Mohon tunggu...
Nabilla DP
Nabilla DP Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Ibu dua anak yang doyan bepergian. Ngeblog di bundabiya.com dan bundatraveler.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengintip Praktik Baik Merdeka Belajar dari Sekolah Alam

31 Mei 2023   12:52 Diperbarui: 31 Mei 2023   13:35 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembuatan proyek sekolah di rumah (sumber: dokpri).

"Tidak ada ujian akhir semester di sekolah ini, Bu. Penilaian kami lakukan melalui outbond selama tiga hari dua malam dan pentas untuk mengasah keberanian."

Untaian kalimat dari wali kelas anak saya cukup melegakan. Saya tidak perlu pusing memikirkan ujian tulis seperti wali murid di sekolah lain. Akan tetapi, pada satu sisi, saya pun berdebar membayangkan melepas anak saya untuk outbond di luar kota selama tiga hari dua malam. Sebelumnya, anak saya sudah pernah outbond dua hari satu malam dengan menginap di sekolah.

Anak saya bersekolah di Sekolah Alam di Surabaya. Sejak melakukan survei, saya sudah tahu bahwa sekolah yang akan saya tuju memiliki keunikan dan berbeda dari beberapa sekolah lain di Surabaya. Tidak ada pekerjaan rumah, ada pembagian kelas besar dan kelas kecil untuk Sekolah Dasar (SD), tidak ada tes calistung pada saat proses penerimaan, dan yang paling unik lagi, anak saya sudah diajarkan untuk mengikuti outbond meski masih kelas 1 SD.

Ketika mengetahui konsep Merdeka Belajar, sebagai wali murid saya pun menilai bahwa ada kesamaan prinsip dan konsep seperti di Sekolah Alam. Bahkan pada beberapa aspek, Sekolah Alam sudah lebih dulu menerapkan.

Melalui tulisan ini, saya membagikan praktik baik untuk mendukung Semarak Merdeka Belajar yang dapat kita ambil dari Sekolah Alam di Surabaya. Kali ini, saya menulis dari sudut pandang sebagai wali murid yang turut berpartisipasi dalam upaya pendidikan di sekolah anak. 

Merdeka Belajar: Belajar dengan Cara yang Menyenangkan

Apakah sekolah itu terasa menyenangkan? Harusnya bisa demikian. Sekolah anak-anak pada hari ini sebaiknya bisa memberikan metode belajar dengan cara yang lebih menyenangkan. Saya teringat pada masa saya masih di Sekolah Dasar, sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi saya untuk belajar. Saya pernah ditertawakan karena terlalu asyik bermain di kolam ikan hingga tercebur, pernah dimarahi guru karena mendapat nilai 40 untuk pelajaran Bahasa Jawa, dan pernah ditegur lantaran saya bernyanyi terlalu keras di kelas. Semua itu saya alami ketika saya masih kelas 1 SD. 

Setelah saya pikir-pikir kembali, saya berbuat demikian karena dulu saya tidak dapat menyalurkan keingintahuan dan kesukaan saya di kelas. Saya harus duduk tenang di kelas, mengerjakan tugas, dan mendapatkan nilai bagus. 

Saya pun tidak ingin anak-anak saya merasakan pengalaman sekolah yang tidak menyenangkan ini seperti saya dulu. Sebuah kabar baik bagi saya ketika mendengar Nadiem Makarim mencanangkan konsep Merdeka Belajar. Merdeka Belajar menjadi sebuah pendekatan agar siswa bisa memilih pelajaran yang diminati agar mereka dapat mengoptimalkan bakat terbaiknya. Artinya, ada peluang bagi anak untuk belajar dengan cara yang menyenangkan.

Setidaknya, ada 4 manfaat pada proses belajar yang menyenangkan. Pertama, otak lebih mudah menyerap pembelajaran dalam lingkungan yang positif. Kedua, membangun rasa kebersamaan bersama teman sebaya. Ketiga, anak-anak memiliki perilaku yang baik di kelas lantaran anak tidak bosan dan semua inderanya bekerja ketika belajar. 

Belajar untuk Beradaptasi di Dunia Nyata

Sekolah anak saya yang merupakan satu-satunya Sekolah Alam di Surabaya, memiliki cara yang unik dalam memberikan pembelajaran. Ada pembelajaran yang sifatnya tertulis, praktik di lapangan, pembuatan proyek dan presentasi, serta ada pelajaran berupa pertunjukan karya seni.

Untuk pembelajaran yang sifatnya tertulis, tidak jauh berbeda dengan sekolah lain. Anak saya mendapat lembaran tugas berisi sejumlah soal yang harus dikerjakan. Hasil pekerjaan anak-anak pun dibagikan kembali kepada wali murid agar kami mengetahui kemajuan mereka di sekolah. 

Sementara untuk pembelajaran di lapangan, anak saya pernah bercerita tentang materi pelajaran yang membuatnya terkesan. Untuk pertama kalinya di sekolah, ia belajar matematika dengan mengumpulkan dedaunan dan menjumlahkannya. 

Apakah dengan begitu anak saya bisa langsung pintar matematika? Tidak. Tetapi dia jadi lebih mudah memahami logika penjumlahan di dunia nyata dan lebih mudah ketika saya ajari rumus matematika dasar. Selain itu, anak saya pun belajar dengan cara yang menyenangkan karena sambil bermain di lapangan. Menurut saya, ini penting karena anak kelas 1 SD masih ada di masa transisi pasca lulus Taman Kanak-kanak (TK) yang sebagian besar kegiatannya menitik beratkan pada melatih motorik kasar dan halus. 

Kegiatan ini pun selaras dengan enam kompetensi yang penting untuk dimiliki anak menurut Nadiem Makarim. Keenam kompetensi tersebut antara lain kreativitas, kolaborasi, kemampuan bekerja sama, kemampuan memproses informasi secara kritis, kemapuan memecahkan masalah, dan kemampuan berempati. Keenam kompetensi tersebut dapat terasah dengan baik apabila anak menggunakan semua inderanya dalam belajar, seperti salah satu contohnya adalah belajar dengan benda-benda nyata di lapangan. 

Fashion show Hari Bumi menggunakan bahan-bahan daur ulang (sumber: dokpri).
Fashion show Hari Bumi menggunakan bahan-bahan daur ulang (sumber: dokpri).

Belajar dari Pengalaman Melalui Berbagai Proyek

Selama hampir satu tahun anak saya duduk di kelas 1 SD, kami sudah mendapat tiga proyek dari sekolah. Pertama, konsep mengenal keluarga dengan membuat silsilah keluarga. Kedua, proyek siang dan malam. Ketiga, proyek untuk memahami konsep musim kemarau dan penghujan. Proyek ini harus dikerjakan bersama orang tua dan kami harus memastikan keterlibatan anak-anak dalam pembuatan proyek.

Setelah proyek jadi, anak-anak mendapat giliran untuk melakukan presentasi di depan kelas. Saya awalnya ragu, apakah anak kelas 1 SD sudah bisa presentasi? Rupanya, anak-anak ini cukup piawai dalam mengeksplorasi proyek yang mereka kerjakan. Mereka bercerita tentang materi, apa saja hal-hal yang membedakan, hingga melakukan tanya jawab sehingga diskusi pun lebih hidup. Mirip seperti presentasi mahasiswa, hanya saja dengan materi yang lebih sederhana. 

Selain proyek individu, anak-anak juga memiliki proyek kelas untuk melatih bekerja sama. Salah satu yang menarik adalah proyek kelas ketika bulan Ramadan berupa gebuk patrol. Anak-anak harus membawa peralatan seperti galon, botol bekas berisi beras, hingga panci kecil sebagai pengganti alat musik. Mereka pun melatih kekompakan dalam memainkan nada serta menghafal lirik. Pada pekan terakhir bulan Ramadan, mereka berkompetisi dengan kelas lain. Menurut saya hal ini sangat menarik karena anak dapat berlatih bekerja sama dengan teman sekaligus mengasah mental untuk berani berkompetisi.

Anak saya dan teman-teman sekelasnya ketika berkompetisi Gebuk Patrol (sumber: dokpri)
Anak saya dan teman-teman sekelasnya ketika berkompetisi Gebuk Patrol (sumber: dokpri)

Melatih Kemandirian Melalui Outbond

Dua skill yang diajarkan di Sekolah Alam adalah kemandirian dan ketangguhan. Keduanya sangat bermanfaat untuk anak hingga dewasa dan tidak bisa dipelajari secara mendadak. Penting bagi anak untuk melatih kemandirian dan ketangguhan sesuai dengan usianya masing-masing.

Selama hampir setahun sekolah di kelas 1 SD, anak saya sudah dua kali mengikuti outbond. Pertama outbond selama dua hari satu malam menginap di sekolah. Kedua, outbond selama tiga hari dua malam menginap di luar kota. 

Bagaimana perasaan saya? Tentu tegang! Anak yang masih saya mandikan dan saya keloni setiap malam harus belajar untuk mandi sendiri serta tidur sendiri bersama teman-temannya.

Akan tetapi, anak saya pulang dengan sejuta cerita. Memang pada outbond yang pertama ia terlihat lelah. Akan tetapi, besoknya dia meminta untuk mandi, makan, dan tidur sendiri. Selama outbond, ia berada dalam satu kelompok dengan anak kelas 2 dan 3. Mau tidak mau, anak saya harus cepat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan teman baru.

Ia pun bercerita sempat menghadapi kesulitan selama outbond. Tetapi dengan cepat ia mampu mengatasinya. Ini menunjukkan bahwa aktivitas outbond untuk anak sesuai usianya bisa menstimulasi kemampuan untuk memecahkan masalah.

Guru yang Inovatif dan Penuh Empati pada Siswa

Dalam kurikulum Merdeka Belajar, guru memiliki posisi sebagai penggerak Merdeka Belajar. Sekarang ini, guru dituntut tidak hanya mampu mengajar dan mengelola kegiatan kelas secara efektif, tetapi juga mampu melaksanakan inovasi pembelajaran untuk menjawab kebutuhan peserta didik dan menciptakan iklim pembelajaran yang memerdekakan. 

Untuk itu, guru perlu kreatif dalam mengolah kurikulum menjadi program pembelajaran di kelas. Misalnya pada kelas 1 SD, anak-anak belajar memahami musim melalui pembuatan maket. Guru juga bisa menyalurkan bakat anak dengan memberikan program pentas seni, yakni sebuah acara di mana anak-anak bisa menunjukkan bakat mereka. Bisa menyanyi, menari, mendongeng, melawak, dan banyak lainnya. 

Guru juga harus bisa mengajar dengan penuh empati. Anak-anak tentu memiliki karakter yang berbeda-beda dan pada kondisi tertentu membutuhkan atensi ekstra. Guru diharapkan mampu peka terhadap situasi anak-anak di kelas. Seperti bagaimana menghadapi anak yang menangis, berdebat, dan aktivitas lainnya. Guru juga sebaiknya mampu membangun komunikasi yang baik dengan wali murid agar kerja sama dalam proses pembelajaran bisa berlangsung dengan lancar.

Wali Murid yang Partisipatif

Nadiem Makarim selaku Menteri Dikbudristek mengatakan bahwa Merdeka Belajar merupakan konsep pengembangan pendidikan di mana seluruh pemangku kepentingan diharapkan menjadi agen perubahan (agent of change). Para pemangu kepentingan tersebut meliputi keluarga, guru, institusi pendidikan, dunia industri, dan masyarakat.

Dari paparan Nadiem Makarim tersebut dapat kita ambil satu kata kunci berupa keterlibatan sejumlah pihak, salah satunya adalah keluarga. Sekolah anak saya selalu melibatkan orang tua. Mulai dari komunikasi pada pemaparan program semester, keterlibatan pada proyek individu anak, dan keterlibatan pada acara sekolah. Bagi saya, keterlibatan orang tua bukan menjadi ajang untuk menunjukkan siapa yang terbaik, tetapi untuk memastikan bahwa orang tua pun hadir dan terlibat pada proses pembelajaran anak di sekolah dan di rumah. 

Proses pembuatan proyek sekolah di rumah (sumber: dokpri).
Proses pembuatan proyek sekolah di rumah (sumber: dokpri).

Penutup

Merdeka Belajar menjadi kurikulum yang perlu kita sambut dengan tangan terbuka. Seperti kata Nadiem Makarim, Merdeka Belajar ini masih permulaan. Masih panjang perjalanan kita untuk membersamai anak-anak dan menciptakan karakter unggul yang siap beradaptasi di kehidupan nyata serta berkompetisi sehat di masa depan. Beberapa praktik baik Merdeka Belajar dari Sekolah Alam di Surabaya di atas dapat menjadi salah satu inspirasi bagi pegiat pendidikan agar bisa merancang metode pembelajaran yang menyenangkan dan bisa mengoptimalkan minat bakat siswa. Yuk, kita dukung bersama Semarak Merdeka Belajar!

Referensi:

Kemdikbud, https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/merdeka-belajar

Merdeka, https://www.merdeka.com/peristiwa/nadiem-makarim-ungkap-enam-kompetensi-yang-sangat-dibutuhkan-masa-depan.html

YouTube Kompas, https://www.youtube.com/watch?v=vV9OEnzOc74

Young Engineers, https://www.youngengineers.sg/why-should-we-make-learning-fun-for-children/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun