Menurut hemat penulis, hubungan kedua Negara sejauh ini masih didominasi oleh hubungan kultural emosional yang telah menjadi tali ikatan sejak puluhan tahun silam. Logika dan sentimen perasaan sebagai saudara serumpun yang berjiran lebih menguasai ruang-ruang publik kedua negara.
Padahal, dengan berbagai tantangan dan peluang yang sedemikian besar pada tahun-tahun mendatang, kedua negara harus mengembangkan hubungan yang konstuktif dan rasional. Tentu tanpa menghilangkan logika saudara serumpun yang berjiran tersebut.
Hubungan rasional kedua negara didasarkan pada kesadaran kedua negara bahwa dengan ikatan sosial, kultural dan geografis adalah modal kemajuan kedua pihak. Kesadaran ini menjadi penting jika kita juga rasional dalam menilai serta mengevaluasi hubungan kedua negara sejauh ini.
Pertama, dalam permasalahan klaim kebudayaan. Kedua negara harus mengambil pendekatan rasional bahwa kebudayaan Melayu Nusantara tersebut mesti dijadikan sebagai nilai jual bagi kedua negara. Lebih mencari persamaan daripada perbedaan. Atau paling tidak membangun sikap yang jelas di antara kedua belah pihak sehingga muncul komunikasi yang produktif.
Kedua, kasus-kasus TKI. Beragam kasus yang muncul sering tidak berimbang. Seharusnya kedua negara jujur dan mengakui bahwa sektor tenaga kerja ini merupakan hal yang vital bagi kedua negara.
Ketiga, ketegangan sosial politik. Kedua negara memang harus terus membangun komunikasi dan interaksi yang intensif untuk meminimalisir meluasnya gejala negatif tersebut. Kemauan untuk saling mendekat dan saling memahami merupakan upaya yang harus dibangun kedua negara.
Berdasar hal tersebut, hubungan konstruktif rasional kedua negara akan mampu meningkatkan keuntungan bagi kedua negara serta meminimalkan titik-titik ketegangan yang menghabiskan energi kedua negara.
Bagi hubungan kedua negara, tantangan dan peluang memang datang sama besarnya. Terlebih kedua negara tidak bisa menolak takdir bahwa keduanya berjiran. Â Karena itu, sepantasnya hubungan yang tercipta adalah hubungan yang semakin erat dan kukuh.
Sebuah hubungan yang saling menghormati, saling menghargai, dan harus saling menguntungkan. Meski tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin.
*)Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.Sc Mantan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Kebangsaan Malaysia 2010-2011 dan Pengelola website: www.indonesia-malaysia.info
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H