Mohon tunggu...
Nabilla Tashandra
Nabilla Tashandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Laman iseng. Senang memerhatikan dan mengomentari hal acak, banyak mendengar musik tapi bukan pemusik. Bukan juga jurnalis musik.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Umroh Mandiri, Worth It atau Sulit?

18 Desember 2024   23:01 Diperbarui: 19 Desember 2024   18:03 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah saya baru saja menyelesaikan umroh mandiri dengan total perjalanan Jakarta-Jeddah-Jakarta 7 hari pada pertengahan November lalu.

Rasanya masih membekas di ingatan, nyaringnya bunyi adzan di pelataran Masjidil Haram dan riuhnya orang-orang di sekitar Ka'bah, yang tentunya membuat saya ingin mengunjunginya lagi lain waktu.

Namun poinnya bukan itu. Selain bersyukur (akhirnya) bisa menginjak Tanah Suci, saya juga bersyukur karena bisa terwujud pula keinginan saya sejak lama untuk umroh ketengan alias umroh mandiri atau tanpa didampingi agen tur.

Nah, pertanyaannya -yang juga beberapa kali saya terima- apakah umroh mandiri worth it? Atau justru bikin sulit?

Bagi saya, worth it! Dan saya nggak menyesal pergi tanpa pendampingan agen tur. Berikut beberapa alasannya, termasuk jika Anda berpikir ingin mencobanya.

*Disclaimer: umroh mandiri memang memungkinkan kita untuk lebih menghemat biaya. Tapi, cara ini tidak untuk semua orang. Demi kenyamanan dan keamanan.

Alasan kenapa umroh mandiri layak dicoba

1. Biaya lebih murah

Umroh mandiri artinya pergi sendiri, memesan tiket pesawat dan kamar hotel sendiri, naik transportasi sendiri, semuanya sendiri.

Sekadar gambaran, total tujuh hari perjalanan saya dan dua rekan saya menghabiskan kurang dari Rp 20 juta untuk semua kebutuhan (kecuali oleh-oleh yang berbeda-beda setiap orangnya). 

Biaya ini masih bisa ditekan seandainya kami lebih irit lagi, terutama di aspek makanan dan minuman. Namun, hemat bukan berarti merana. 

Satu, kami pengin mencoba makanan dan minuman di tempat baru yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Dua, jangan juga asal makan sehingga kesehatan dikorbankan.

Salah satu yang bikin boncos di makanan dan minuman adalah kopi. Satu kali beli kopi kami bisa habis di atas 50 SAR (lebih dari Rp 214.000). Tapi karena kami memang ingin nyoba kopi lokal, maka ya itulah biaya yang mesti dikorbankan. Bisa lebih hemat? Tentu bisa! Misalnya dengan memanfaatkan kopi complimentary dari hotel.

Mencoba salah satu kopi viral di Mekkah, Arab Saudi. (foto: dok pribadi)
Mencoba salah satu kopi viral di Mekkah, Arab Saudi. (foto: dok pribadi)

Biaya penerbangan juga bisa lebih murah seandainya kami memilih LCC (low-cost carrier). Alih-alih memilih penerbangan seperti Air Asia, kami memilih Oman Air (rute Kuala Lumpur-Jeddah) dan Qatar Airways (rute Jeddah-Jakarta) karena memang ingin mampir ke Oman dan Qatar. Selain itu, dua maskapai tersebut juga sudah termasuk bagasi 25 kg dan 30 kg, sehingga sangat membantu. Ingin lebih hemat? Bisa! Pilihlah LCC.

Kontra: meski beberapa aspek bisa ditekan, biaya juga bisa saja membengkak jika tak berhati-hati. Untuk itu, perencanaan biaya sangat penting untuk dilakukan sebelum berangkat. Selama perjalanan pun penting untuk rutin melakukan penghitungan pengeluaran. 

Untuk diketahui, meski pergi mandiri, saya dan kedua teman saya beberapa kali melakukan technical meeting sebelum berangkat dan membahas perjalanan secara rinci, mulai dari menyusun itinerary hingga perencanaan biaya.

2. Jadwal ditentukan sendiri

Hal lain yang terasa convenient ketika pergi umroh mandiri adalah jadwal yang fleksibel dan dapat ditentukan sendiri. 

Saya, misalnya, saat pergi umroh mandiri ini memilih untuk transit di Muscat (Oman) dan Doha (Qatar), "luntang-lantung" hanya buat tahu dua kota itu saja. Apalagi, saya tidak langsung terbang ke Jeddah dari Jakarta, tapi dari Kuala Lumpur, yang mana perlu meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk transit.

Tapi memang itulah yang kami mau dan kami menikmati itu. Meskipun artinya total durasi perjalanan kami lebih dari 24 jam sekali jalan.

Sementara ketika pergi bareng tur atau rombongan, tentu kita harus mengikuti jadwal bersama dan toleran dengan jadwal tersebut.

Ketika jadwal ditentukan sendiri, kita dan rekan seperjalanan juga bisa lebih fleksibel mengubah-ubahnya jika ada tempat yang tiba-tiba ingin dituju, atau terjadi sesuatu selama perjalanan sehingga terpaksa mengubah jadwal.

Kontra: jadwal yang disusun sendiri ini bakal lebih menantang bagi orang-orang yang belum terbiasa pergi ke luar kota/negeri sendiri, karena bisa-bisa ada agenda utama yang justru terlewat. Tapi, apakah nggak bisa? Bisa saja. Asalkan dibekali penjadwalan yang tidak matang.

3. Belajar eksplorasi

Terkadang, sebagian orang menilai ada seni di balik ketidakpastian. Termasuk saat melakukan perjalanan.

Nyasar,  kendala bahasa, dan hal-hal tak terduga lainnya adalah sesuatu yang bikin perjalanan menjadi terasa seru. Hal-hal ini juga yang membuat kita belajar sehingga tahu harus melakukan apa jika lain kali menemukan kendala serupa.

Hal yang lebih berkesan buat saya, eksplorasi di tempat baru atau asing membuat kita lebih kenal diri sendiri. Deep, isn't it? Apalagi kalau kita punya kesempatan untuk jalan sendiri. Nggak ada orang lain yang bisa kita andalkan kecuali diri sendiri. 

Sekalipun bareng dengan orang lain, dalam hal ini saya bareng dua orang teman, kami tetap bisa mengeksplorasi sekitar.

Menyusuri Mutrah Souk di Muscat pagi hari -yang ternyata masih sepi karena kehidupan di Timur Tengah gini seringkali dimulai sore atau malam hari, nyaris tersesat di Al-Balad Jeddah karena lagi ada pembangunan di mana-mana, sampai nyobain naik bus wisata di Madinah -meskipun bikin nyesal karena kejebak macet saat rush hour alias bubaran shalat Isya.

Pemandangan dari dek bus wisata Madinah. (foto: dok pribadi)
Pemandangan dari dek bus wisata Madinah. (foto: dok pribadi)

Ini baru soal tempat. Belum lagi soal bertemu orang-orang baik, seru, nyebelin, dan ajaib sepanjang perjalanan. 

Misalnya, pernah nggak sih bayangin naik uber, sopirnya nggak bisa Bahasa Inggris dan kamu nggak bisa Bahasa Arab? Kami mengalami itu dan sialnya saya selalu disuruh duduk di bangku sebelah sopir. Sepanjang jalan (karena sopirnya maksa banget ngajak ngobrol meski tahu saya nggak bisa Bahasa Arab) kami terpaksa ngobrol lewat Google Translate yang ternyata ribet banget jika dilakukan di situasi kayak gitu. 

Tapi, yah, hikmahnya kita tidak boleh tinggi hati. Di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung. Dalam konteks ini, Bahasa Inggris memang bahasa universal, tapi kita nggak bisa memaksakan masyarakat sekitar. Mau nggak mau kita juga harus bisa sedikit bahasa lokal mereka jika sedang di suatu tempat, atau buruk-buruknya harus mau repot ngobrol pakai tools macam Google Translate.

Kontra: lagi-lagi, jika tidak terbiasa pergi ke luar kota/negeri sendiri, menerjunkan diri di tempat baru bisa berbahaya bagi kita. Lagi-lagi bukan berarti nggak bisa. Perencanaan matang penting di sini.

Madinah yang cantik. (foto: dok pribadi)
Madinah yang cantik. (foto: dok pribadi)

Apa lagi, ya?

Intinya, umroh mandiri worth it bagi saya. Lain waktu, saya ingin banget mencoba umroh transit, jika memang sudah ada uangnya :)

Kalau saya bisa, kamu juga pasti bisa, selama ada niat.

*poin bakal saya tambahkan jika kepikiran hal lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun