Mohon tunggu...
Nabilla DP
Nabilla DP Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Ibu dua anak yang doyan bepergian. Ngeblog di bundabiya.com dan bundatraveler.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Energi Baik Sang Dokter Melancarkan ASI untuk Awal Kehidupan Anakku

15 Agustus 2018   15:14 Diperbarui: 15 Agustus 2018   15:29 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang dokter (dr. Dini SpA), Mahira, dan saya :) - dok: pribadi

Awal kelahiran si kecil merupakan salah satu momen terberat untuk saya. Pertama, ada sebuah persoalan dari keluarga suami yang cukup pelik dan memukul mental kami. Kedua, karena saya sangat tertekan dengan lingkungan keluarga besar dan rumah yang semakin membuat stres berat pasca melahirkan. Namun, sesungguhnya penyebab stres saya bukanlah karena kehadiran si kecil yang super menggemaskan itu, melainkan karena ketidakmampuan saya menghadapi tekanan lingkungan. Buat saya, respon lingkungan atas kelahiran si kecil cukup mengejutkan. Barangkali, istilah yang lebih tepat dalam hal ini bukanlah baby blues, melainkan society blues!

Penat Menghadapi Energi Buruk

Sebetulnya menjadi ibu itu menyenangkan, asalkan ada dukungan yang baik dari lingkungan. Ibu baru pasti mudah lelah karena baru saja bertaruh nyawa. Belum sepenuhnya pulih, si ibu harus bersahabat dengan kebiasaan baru dan waktu tidur yang kurang karena menyusui.

Maka dari itu tidak heran ibu baru kerap mudah sakit, minum beberapa suplemen, dan lain sebagainya. Dalam kondisi yang demikian, kadang ada tetangga atau kerabat yang cukup tega untuk kepo serta menjatuhkan penghakiman yang sebetulnya tidak penting, misalnya saja:

"mengapa sih lahirannya nggak normal saja?"

"mengapa hanya diberi ASI saja?"

"anakmu itu haus, dia ingin diberi susu yang mahal dan enak."

"waduh, badan kamu gede banget kayak gajah!"

dan lain sebagainya.

Kalimat-kalimat negatif itu terus berdatangan seiring dengan banyaknya kerabat yang penasaran dengan kehadiran anak pertama saya sekaligus cucu pertama orang tua saya. Telinga saya dipaksa untuk akrab dengan energi negatif tersebut kurang lebih selama dua bulan.

Pernah suatu ketika saya dimarahi oleh teman ibu saya dan mengatakan bahwa saya adalah ibu yang malas karena memakaikan diapers kepada si kecil. Wah, padahal si tante sama sekali tidak tahu setiap ada waktu luang saya harus membuka laptop untuk menyelesaikan tesis, sehingga mana sempat saya mencuci popok kain.

Perjuangan Menyusui Awal Melahirkan

Satu prinsip yang saya pertahankan dengan kuat adalah mengenai hak anak saya mendapatkan ASI. Di lingkungan keluarga besar, ada saudara yang mendukung dan ada juga yang memandang saya dengan tatapan aneh. Seolah perihal ini sama sekali tidak lazim. Bagi sebagian keluarga, yang "normal" adalah memberi ASI dan susu subtitusi bersamaan.

Sering juga saya mendapat tatapan tidak menyenangkan ketika pengunjung yang datang mendapati saya sedang asyik menyusui. Ada saja yang dikritik, mulai dari posisi saya menyusui, hingga ukuran payudara. Sungguh tidak penting! Kebetulan juga, posisi menyusui saya termasuk yang tidak umum. Apabila orang lain kebanyakan menyusui dengan cara mendekap di depan, saya menyusuinya di samping, mengapit badannya diantara lengan dan tubuh saya. Posisi ini dalam dunia kedokteran anak, dinamai sebagai football hold.

Bahkan ketika anak saya terus menangis karena sedang mengalami growth spurts atau proses percepatan pertumbuhan pada bayi, ada yang sangat tega mengatakan bahwa ASI saya tidak cukup atau tidak enak sehingga anak saya terus menangis tanpa henti

Ada pula momen lain ketika saya sedang mencoba pompa ASI untuk stok ASI perah anak, kebetulan hasilnya sangat sedikit. Buat saya itu wajar, karena saya masih belajar. Alih-alih mendukung untuk terus mencoba atau mengganti alat pompa, keluarga atau kerabat yang melihat malah berkata, "Lha, itu tanda kalau ASI mu sedikit."

Duh, saya benar-benar patah hati!

Apalagi saya sedang LDR dengan suami, dia hanya bisa pulang dua minggu sekali. Mungkin mereka tidak tahu ya, bahwa ucapan-ucapannya yang kurang enak didengar itu bisa sangat memengaruhi kondisi psikologis ibu menyusui.

Selain cobaan berupa omongan orang lain yang susah sekali saya saring, saya juga mengalami drama saat proses menyusui di awal-awal kelahiran si kecil, seperti bingung puting, mastitis, bahkan anak saya sempat mengalami kenaikan berat badan yang cenderung kurang memuaskan.

Disaat demikian, saya sungguh merindukan adanya sosok yang mampu memberikan energi baik, sosok yang kalimat-kalimatnya mampu menjadi baterai dalam melalui proses awal kelahiran si kecil.

Pembawa Energi Baik itu adalah Sang Dokter Anak

Satu bulan pertama setelah kelahiran Mahira, saya membawanya kembali ke dokter. Sebelumnya, saya diberi informasi bahwa sebaiknya berat badan si kecil naik antara 700 sampai 1000 gram. Saat saya kesana, dokter terkejut karena Mahira hanya naik 600 gram. Beliau berekspektasi lebih, menurut sang dokter seharusnya si kecil bisa naik banyak karena ada fase growth spurts yang membuatnya minum ASI lebih banyak dan mampu mempercepat pertumbuhan si kecil.

Sang dokter mulai bertanya kepada saya mengenai kendala yang saya temui. Pertama beliau tanya, apakah saya stres? Ditanya seperti itu, saya malah bertanya kepada diri saya sendiri, wah apa iya saya stres? Jangan-jangan tekanan dari lingkungan itu yang membuat saya stres. Pertanyaan kedua dari dokter adalah mengenai teknis menyusui. Dengan cekatan, dokter membantu saya untuk memperbaiki pelekatan menyusui dan memberikan nasihat-nasihat agar anak saya bisa menyusu lebih optimal.

Dokter memberi saya pekerjaan rumah untuk menaikkan berat badan si kecil dalam 1 minggu. Diberi target begitu, saya jadi terpacu. Saya juga diberi edukasi oleh dokter bahwa kenaikan berat badan bayi sangat penting, sebab menjadi salah satu indikator apakah nutrisi yang didapat bisa terserap dengan baik atau tidak. Nutrisi itu sendiri menjadi modal utama untuk pertumbuhan fisik, otak, serta ketahanan tubuh bayi.

Segera saya menelepon suami saya dan mengabarkan kondisi si kecil. Dari jauh, suami memberi semangat dan mengatakan bahwa ia percaya saya bisa mengatasi persoalan. Tidak lupa ia menitipkan pesan agar saya tidak terlalu stres.

Saya mulai melakukan self theraphy ala kadarnya demi menstabilkan emosi dan lebih fokus pada anak saya. Seperti menonton film yang lucu dan membahagiakan, berdzikir, mendengarkan lagu-lagu positif, dan makan makanan yang saya sukai.

Seminggu kemudian, saya kembali menemui sang dokter dengan jantung yang berdegup kencang. Kali ini saya ditemani ibu saya. Perlahan, dokter meletakkan tubuh si kecil di atas timbangan bayi dan.... senyum beliau merekah indah.

"Wow, berat badan si kecil berhasil naik lagi 700 gram! Mom hebat sekali!" Puji sang dokter anak kepada saya. Artinya dalam 1 bulan lebih 1 minggu, anak saya berhasil naik sebanyak 1300 gram dan angka tersebut termasuk cukup

Sang dokter (dr. Dini SpA), Mahira, dan saya :) - dok: pribadi
Sang dokter (dr. Dini SpA), Mahira, dan saya :) - dok: pribadi
"Pertahankan ya Mom menyusuinya, insya Allah kalau terus berprasangka baik dan pelekatannya benar, berat badan si kecil akan terus naik, pertumbuhan dan grafiknya pun akan terus bagus," begitu kurang lebih isi nasihatnya.

