Mohon tunggu...
Pendidikan

Teungku Fakinah, Panglima Wanita dari Serambi Mekah

21 April 2019   16:07 Diperbarui: 21 April 2019   16:15 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahukah kamu siapa saja tokoh dibalik Perang Aceh? Cut Nyak Dien? Teuku Umar? Pasti tahu dong. Tapi apakah kalian mengenal Teungku Fakinah? Sosoknya ini jarang dikenal namun memiliki peranan yang sangat penting loh bagi perang Aceh.

Siapa sih sebenarnya Teungku Fakinah itu?

Indonesia ternyata kaya oleh pahlawan muslimah yang luar biasa perjuangannya bagi bangsa. Dan Aceh adalah salah satu wilayah yang menyimpan mutiara sejarah kiprah perempuan dalam jihad. Adalah Teungku Fakinah, nama pahlawan muslimah itu. Bukan perempuan biasa. Beliau adalah ulama sekaligus panglima perang. Tak hanya mumpuni ilmu agama, tapi ilmu kemiliteran beliau juga piawai.

Wanita yang juga dikenal dengan nama Teungku Faki ini lahir sekitar tahun 1856 M di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Ayahnya adalah Datuk Mahmud, seorang petinggi kesultanan Aceh Darussalam, dan ibunya Cut Fathimah merupakan putri dari Teungku Muhammad Sa'at, seorang ulama sekaligus tokoh pendidikan di Aceh. Maka tak heran, di dalam dirinya mengalir darah umara dari sang ayah dan darah ulama dari garis sang ibu.

Jelang pecahnya Perang Aceh, Teungku Fakinah sempat mengikuti pendidikan militer. Di pendidikan militer itu, ia pun bertemu dengan Teungku Ahmad, seorang ulama dan juga perwira muda. Pada 1872, mereka menikah. Namun sayangnya, setahun kemudian, tepatnya pada 8 April 1873, Teungku Ahmad gugur dalam suatu peperangan melawan Belanda.

Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinah tergerak untuk membentuk badan amal guna mengumpulkan sumbangan dari masyarakat untuk diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan bersama kaum perempuan lainnya. Badan ini juga bertugas membantu persiapan gerilya. Tak puas dengan itu, ia pun menghadap Sultan Daud Syah, yang merupakan Sultan Aceh pada saat itu untuk meminta izin membentuk pasukan. Setelah diberi izin, lantas Teungku Fakinah membentuk pasukan yang terdiri dari 4 regu yang salah satu regunya terdiri dari kaum perempuan.

Teungku Fakinah pernah menantang suami dari Cut Nyak Dhien, Teuku Umar untuk berperang. Ini terjadi akibat membelotnya Teuku Umar ke kubu Belanda. Namun akhirnya terungkap apa yang dilakukan Teuku Umar ini semata hanya untuk taktik yang nantinya juga dapat menguntungkan pihak Aceh karena dapat tambahan amunisi dan uang yang berhasil diambil dari pihak Belanda.

Suatu waktu, Teungku Fakinah pernah memimpin pasukan yang harus melindungi banyak perempuan. Dalam perjalanan ini, beliau sebisa mungkin menyempatkan diri untuk mengajar remaja-remaja putri yang ikut bergerilya. Seorang panglima yang bernama Polem melihat itu dan menyadari bahwa Teungku Fakinah lebih cocok dan dibutuhkan untuk mendidik generasi penerus bangsa daripada ikut berperang mengorbankan nyawanya di medan gerilya. Lantas Panglima Poem memberi tahu Teungku Fakinah tentang hal ini dan beliau pun menurutinya. Teungku Fakinah kemudian membuka kembali perguruan agama ayahnya.

Pada 1911, Teungku Fakinah mendirikan perguruan agama khusus perempuan. Setelah resmi berdiri, para perempuan yang terdiri dari anak-anak, remaja putri bahkan wanita paruh baya terutama janda yang suaminya gugur dalam perang banyak yang datang untuk belajar di perguruan ini. Perguruan ini dikenal dengan nama Yayasan Pendidikan Agama Islam Hadjah Fakinah.

Beliau menghabiskan sisa hidupnya untuk membesarkan perguruan agama ini. Hingga pada 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M,  Teungku Fakinah menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya di Kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun. Kepergiannya memberikan rasa duka cita yang sangat mendalam, khususnya bagi para muridnya dan simpatisan seluruh Aceh Besar, bahkan Aceh Timur, Aceh Barat dan Pidie.

Kiprah Teungku Fakinah sebagai panglima perang, memobilisasi dapur umum, dan menggerakkan para wanita untuk lebih aktif berjuang menunjukkan bahwa seorang muslimah bisa aktif berperan di luar rumah tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Islam bukan agama yang anti emansipasi wanita. Semua memiliki peran masing-masing, baik yang di dalam rumah maupun di luar rumah. Kalaulah semua memilih diam di rumah, maka tak akan ada sosok panglima perang seperti beliau ini, dan tak ada sosok-sosok perempuan tangguh penegak agama Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun