Dua tahun ibu selalu merayu adikku dari depan pintu kamarnya dan tiap hari aku melihat mata ibu selalu sembap. Meskipun ketika di luar rumah ibu bisa menutupi hatinya yang nelangsa.Â
Aku bertanya dalam hati mengapa ibuku selalu menderita? Sedari kecil hingga sekarang mengapa aku selalu melihat banyak penderitaan yang beliau rasakan. Mulai dari perceraian ayah dan ibunya sedari beliau kecil, ayahnya yang berpapasan dengan beliau saja tak mau menyapa, harus berjauhan dengan suami ketika sudah menikah hingga masa tuanya, dan kini anak bungsunya memutuskan mengurung diri hampir selama dua tahun.
Mengapa ibuku selalu menderita?Â
Syukur dan Sabar Adalah Kunci Menghadapi Dinamika Kehidupan
Bahkan saat itu guru agama sekalipun tidaklah berjilbab, beda dengan ibu yang guru sejarah tapi sudah berjilbab. Selepas perceraian kedua orang tuanya, ibuku tinggal bersama kakek dan nenek, pelajaran agama banyak didapat ibuku bahkan ibu sempat dipondokkan. Tumbuhlah ibu menjadi sosok yang agamis.Â
Saat di Karangkobar, dulu ibu pernah dicurigai sebagai orang yang beraliran islam liberal. Bahkan teman sekamarnya sampai diminta untuk memata-matai ibu. Ketika ibu tahu hal itu, ibu tidak marah.Â
Perceraian keluarga sedari kecil telah membentuknya menjadi pribadi yang kuat hingga seberat apapun masalahnya bisa dengan mudah dilewati. Apa kuncinya? Karena ibuku punya pegangan agama yang kuat. Ada satu hadits yang menjadi penguat hati ibu ketika masalah terjadi.
"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya." (HR. Muslim, no. 2999)
Syukur dan sabar menjadi kunci beliau kuat dalam menghadapi setiap permasalahan dalam hidupnya. Sebuah pelajaran hidup yang selalu ibu gaungkan pada anak-anaknya.Â