Mendengar pujian dan energi baik dari beliau membuat saya sangat terharu, hampir saja saya meneteskan air mata. Disaat banyak orang pesimis dengan ASI saya, ibu, suami, dan sang dokter yang bahkan baru saya kenal saat kelahiran si kecil justru memberikan kepercayaan yang tinggi untuk saya. Saya merasa sangat berharga dan mampu!

Energi Baik Mengawali Kehidupan Bahagia Si Kecil

Bahkan saat sore harinya sepulang dari kunjungan ke dokter, saya dibuat takjub dengan "pendapatan" ASI perah saya. Hanya dalam 10 menit kedua botol pompa tersebut sudah penuh dengan ASI perah. Saya betul-betul terpesona dengan pemandangan di depan mata. Hormon oksitosin, si hormon cinta, rupanya betul-betul memengaruhi produksi ASI saya.

Saya bangga karena saya bisa mematahkan pendapat kebanyakan orang yang mengatakan bahwa ASI saya sedikit dan kurang enak. Sejak mendapat "sengatan" penuh kebaikan dari sang dokter, saya semakin optimis untuk menyusui. Semangat saja membaja, sekarang ocehan negatif siapapun tidak akan memberi pengaruh apa-apa.

Alhamdulillah, saya berhasil memberi hak anak saya dengan baik hingga usianya 20 bulan. Proses menyusui terpaksa berhenti atas rekomendasi dokter lantaran saya hamil anak kedua. Mahira sebetulnya tidak rela harus berpisah dengan pabrik kesayangannya itu, tapi lama-kelamaan ia mengerti. Iseng, saya bertanya kepada anak pertama saya mengenai rasa ASI saya. Jawabannya sangat lucu. Dengan lugu dan jujur ia mengatakan bahwa rasanya enak (bisa dilihat di video di bawah ini). Saya tersenyum mendengarnya. Kadang saya menyesal mengapa saya dulu terlalu terpengaruh dengan buah tutur orang lain yang buruk. Seharusnya saya hanya fokus pada anak saya, pada jiwa kecil yang saat itu sangat tergantung pada tubuh saya.


Saya juga semakin sadar bahwa energi di sekitar kita itu beragam, ada energi baik dan ada pula energi buruk. Semakin sering kita berinteraksi dengan energi yang buruk, semakin sering juga kalimat-kalimat negatif tersebut hinggap di pikiran dan suatu saat akan memengaruhi tindakan dan keputusan kita.

Sebaliknya, jika kita berkutat pada energi yang baik, tentu juga memiliki dampak yang positif untuk pikiran dan hidup kita.

Percaya atau tidak, energi baik yang saya peroleh dari sang dokter, menuntun saya untuk menemukan potensi-potensi energi baik lainnya. Saya mulai memberanikan diri untuk berkumpul dengan komunitas bisnis dan penulis yang penuh energi positif. Berkat energi baik, saya juga berhasil menyelesaikan studi S2 saya di Fakultas Hukum di salah satu universitas ternama di Jogja dengan lama studi 2,5 tahun dan dengan predikat Cumlaude.

Energi baik juga berhasil menjadi "bahan bakar" saya untuk berkarya, layaknya gas bumi yang secara konsisten didistribusikan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk mendukung kebutuhan masyarakat dan pelaku industri. Kreatifitas dan ide-ide saya pun "terdistribusikan" melalui produk-produk bisnis, tulisan-tulisan di bidang hukum di lembaga penelitian yang saya ikuti, serta tulisan mengenai parenting yang ada di blog pribadi saya. Energi baik yang saya dapatkan, terus saya salurkan menjadi karya. Alhamdulillah, rupanya banyak yang "tertular" energi baik dari saya ini.

Energi baik yang menular :) - dok: pribadi
Energi baik yang menular :) - dok: pribadi
Saya ikut senang, sebab energi baik memang harus terus ditularkan agar kita semua lebih produktif serta bisa memberikan pengaruh yang positif untuk orang lain. Menjadi seorang ibu yang bahagia, positif, serta membawa energi baik, tentu juga berpengaruh pada keluarga, khususnya anak. Anak saya, Mahira, juga tumbuh menjadi anak yang bahagia, mampu mengekspresikan emosinya dengan baik, serta tumbuh dengan sehat.

Luar biasa, satu energi baik saja bisa berpengaruh panjang dan signifikan bagi kehidupan orang lain! Saya semakin yakin untuk menginvestasikan waktu untuk berkutat dengan energi yang baik saja, sebab, percayalah, energi baik itu menular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun