bahkan, jika sampai ada tetangga yang menjadi pasien positif terinfeksi virus korona, masyarakat diharapkan tidak membuat suatu spekulatif atau framing buruk kepada pasien atau keluarganya yang seolah-olah menyudutkan karena khawatir akan tertularnya virus korona.