Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bukanlah hal baru di Indonesia. Praktik-praktik ini telah mengakar dalam birokrasi dan kehidupan politik kita sejak lama, bahkan sudah ada sejak era Orde Baru. Ketika Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, masyarakat berharap banyak. Dengan latar belakang sebagai wali kota dan gubernur, Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang sederhana dan bersih dari kasus korupsi. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan: Apakah KKN benar-benar berkurang di bawah kepemimpinannya, ataukah semua ini hanya janji yang tak terwujud?
Awal Kepemimpinan yang Penuh Harapan
Di awal masa jabatannya, Jokowi menjanjikan pemerintahan yang bersih, efektif, dan berfokus pada kepentingan rakyat. Ia menekankan pentingnya transparansi dan upaya memperbaiki birokrasi agar lebih sederhana. Langkah-langkah awalnya, seperti program blusukan dan memangkas prosedur administratif, menunjukkan upaya nyata untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat. Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Memiliki pemerintahan yang bersih bukan hanya tentang kebijakan yang populer, tetapi juga memerlukan reformasi yang mendalam dalam struktur lembaga negara. Jokowi harus berjuang keras untuk membersihkan birokrasi dan memastikan bahwa tidak ada celah bagi praktik KKN di semua level pemerintahan, dari pusat hingga daerah.
Revisi UU KPK yang Menimbulkan Kontroversi
Salah satu peristiwa paling kontroversial yang menggores citra pemberantasan korupsi di era Jokowi adalah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019. Perubahan ini membuat banyak pihak khawatir bahwa KPK kehilangan kekuatannya. Beberapa kewenangan KPK dibatasi, termasuk dalam hal penyadapan dan independensi pegawainya. Meskipun pemerintah beralasan bahwa revisi ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme, masyarakat justru melihatnya sebagai langkah melemahkan lembaga. Banyak yang merasa bahwa langkah ini tidak sejalan dengan janji Jokowi untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Terbukti, setelah revisi, beberapa kasus besar korupsi yang sebelumnya terungkap justru mengalami penanganan yang lambat.
Setelah revisi UU KPK, banyak masyarakat dan aktivis anti-korupsi merasa kehilangan harapan. Penurunan kasus yang ditangani oleh KPK menjadi sorotan, dan publik semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam mengawasi lembaga ini menjadi sangat penting. Program edukasi publik mengenai hak-hak sipil dan pengawasan terhadap pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan peka terhadap praktik-praktik korupsi.
Kasus-Kasus Korupsi di Pemerintahan Jokowi
Di tengah upaya reformasi birokrasi, beberapa pejabat di era Jokowi justru terjerat kasus korupsi. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang terjadi saat pandemi COVID-19, melibatkan Menteri Sosial saat itu. Kasus ini menarik perhatian publik karena terjadi di saat masyarakat sangat membutuhkan bantuan. Skandal tersebut tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa praktik korupsi masih berlangsung, bahkan dalam situasi darurat. Selain itu, beberapa kepala daerah dan pejabat publik lainnya juga tertangkap tangan dalam kasus suap dan korupsi, yang semakin menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah besar, meskipun Jokowi telah berupaya untuk membenahi birokrasi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Masalah Nepotisme di Dalam Struktur Kekuasaan
Nepotisme juga menjadi sorotan dalam pemerintahan Jokowi. Kehadiran anak dan menantu presiden dalam dunia politik menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Meskipun Jokowi menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam politik, banyak yang menganggap langkah ini sebagai bentuk nepotisme terselubung. Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, terpilih sebagai Wali Kota Solo, dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, menjadi Wali Kota Medan. Walaupun keduanya terpilih melalui proses demokrasi, keterlibatan mereka dalam politik tetap memicu pro dan kontra. Beberapa orang merasa bahwa ini menunjukkan adanya kekuatan dinasti politik yang bisa mengancam prinsip meritokrasi
Persekongkolan dalam Proses Pengadaan dan Kebijakan Publik