Demam Berdarah Dengue (DBD) termasuk jenis penyakit arbovirus yang ditularkan oleh dua jenis vektor nyamuk yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus dan merupakan masalah utama penyakit di dunia, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Penyakit DBD sendiri masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia. Menurut data yang diperoleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2017, dilaporkan jumlah kasus DBD di Amerika menurun secara signifikan sebesar 73%, dari 2.177.171 di tahun 2016 menjadi 584.263 kasus, selain itu Panama, Peru, dan Aruba merupakan negara yang terdaftar dengan peningkatan kasus selama 2017. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Pada tahun 2018, tercatat 65.602 kasus, dan jumlah tersebut meningkat secara signifikan pada tahun 2019 menjadi 138.127 kasus. Esai ini bertujuan untuk menganalisis berbagai tantangan yang dihadapi dalam penanggulangan penyakit demam berdarah (DBD), serta mengevaluasi peran strategis kesehatan masyarakat dalam mengatasi tantangan tersebut dan meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit.
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu mausia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Setelah itu virus yang terdapat di kelenjar liur nyamuk akan berkembang biak dalam waktu 8 hingga 10 hari (periode inkubasi ekstrinsik) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan berikutnya. Setelah virus berhasil masuk dan berkembang dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus tersebut sepanjang sisa hidupnya (infektif).
Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, selama 20 tahun pengamatan, kasus demam berdarah (DBD) di Indonesia umumnya meningkat selama musim hujan. Hal ini disebabkan oleh peningkatan populasi vektor nyamuk karena sanitasi yang buruk dan telur nyamuk yang menetas setelah penampungan air terisi. Musim hujan juga meningkatkan jumlah nyamuk dan kelembaban, yang mendorong aktivitas nyamuk untuk menggigit manusia, terutama karena orang cenderung lebih banyak tinggal di dalam rumah. Selain itu, durasi hidup nyamuk yang lebih lama selama musim hujan meningkatkan risiko penularan virus dengue. Oleh karena itu, kasus DBD cenderung meningkat selama musim hujan.
Peran kader kesehatan dalam menanggulangi DBD antara lain, penyuluhan di rumah-rumah dan tempat umum; memberikan penyuluhan kepada keluarga dan masyarakat; mencatat dan melaporkan hasil Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) kepada kepala dusun atau puskesmas secara rutin minimal mingguan dan bulanan; mencatat dan melaporkan kasus kejadian DBD kepada rukun warga (RW), kepala dusun atau puskesmas; melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan pemberantasan DBD secara sederhana seperti pemberian bubuk abate dan ikan pemakan jentik. Keaktifan kader kesehatan dalam memantau lingkungannya diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan keaktifan jumantik melalui motivasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Selain itu, langkah pencegahan meliputi penggunaan obat nyamuk sesuai dosis dan petunjuk, memakai kelambu saat tidur, menanam tanaman pengusir nyamuk seperti lavender dan zodia, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk di kolam atau bak mandi, menghindari area gelap di dalam rumah dengan mengatur ventilasi dan pencahayaan, serta menambahkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H