"Bu, sekarang cara daftar haji bagaimana ya? Kakakku usianya hampir delapan puluh tahun tapi baru pengen daftar sekarang. Mana KTP-nya itu masih domisili Lampung dan hilang pula KTP-nya."
Itulah pertanyaan yang mengawali percakapan antara bapak dan ibu di ruang makan pada suatu sore. Aku tak begitu memperhatikan jelasnya bagaimana jawaban ibu ketika bapak bertanya seperti itu. Karena aku fokus dengan minuman yang sedang kubuat di dapur.
Pertanyaan itu membuatku terngiang lama.
Kakaknya bapak baru mau daftar haji di usia yang hampir memasuki usia delapan puluh tahun. Bukankah daftar tunggu haji sekarang sudah mencapai waktu tunggu 21 tahun? Kalau kakaknya bapak harus menunggu 21 tahun lamanya, apakah beliau masih hidup?
Ah liar sekali pikiranku, namanya umur hanya Allah yang tahu. Namun, dari situ aku justru termotivasi untuk mewujudkan impianku yakni pergi haji di usia muda.
Aku dan sahabatku pernah punya impian kelak ketika kita sudah menikah, hal yang pertama kita lakukan adalah mendaftar haji bersama pasangan.
Namun, dua tahun menikah impian itu belum kesampaian. Impian itu terkendala dengan gajiku sebagai guru TK yang masih pas-pasan dan suami yang masih merintis usaha. Namun, dengan mendengar percakapan bapak bersama ibu tadi, aku jadi semakin bersemangat untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk segera daftar haji.
Gaji Pas-Pasan Bukan Halangan Membulatkan Tekad Untuk Berhaji di Usia Muda
Tahukah kamu berapa gaji guru TK di negeri kita tercinta? Tidak banyak, bahkan tak menyentuh nilai UMR. Gaji rekan-rekan guru TK di kecamatanku paling banyak hanya menyentuh angka Rp. 500.000. Aku lebih beruntung karena gajiku lebih tinggi dari mereka, namun tetap tak menyentuh angka UMR. Rekan-rekan millennial lain yang memutuskan menjadi guru honorer pun mengalami nasib serupa.
Hal yang miris bukan?