Mohon tunggu...
Nabilla Hanifah
Nabilla Hanifah Mohon Tunggu... Freelancer - Ejaan.id

Seorang lulusan sastra Indonesia, mau berbagi ilmu apa saja. Suka makanan manis, tapi suka sakit gigi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Semarak Merdeka Belajar Melahirkan Calon Peneliti Bahasa

30 Mei 2023   16:17 Diperbarui: 30 Mei 2023   16:26 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum Mendikbudristek meluncurkan Semarak Merdeka Belajar Episode 17 tentang revitalisasi bahasa daerah berbasis sekolah dan komunitas tutur, perguruan tinggi telah melakukan pemberdayaan bahasa-bahasa daerah melalui riset/penelitian. Salah satunya, Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas rutin melakukan praktik penelitian bahasa-bahasa daerah tiap tahunnya. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas melakukan penelitian sederhana bunyi-bunyi bahasa daerah yang unik sebagai tugas akhir mata kuliah fonologi. 

Praktik ini bertujuan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan mahasiswa tentang ilmu fonologi. Sekaligus harapan untuk melahirkan calon-calon peneliti bahasa yang akan meneliti keunikan dan mendata bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

Pada bulan Mei tahun 2019, saya bersama mahasiswa lainnya pernah melakukan penelitian bunyi bahasa daerah Kuranji, Padang. Pemilihan daerah penelitian ini tidak serta merta asal pilih. Mahasiswa terlebih dahulu melakukan peninjauan bunyi bahasa daerah di Sumatera Barat yang unik, salah satunya dialek Kuranji. Suatu isolek dapat dikategorikan bahasa bila persentase perbedaan >80%. Sedangkan, kategori dialek memiliki persentase <80%. Bila didengar, masyarakat Kuranji menuturkan bunyi /ey/ pada kebanyakan kata. Juga, beberapa memiliki ketidaksamaan dengan bahasa Minangkabau pada umumnya. Berikut contohnya:

Data

Bahasa Minangkabau

Dialek Kuranji

'padi'

[padi]

[padey]

'kopi'

[kopi]

[kopey]

'telur'

[talua]

[talu]

'tidur'

[lalo?]

[tidu]

Daerah yang kami teliti tepatnya di Pasar Lalang RT. 01, RW. 07, Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan masih ada penduduk asli yang berusia 40 tahun ke atas dengan mobilitas rendah. Tidak mengalami perkawinan campuran dengan suku lain, berpendidikan rendah, dan alat wicara tidak cacat. Kondisi wilayah masih sulit dijangkau oleh kendaraan umum sehingga membuat daerah Kuranji menjadi tempat penelitian yang cocok. Alasan tersebut sesuai dengan syarat yang berlaku dalam meneliti bahasa.

Mengutip dari buku "Pedoman Penelitian Pemetaan Bahasa" (2018), syarat-syarat penentuan daerah penelitian (DP) berdasarkan (1) lokasi dan jarak DP tidak berdekatan dengan kota; (2) mobilitas penutur di DP tergolong rendah; (3) usia DP minimal 30 tahun; (3) jarak antar-DP lebih kurang 20 km; dan (4) kondisi DP dan masyarakatnya masih asli, dalam artian belum banyak terkena pengaruh luar.

Meskipun daerah penelitian kami sesuai dengan syarat penelitian, bukan berarti masyarakat di Pasar Lalang, Kuranji semuanya tidak menerima pengaruh bahasa luar. Justru para penutur muda di Pasar Lalang, Kuranji sudah mengalami percampuran bahasa, antara bahasa Minangkabau pada umumnya dan bahasa Indonesia. Biasanya terjadi di sekolah maupun ruang publik lainnya. Pengaruh globalisasi juga berperan dalam mempengaruhi penutur muda dengan bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah lain. Oleh karena itu, penutur muda di Pasar Lalang, Kuranji sudah tak bisa dijadikan informan penelitian.

Namun, kami mendapat informan sesuai dengan kriteria penentuan informan. Pada tiap DP minimal ada tiga informan, satu sebagai informan utama dan yang lain sebagai informan pendamping. Kriteria pemilihan informan, sebagai berikut: (1) informan dewasa sekitar 20---60 tahun; (2) informan, maupun suami/istrinya dan orang tuanya, lahir di DP itu; (3) pendidikan relatif rendah; (4) status sosial informan menengah ke bawah sehingga harapan mobilitasnya rendah; (5) informan diutamakan buruh tani/nelayan; (6) informan sehat rohani dan jasmani, tidak cacat alat bicaranya (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).

Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok mewawancarai dua informan. Tiap kelompok diwajibkan bertanya kurang lebih 800 kosakata dialek Kuranji. Kami mengambil daftar pertanyaan tersebut sesuai dengan daftar pertanyaan pada buku "Dialeoktologi: Teori dan Metode" karya Nadra dan Reniwati.

Adapun saat bertanya, kami tidak boleh mengucap kata yang ada di daftar pertanyaan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Minangkabau umumnya, guna memancing bunyi dialek Kuranji dari informan. Contohnya, kata "telinga". Kami menunjuk telinga, kemudian informan akan menjawab dengan dialek Kuranji. Selain itu, kami juga memancing dengan gambar atau obrolan natural saat berbincang dengan penutur. Praktik tersebut menjadi pengalaman berkesan bagi kami, bahkan bekal untuk opsi penelitian akhir. Buktinya, beberapa mahasiswa mengambil objek skripsi meneliti bahasa daerah, baik dari segi ilmu fonologi, morfologi, dialektologi, maupun cabang ilmu linguistik lain.

Salah satu teman saya meneliti proses morfofonemik bahasa Batak dialek Angkola sebagai penelitian akhirnya. Salah satu data yang ia temukan berupa perubahan fonem /N/ dalam morfem {maN-} menjadi {manga-}. Hal itu terjadi akibat pertemuan morfem {ma(N)-} dengan morfem {rabi} sehingga menjadi /maarabi/ (dibaca: mangarabi).

Hasil penelitian tersebut dapat menambah khazanah bahasa Batak dialek Angkola, yang mana menjadi kegiatan revitalisasi bahasa daerah. Mengingat pada tahun 2022, Kemendikbudristek menetapkan bahasa Batak dialek Angkola sebagai satu dari 28 objek revitalisasi bahasa daerah.

Objek penelitian mahasiswa yang lain tak kalah unik, yaitu penelitian fonologi bahasa Rejang dialek Lebong, Bengkulu. Perlu diketahui bahasa Rejang jarang diteliti. Lalu, penelitian akhir bahasa Minangkabau dengan berbagai dialek. Tidak hanya penelitian akhir saja, mahasiswa didukung untuk melakukan penelitian bahasa untuk artikel ilmiah. Namun, kegiatan ini masih jarang dilakukan, mengingat biaya penelitian yang dikeluarkan tidak sedikit. Pada Program Kreativitas Mahasiswa pun jarang penelitian bahasa yang berhasil didanai oleh LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Universitas Andalas.

Sewaktu menjalani mata kuliah Dialektologi di semester 5 pada tahun 2020, saya ingat ceramah dosen tentang minimnya penelitian dialek bahasa Mentawai. Kepulauan Mentawai terdiri atas empat pulau, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan. Dosen kami membagikan pengalamannya meneliti bahasa Mentawai di perkampungan Pulau Siberut. Ia mengatakan bahasa Mentawai sangat berbeda dengan bahasa Minangkabau. Kemungkinan bahasa Mentawai dapat berbeda di tiap pulau. Bisa masuk kategori dialek atau bahasa baru. Untuk mengetahui hal tersebut, perlu penelitian dengan biaya besar karena akses ke Kepulauan Mentawai sangat tidak mudah.

Dosen kami pernah bertemu seorang peneliti bahasa dari Jerman. Peneliti tersebut bahkan sudah memiliki data lengkap bahasa Mentawai di empat pulau. Tentu, kenyataan tersebut sangat miris. Seharusnya negara kitalah yang lebih dulu memiliki data bahasa Mentawai, bukan negara lain. Namun, sepertinya pemerintah telah berupaya melakukan penelitian dialek bahasa Mentawai. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sudah memiliki data terkait dialek bahasa Mentawai, yaitu 1) dialek Siberut Utara, 2) dialek Siberut Selatan, dan 3) dialek Sipora Pagai.

Namun, ada baiknya Kemendikbudristek memberi kesempatan program revitalisasi bahasa daerah berbasis perguruan tinggi. Salah satunya menyediakan studi independen penelitian bahasa-bahasa daerah bersama badan bahasa bagi mahasiswa. Juga, membuka program magang bersertifikat terkait penelitian bahasa-bahasa daerah.

Kemendikbudristek dapat pula menyediakan hibah khusus penelitian bahasa-bahasa daerah bagi mahasiswa. Bila program ini berjalan lancar, arsip bahasa-bahasa daerah di Indonesia cepat terkumpul lengkap.Selain sebagai bentuk revitalisasi bahasa daerah, program tersebut dapat melahirkan calon peneliti bahasa. Mungkin tidak semua mahasiswa dapat berprofesi peneliti bahasa di suatu lembaga. Mereka dapat memberdayakan bahasa daerah masing-masing dengan menjadi pegiat bahasa, pegiat budaya, dan sebagainya.

Perlu diingat bahwa bahasa adalah salah satu unsur universal kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009: 144--147). Kita tidak akan tahu identitas kebudayaan suatu suku bila tidak mengenali bahasa mereka. Contohnya, kata "kaba" dalam bahasa Minangkabau yang memiliki arti 'sastra tradisional Minangkabau yang berbentuk prosa berirama, kalimatnya sederhana dengan 3--5 kata sehingga dapat diucapkan secara berirama atau didendangkan, tema ceritanya bermacam-macam, seperti kepahlawanan, petualangan, pelipur lara, dan kisah cinta'. Kita bisa tahu bahwa suku Minangkabau dahulu memiliki kebiasaan bercerita dengan irama sebagai bentuk hiburan dan edukasi untuk keturunan mereka.

Oleh karena itu, revitalisasi bahasa daerah berbasis perguruan tinggi patut dipertimbangkan untuk menyemarakkan Merdeka Belajar Episode 17 tentang revitalisasi bahasa daerah. Mahasiswa dan dosen dapat membantu memberdayakan 718 bahasa daerah di Indonesia melalui riset/penelitian. Bila program ini diadakan, kondisi bahasa-bahasa daerah yang terancam punah dan kritis terselamatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun