teknologi informasi telah mengubah cara manusia hidup, berkomunikasi, dan bekerja. Di garis depan transformasi ini, media sosial muncul sebagai salah satu inovasi paling signifikan. Bagi Generasi Z (Gen Z) kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga ruang untuk berekspresi, belajar, dan membangun identitas.
Bandung -Â Dalam beberapa dekade terakhir, perkembanganNamun, penggunaan media sosial yang masif ini membawa dampak yang kompleks. Banyak penelitian menunjukkan bahwa di samping manfaatnya, media sosial juga memicu berbagai masalah, seperti degradasi keterampilan sosial, gangguan kesehatan mental, hingga perilaku agresif. Generasi ini berada di persimpangan jalan: apakah mereka akan memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk maju, atau malah terjebak dalam sisi gelapnya?
Media Sosial sebagai Pisau Bermata Dua
Di satu sisi, media sosial adalah ruang yang menawarkan banyak peluang. Anak-anak muda kini dapat belajar keterampilan baru melalui video tutorial di YouTube, mengembangkan kreativitas melalui konten di TikTok, atau memperluas jaringan profesional melalui LinkedIn. Platform ini bahkan telah melahirkan profesi baru, seperti content creator dan influencer, yang kini menjadi impian banyak remaja.
Namun, sisi lain dari media sosial tak kalah mengkhawatirkan. Generasi Z, yang tumbuh di tengah arus informasi digital, sering kali menjadi korban dari tekanan psikologis, gangguan tidur, hingga perasaan kesepian yang paradoksal---meskipun mereka terlihat "terhubung" dengan dunia luar.
Sebagai contoh, laporan Pew Research Center menunjukkan bahwa 45% remaja Gen Z online hampir sepanjang waktu. Ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi digital, yang berisiko mengganggu keseimbangan hidup mereka.
Degradasi Keterampilan Sosial : Ketika Interaksi Langsung Menjadi Langka
Salah satu dampak negatif yang paling nyata dari penggunaan media sosial adalah penurunan keterampilan sosial. Sebelum era digital, interaksi tatap muka adalah cara utama manusia berkomunikasi. Namun, kini, Gen Z lebih sering memilih untuk mengirim pesan teks atau menggunakan emoji daripada berbicara langsung.
Menurut Przybylski dan Weinstein (2017), interaksi berbasis digital tidak mampu menggantikan kehangatan komunikasi tatap muka. Anak-anak dan remaja yang terlalu sering bergantung pada media sosial cenderung kurang mampu memahami ekspresi wajah, menunjukkan empati, atau menjalin hubungan mendalam.
Dampak ini terasa di berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan keluarga. Banyak orang tua merasa bahwa anak-anak mereka semakin sulit diajak berdiskusi karena mereka lebih asyik dengan ponsel mereka. Fenomena ini memperlihatkan pentingnya upaya untuk membatasi waktu layar dan mendorong komunikasi langsung di rumah.
Cyberbullying dan Bahaya Anonimitas di Dunia Maya