Mohon tunggu...
Muhammad Nabil Muallif
Muhammad Nabil Muallif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Walisongon Semarang

“Bermanfaat bagi orang lain”.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mereka yang Menyatarakan Dengkulnya dengan Akalku

9 Juli 2021   11:00 Diperbarui: 9 Juli 2021   11:02 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

     Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi terjadi pemberedelan kebebasan berpikir yang dilakukan oleh pemerintah. Kritik yang sudah selayaknya menjadi nutrisi bagi pemerintah, malah dianggap sebagi momok yang harus disingkirkan, bahkan sebuah kritik dianggap sebagai penghinaan. Padahal kritik dan penghinaan adalah dua hal yang sangat berbeda, namun seringkali dikaburkan maknanya oleh para akademisi amoral yang menjadi penyembah dan penjilat kekuasaan, sehingga pengaburan itu menyebabkan ambiguitas pemahaman yang tejadi di kalangan masyarakat.

     Sejarah Indonesia mencatat bahwa pembatasan kebebasan berpikir dan berpendapat telah terjadi selama masa Orde Baru. Rezim Soeharto yang terkenal dengan keotoriterannya, akan mempersekusi siapa saja yang berani mengkritik pemerintah, bahkan hanya sekedar berbeda pandang. Peristiwa itu terbukti dengan banyaknya para tokoh, aktivis, dan masyarakat yang dijebloskan ke dalam jeruji besi. Setelah Orde Baru tumbang dan terjadi Reformasi pada tahun 1998, barulah kebebasan berpendapat dan berekspresi mendapat angin segar. Hal itu dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 23 ayat (2). Namun ironisnya, meski sudah dua dasawarsa lebih kita hidup dalam bingkai reformasi yang digaungkan sebagai zamannya bebas berpendapat dan berekspresi, akan tetapi,  kini, kebebasan itu mulai dibungkam oleh rezim yang katanya paling pancasilais.

     Masa dua periode telah membuktikan kegagalan seorang Presiden dalam mengemban amanah. Terlebih lagi kegagalan itu terlihat dan terbukti dengan kegagapannya dalam menangani penyebaran virus korona, yang di saat bersamaan, negara lain sudah safe zone. Kebijakan yang simpang siur, omongan yang kontradiksi, korupsi yang tiada henti, hingga obral janji, semua itu menandakan kegagalan dan kecacatan penguasa dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan. Sudah gagal memerintah, bodohnya lagi, jika ada orang yang mengkritik dan mengingatkan  malah ditangkap dan dipersekusi. Mereka mencoba dengan paksa untuk menyetarakan akal rakyat dengan dengkul mereka yang tak berisi, tentu tidak akan bisa! Maka tak salah jika rezim saat ini bisa disebut juga rezim Neo Orde Baru.

     Rezim Neo Orde Baru adalah Rezim lanjutan yang berbeda hanyalah dalam peranannya dan jika Orde Baru dahulu berlatar belakang militer, maka kini, Orde Baru berlatar belakang tukang kayu dan para penipu. Lebih parah memang dibanding dengan pendahulunya. Rezim ini tidak akan pernah memperdulikan rakyat kecil. Karena sesungguhnya mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak peduli rakyat sengsara atau tidak, rakyat bisa makan atau tidak, rakyat bisa tidur atau tidak, yang terpenting bagi mereka adalah proyek (korupsi) mereka bisa berjalan dengan baik dan lancar, sehingga dari proyek tadi bisa menghidupi keluarga dan kerabat mereka. Omong kosong nasionalisme yang selalu mereka gaungkan, karena sesungguhnya tidak ada nasionalisme sama sekali di benak dan pikiran mereka. Itu hanya sebagai 'tanda' agar mereka tidak dimusuhi oleh rezim atau lebih tepatnya, bersembunyi di selangkangan penguasa.

     Bersebab kegilaannya akan jabatan dan ketakutannya akan kehilangan kekuasaan, Rezim saat ini mulai memberedel dan membungkam ruang berpendepat dan berekspresi dengan ditetapkannya pasal karet, UU ITE. Siapa saja yang berani mengkritik dan melawan, akan dikenakan dengan pasal ini sebagai 'tanda' matinya kebebasan berpikir. Itulah mengapa negara kita sangat susah untuk menjadi negara maju. Mereka menginginkan negara ini maju, padahal mereka sendirilah yang menghalangi itu semua. Jadi, salah satu yang menjadi penyebab negara Indonesia tidak maju adalah para panguasa yang menghalangi, membungkam, bahkan mempersekusi kebebasan berpikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun