Mohon tunggu...
Nabil Hisyam
Nabil Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Program Studi Sosiologi Fakulatas Ilmu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kiprah Bidik Misi dalam Mewujudkan Generasi Emas Indonesia

1 April 2024   00:37 Diperbarui: 1 April 2024   00:51 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Non scholae sed vitae discimus mengajarkan bahwa manusia belajar tidak sekedar untuk meraih angka, melainkan untuk menyiapkan diri menuju kehidupan yang lebih bermakna. Hal ini seiring dengan pandangan Theodore Meyer Greene yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses persiapan sumber daya manusia untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan arti. Dalam konteks perkembangan Indonesia dan tantangan yang akan datang, perlu dipahami bahwa manusia merupakan modal insan yang harus dibekali dengan sistem pendidikan yang berkualitas untuk membentuk karakter dan memfasilitasi pertukaran pengetahuan.

Pembentukan karakter bagi warga negara Indonesia menjadi hal yang sangat krusial. Warga negara Indonesia harus memiliki karakter yang merujuk pada nilai-nilai mulia kebangsaan, memiliki jiwa patriotisme, integritas yang tinggi dan ketahanan diri. Inilah prinsip yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara, dikenal sebagai Bapak Pendidikan di Indonesia, yang menyatakan bahwa "Edukasi dan pembelajaran di Republik Indonesia haruslah berakar pada budaya dan sosial masyarakat Indonesia, mengarah pada pencapaian kebahagiaan inner serta kesejahteraan eksistensial."

Sebuah sistem pendidikan yang berkualitas akan bisa melahirkan tenaga kerja berkualitas yang mendorong kemajuan sebuah bangsa. Kualitas pendidikan yang tinggi di suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kemajuan negara tersebut. Di sisi lain, kualitas pendidikan yang rendah akan menyebabkan suatu negara mengalami keterbelakangan. Mengacu pada laporan World Population Review, pada tahun 2021, lima negara dengan sistem pendidikan paling unggul di dunia adalah Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan Perancis.

Negara-negara di atas memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sangat tinggi, melebihi angka 0.9. IPM digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai mutu sumber daya manusia sebuah negara. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), ada tiga kriteria utama yang menandai sebuah negara sebagai negara maju: pendapatan domestik bruto per kapita yang elevatif, industri yang berkembang, dan diversifikasi ekspor yang luas, serta sebuah sektor keuangan yang sinergis dengan sistem keuangan internasional.

Adapun posisi sistem pendidikan di Indonesia menempati urutan ke-54 dari total 78 negara yang dievaluasi. Dalam lingkup negara-negara di kawasan ASEAN, Indonesia masih terletak di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati peringkat ke-107 dari 189 negara, dengan skor 0,718, yang masuk dalam kategori tinggi. Namun, skor IPM Indonesia ini masih berada di bawah negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Indonesia saat ini diklasifikasikan sebagai negara dengan pendapatan menengah ke bawah, mengalami penurunan dari klasifikasi sebelumnya sebagai negara dengan pendapatan menengah ke atas, yang dipengaruhi oleh dampak pandemi Covid-19.

Ini berarti bahwa terdapat tugas kolektif bagi bangsa Indonesia untuk mengangkat standar pendidikannya. Upaya peningkatan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari institusi pendidikan, guru, orang tua, hingga para siswa itu sendiri. Fokus utama haruslah pada peningkatan kualitas pembelajaran, pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman, serta penjaminan akses pendidikan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, di mana hal itu adalah langkah esensial dalam mewujudkan potensi penuh bangsa dan memastikan perkembangan yang berkelanjutan dan inklusif bagi Indonesia.

Permasalahan pendidikan di Indonesia menjadi tantangan yang signifikan bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar populasi yang terjerat dalam kemiskinan mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan. Selain itu, ada juga yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk mencapai pertumbuhan yang berkualitas. Kendala ekonomi menjadi faktor utama yang menghambat mereka dari mengejar pendidikan. Meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan pendidikan gratis dan wajib selama 12 tahun, namun masih ada biaya tambahan yang harus ditanggung oleh para siswa, seperti biaya transportasi, pembelian buku, seragam, dan perlengkapan sekolah yang tidak terjangkau bagi sebagian masyarakat. Meningkatnya biaya hidup sehari-hari membuat banyak orang lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan.

Hal itu selaras dengan permasalahan kemiskinan di Indonesia masih menjadi isu yang belum terpecahkan hingga saat ini. Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS 2018, jumlah individu yang hidup dalam kondisi miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang atau sekitar 9,82% dari total penduduk. Meskipun terdapat tren penurunan jumlahnya, namun kenyataannya masih banyak ditemui masyarakat yang berjuang untuk bertahan di bawah garis kemiskinan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memahami akar permasalahan kemiskinan, salah satunya adalah akses terbatas terhadap pendidikan. Banyak individu merasa kesulitan dalam mengakses pendidikan karena biaya yang tinggi, dan ini memicu sebuah lingkaran setan yang sulit diputuskan.

Kurangnya kesempatan pemerataan pendidikan juga menjadi masalah serius. Pemerintah cenderung lebih memprioritaskan pendidikan di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini tercermin dari perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan di kota, sementara pendidikan di pedesaan sering kali terabaikan. Sebagai hasilnya, kesenjangan kualitas pendidikan antara kota dan desa di Indonesia tetap menjadi permasalahan yang belum terpecahkan.

Didukung dengan data dari Dirjen Dukcapil, penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022. Namun, hanya sebagian kecil, yaitu 6,41%, yang berhasil mencapai pendidikan tinggi. Rinciannya adalah 0,41% untuk jenjang D1 dan D2, 1,28% untuk D3, 4,39% untuk S1, 0,31% untuk S2, dan hanya 0,02% untuk S3. Angka ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar dalam memastikan akses pendidikan tinggi yang merata dan inklusif bagi seluruh penduduk Indonesia. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan tinggi guna mendukung pengembangan potensi maksimal bagi masyarakat Indonesia.

Padahal harus diingat bersama bahwa generasi muda adalah tulang punggung dalam membangun masa depan bangsa. Sebagai penerus, mereka perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang mendalam dan pengalaman yang luas. Generasi saat ini memiliki tanggung jawab besar dalam membawa perubahan positif bagi masyarakat dan negara. Mereka harus siap menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dengan keterampilan dan pemahaman yang matang. Jika generasi ini mempunyai landasan pendidikan yang kokoh dan pengalaman yang beragam, generasi muda akan mampu menjawab berbagai tantangan dan memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun