Sejak kecil aku suka traveling. Hasrat menjejak aku wujudkan lebih sering saat aku menempuh pendidikan di salah satu PTN di Malang. Mulai dari trip yang bikin bokek, hingga yang gratis; mulai dari backpacker, hingga koper; trip lokal, sampai ke mancanegara; sejak masih single hingga berkeluarga, aku nggak bisa jauh dari aktivitas traveling. Serasa ada candu yang terus menggebu. Bagiku, traveling adalah salah satu cara membuka wawasan dan terus bersyukur akan kebesaran Tuhan.
Koper Hilang Bikin Pegal Lahir Batin
Ada satu momen traveling yang sangat berkesan saat aku masih single, yaitu saat aku menjadi salah satu excange participant dalam suatu project global selama satu bulan, dimana kami harus mengunjungi 3 provinsi di Tiongkok. Diluar project, total aku berhasil menjelajah 4 provinsi di Tiongkok dan sempat backpacker-an ke Hong Kong selama 3 hari. Makin seru dan menantang karena aku traveling di bulan Ramadhan tahun 2012.
Dalam project ini, aku diberi reward berupa uang saku dan akomodasi yang lumayan dari sekolah tempat project berjalan. Tapi, panitia tidak menanggung biaya pulang pergi dari negara asal ke Tiongkok. Otomatis aku berusaha sehemat mungkin dan mencari maskapai budget dengan biaya rendah. Konsekuensinya, aku harus transit agak lama di LCCT Airport Kuala Lumpur dan sampai di Hangzhou Xiaoshan International Airport pada tengah malam. Tidak jadi masalah, karena aku berencana bermalam di bandara, sebab buddy-ku baru bisa menjemput keesokan hari. Begitu landing, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi, seperti wisatawan lainnya.
Aku masih rileks mengamati barisan bagasi yang lewat. Lima belas menit berlalu mulai terasa ganjil karena koper milikku tidak kunjung muncul. Akhirnya aku amati koper pertama yang melintas. Deg! Benar saja, setelah 1 kali putaran, koperku betul-betul lenyap entah kemana.
Pikiranku mulai buruk. Jangan-jangan koperku tertukar? Aku mulai panik saat tahu bahwa bagasi terakhir adalah milik lelaki di sampingku. Sekujur tubuhku langsung lemas, seketika aku berjongkok menyadari amunisi makanan dan pakaian untuk sebulan terancam. Aku tidak mampu membendung raut wajah sedih dan bingung. Ini adalah perjalanan pertamaku ke luar negeri dan aku sendirian. Ingin semaput tapi aku nggak bisa, nggak punya bakat mudah pingsan. Satu-satunya pilihanku adalah menguatkan otot-otot tubuh untuk bergegas menemui petugas bandara.
Ingat.. ingat, tragedi ini terjadi di tengah malam. Suasana di international arrival sangat sunyi dan yang paling menyebalkan adalah tidak semua petugas mau dan mampu berbahasa Inggris. Jadi aku harus hinggap dari satu petugas ke petugas lain, mencari petugas yang mau direpotin.
Begitu ketemu si Pak Petugas, rupanya dia sudah mau pulang. Tapi dengan sigap ia balik badan dan mengajakku ke sebuah ruangan. Pak Petugas yang masih berseragam lengkap dan rapi ini menelepon beberapa orang, kemudian dengan ekspresi prihatin ia segera memberitahu kalau aku harus menunggu 3 hari.Â
Aku balik bertanya, apakah itu berarti dalam 3 hari koperku akan kembali? Dia jawab, belum tentu. Dengan muka merah menahan tangis, aku memohon, nyaris mengemis kepadanya agar bisa menemukan koperku maksimal besok siang. Aku tidak mungkin menunggu selama 3 hari. Kurang dari 24 jam, aku dan tim project harus berangkat ke Chengdu, ibukota Provinsi Sichuan tempat project pertama kami berlangsung. Perjalanan dari Hangzhou ke Sichuan memakan waktu 33 jam dengan kereta api. Mustahil jika aku harus bolak balik mengurus koperku yang hilang.
Sudah pegal badan lantaran menghabiskan 16 jam perjalanan Surabaya - Hangzhou, pegal hati juga karena tidak ada satupun panitia project yang mau membantu. Singkat cerita, dengan perjuangan yang rumit, koperku yang ternyata nyasar ke Jepang akhirnya kembali 10 hari kemudian setelah mendapat bantuan dari ayahku dan tim maskapai di Indonesia. Alhamdulillah.
Selain ke Chengdu, aku juga menggarap project di Kunming dan Anning, dua kota di Provinsi Yunnan. Pasca berakhirnya project, aku ke Guangzhou dan Hong Kong, lalu kembali lagi ke Hangzhou. Seluruh perjalanan antar provinsi di Tiongkok itu aku tempuh dengan kereta api, murah meriah namun memakan waktu lebih lama. Nggak enaknya adalah tiket dengan tipe sleeper ludes tak bersisa (FYI, di Tiongkok ada fasilitas kasur sebagai pengganti kursi dengan harga yang lebih mahal). Terpaksa aku harus menempuh perjalanan 24 sampai 30 jam antar provinsi dengan duduk.
Pengalaman traveling-ku yang satu ini memang yang paling ter: terapes, terlama, ter-mellow, dan ter-pegal. Pegal? BANGET LAH! Dan yang bikin makin kesel, Balsem Otot Geliga ku tertinggal di asrama Anning. Hiks... Saat itu aku hanya bisa berkhayal, seandainya saja ada Geliga dengan wujud krim yang ringan dan mudah dibawa kemana saja, agar aku bisa selalu bebas pegal.
Setelah 5 bulan pasca operasi bedah sesar, tepatnya akhir tahun 2016 lalu, aku diizinkan untuk pijat badan. Bagi seorang busui (baca: ibu menyusui) memiliki waktu luang untuk pijat itu serasa leyeh-leyeh di pantai. Semenjak hamil aku sering mengalami boyok-en atau nyeri punggung bagian bawah. Rasanya kayak digebukin orang sekampung *lebay dikit*. Bersyukur ada Mbak Yun, tukang pijat langganan keluargaku. Biasanya dia datang dengan tangan kosong, ia terbiasa memijat dengan minyak zaitun yang kami miliki. Tapi kali ini tidak, dia membawa Geliga Krim untukku.
"Mbak Billa," mbak Yun membuka suara sambil mulai memijat jemari kakiku, "nanti beberapa bagian yang pegal saya pijat pakai Geliga Krim ya? Baunya enak lho, lebih wangi kalau dibanding yang Balsem Otot Geliga. Biar pegal-pegalnya cepet hilang, mbak," lanjutnya.
Kepalaku yang sudah bersandar manis di bantal, spontan bangun dan menoleh ke Mbak Yun begitu mendengar kata Geliga Krim.
"Bukannya geliga itu cuma balsem ya mbak? Sekarang ada krimnya kah?" Aku balik bertanya.
"Lho, sudah ada mbak. Sampeyan kemana aja?" Mbak Yun menjawab sambil terkekeh.
Alhamdulillah! Memang hidup sebagai makmak bikin aku agak kudet, gampang pegal, dan jarang jalan, syukurlah Mbak Yun mempertemukan aku dengan Geliga Krim. Setelah aku coba sendiri, Geliga Krim memang pas untuk nyeri otot khususnya pada punggung, pundak, persendian, keseleo, kram, dan masalah otot lainnya. To be honest aku sangat puas dengan Geliga Krim, pertama karena panasnya pas, mudah meresap, dan tidak lengket. Kedua, karena super duper travel friendly! Ringan dan mudah dibawa, dijamin makin bebas pegal kemana aja. Ketiga, wangi dan kekinian. Nganu, maaf ya maaf banget nih bukan bermaksud menyinggung, tapi biasanya kalau pakai balsem, konotasinya kan untuk orang tua. Nah kalau pakai Geliga Krim, anak muda zaman now pun nggak perlu gengsi. Terus yang bikin heran, kok bisa sih ada krim pereda nyeri otot yang biasanya identik dengan bau menthol yang sangat kuat dan menyengat, tapi Geliga Krim malah wangi banget! Jadi betah dibau-bauin terus lho..
Makin Intim Berkat Geliga Krim
Akhirnya tiba waktu yang aku tunggu-tunggu selepas melahirkan: TRAVELING! November 2016, aku, suami, dan baby memilih traveling ke Pantai Sadranan, Jogja. Tujuannya tentu refreshing selepas berkutat dengan tenggat waktu tesisku. Disana aku sempat snorkeling sebentar dengan suami. Hm.. puas rasanya karena sudah lama sekali nggak mantai dan nggak nyebur ke laut. FYI, nggak banyak lho pantai di Jogja yang snorkeling-friendly, tahu sendiri kan gimana ombak khas pantai selatan yang ganas. Pantai Sadranan ini selain memiliki underwater view yang bagus, aksesnya pun mudah dan nyaman untuk keluarga.
"Pak," ujarku kepada Pak Manto, supir yang kami sewa untuk perjalanan kali ini. "Nanti berhenti di apotek sebentar ya, saya mau beli Geliga Krim buat suami," ujarku penuh semangat.
Seketika, Pak Manto membuka kotak penyimpanan di bagian dashboard mobil.
"Lha ini saya juga bawa mbak, pakai aja nggak papa," ujar Pak Manto dengan logat Jogja yang kental. Senyum Pak Manto merekah penuh keramahan. Lelaki asli Klaten itu menyodorkan Geliga Krim yang sudah hampir habis. Sempat aku ragu, sungkan sama Pak Manto.Â
Tapi beliau sama sekali tidak keberatan jika Geliga Krim habis ditangan kami. Segera aku mengoleskan Geliga Krim di betis dan pundak suami tercinta. Berkat Geliga Krim, pegal-pegal Mamas dapat berkurang. Kami pun masih kuat untuk mampir ke lokasi wisata hits di Jogja yaitu Hutan Pinus Mangunan. Ah, beneran jadi bebas jalan kemana aja nih ceritanya!
Dalam perjalanan pulang, aku tetap request ke Pak Manto untuk mampir apotek dan membeli Geliga Krim. Kami beli 2 buah, salah satunya kami hadiahkan untuk Pak Manto, sebagai kenang-kenangan. Hehe, pemberian nggak melulu sesuatu yang manis kan?
Sesuatu yang menghangatkan juga bisa selalu terkenang :)
Semua foto dan editan adalah milik penulis
Foto Geliga Krim yang digunakan untuk framing diambil dari https://www.geligakrim.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H