Di sebuah desa kecil yang sunyi, dengan pemandangan alam yang memanjakan mata, tinggal seorang pemuda yang bernama Nimo. Desa itu terletak jauh dari keramaian kota, dikelilingi sawah hijau dan perbukitan yang menjulang. Setiap hari, Nimo bangun pagi-pagi sekali, membantu orangtuanya di sawah atau pergi ke pasar untuk bekerja di toko kecil milik keluarganya. Kehidupannya sederhana, namun Nimo selalu merasa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
Sejak kecil, Nimo dikenal sebagai anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ia selalu bertanya kepada orang-orang di sekitar tentang berbagai hal terkadang tentang alam, sejarah, bahkan tentang agama. Namun, di desa yang begitu terpencil itu, pengetahuan terbatas hanya pada apa yang diajarkan oleh orang-orang tua yang telah lama tinggal di sana. Kebetulan kakek buyutnya adalah seorang ulama yang dihormati di desa, beliau juga sekaligus menjadi salah satu sumber utama ilmu bagi Nimo.
Suatu malam, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Nimo duduk di teras rumah kakek buyutnya. Kakek buyut yang sudah sangat sepuh dan dengan wajah yang penuh garis kerut, sedang menikmati secangkir teh. Nimo pun memutuskan untuk duduk dan berbincang dengannya, seperti yang sering ia lakukan.
Kakek buyutnya memandang jauh ke depan, kemudian berujar, "Nimo, apa kamu tahu sebuah hadis yang cukup terkenal, meskipun banyak yang menganggapnya lemah?"
Nimo pun menggelengkan kepalanya dengan antusias karena penasaran. "Hadis apa itu, Kakek buyut?"
Kakek buyutnya tersenyum, "Hadis yang berbunyi, 'Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina'."
Nimo mengernyitkan dahi. "Apa maksudnya, Kek? Apa yang bisa kita pelajari dari Cina? penjajahannya kah?" tanyanya dengan bingung.
Kakeknya tertawa pelan. "Cicitku, hadis itu meskipun dho'if, atau lemah tetapi ia mengandung pesan yang sangat mendalam. Cina di sini bukan berarti maknanya secara harfiah kota cina, tetapi lebih kepada simbol dari usaha untuk mencari ilmu, bahkan ke tempat yang jauh dan penuh tantangan. Ilmu itu tak mengenal batas, tak ada jarak yang terlalu jauh jika kita benar-benar ingin mencapainya."
Nimo justru semakin tertarik, dan kakek buyutnya pun melanjutkan, "Kita sering terjebak dalam kenyamanan hidup kita yang sederhana. Namun, dunia ini penuh dengan pengetahuan yang menunggu untuk ditemukan. Jika kita ingin benar-benar menuntut ilmu, kita harus berani keluar dari zona nyaman kita. Dan itu tidak selalu mudah."
Nimo mulai merenung dan memikirkan semuanya. Selama ini, ia hanya belajar dari apa yang ada di sekitarnya dari keluarga, teman, lingkungan desa dan lingkungan sekolah. Namun, ia merasa ada yang kurang. Ia merasa bahwa ilmu yang ia terima belum cukup untuk menjawab banyak pertanyaannya tentang dunia dan agama.
Nimo menatap kakeknya dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu bahwa setiap keputusan besar dalam hidup harus dipikirkan matang-matang, dan meninggalkan desa yang telah menjadi rumahnya sepanjang hidup adalah keputusan yang tidak mudah. Namun, semakin lama ia merenungkan kata-kata kakek buyutnya, semakin jelas pula rasa keingintahuanya untuk belajar lebih banyak. Ia ingin menuntut ilmu, bukan hanya ilmu agama yang sudah dipelajari di desanya, tetapi juga ilmu duniawi yang akan memperkaya pemahamannya tentang kehidupan.
Keesokan malamnya, di bawah langit yang bertabur bintang, Nimo kembali duduk termenung di teras rumah. Di kejauhan, tampak kelip lampu dari rumah-rumah tetangga, dan suara angin yang berhembus membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ia merasa seolah-olah alam sedang berbicara padanya, memberinya waktu untuk berpikir dengan tenang.
"Nimo," suara kakek buyutnya kembali memecah keheningan. "Aku tahu perasaanmu. Pergi ke kota bukanlah hal yang mudah. Tapi ingat, kadang kita harus meninggalkan kenyamanan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Ilmu itu tidak bisa ditemukan hanya dalam satu tempat, dan perjalanan hidupmu baru dimulai. Keberanian untuk melangkah, untuk berubah, adalah bagian dari pencarian ilmu yang hakiki."
Nimo mengangguk, meskipun hati kecilnya masih terasa ragu. Ia sudah mencintai desa ini. Mencintai kedamaian yang ditawarkannya. Mencintai kebersamaan dengan orang-orang yang mengenalnya sejak kecil. Namun, ia juga tahu, ia tidak bisa terus tinggal dalam kenyamanan yang sama jika ingin berkembang. Ia harus mengubah arah, mencari sesuatu yang lebih, yang mungkin hanya bisa ia temukan di luar sana.
Keputusan itu akhirnya datang. Beberapa minggu kemudian, dengan hati yang penuh keraguan dan semangat yang baru, Nimo memutuskan untuk pergi. Ia berbicara kepada orangtuanya tentang niatnya untuk pindah ke kota besar, melanjutkan pendidikannya di sana. Orangtuanya, meskipun berat, memberi restu. Mereka tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil Nimo untuk meraih impian yang lebih besar.
"Sebelum kamu pergi," kata ibunya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, "jangan lupa untuk selalu menjaga adab dan iman. Di kota besar itu, dunia bisa sangat menggoda, dan hanya dengan ilmu yang benar, kamu akan bisa menjaga dirimu."
Ayahnya menambahkan, "Kota besar memang menawarkan banyak kesempatan, Nimo. Tapi ingat, semakin banyak ilmu yang kamu dapat, semakin besar pula tanggung jawabmu untuk menggunakannya dengan bijak. Jangan pernah lupakan nilai-nilai yang kita ajarkan di sini, di desa ini."
Setelah berpamitan dengan orangtuanya, Nimo memulai perjalanan panjang menuju kota. Ia tidak hanya membawa pakaian dan perlengkapan belajar, tetapi juga membawa harapan besar. Harapan untuk menemukan ilmu yang bisa membantunya memahami dunia dengan lebih baik dan mendekatkan dirinya kepada Allah.
Perjalanan menuju kota juga bukanlah hal yang mudah. Nimo harus melewati jalan-jalan yang jauh dan kadang berbahaya. Namun, setiap langkah yang ia ambil membawa rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia tahu bahwa tantangan di depan mungkin lebih berat, tetapi ia siap menghadapi semuanya.
Setibanya di kota, Nimo langsung merasakan perbedaan yang signifikan. Di desa, ia sudah terbiasa dengan suasana yang tenang dan akrab, namun di kota ini, semuanya terasa begitu ramai dan sibuk. Gedung-gedung tinggi menjulang, kendaraan berderap di jalan, dan manusia berlalu-lalang dengan tujuan yang jelas. Di sini, Nimo merasa kecil, namun di sisi lain, ia merasa ada peluang besar yang menunggu di depan.
Hari pertama di kota, ia langsung menuju ke sebuah universitas yang terkenal. Nimo memilih untuk melanjutkan studi di bidang ilmu agama dan filsafat, dua bidang yang selalu membuatnya penasaran. Ia bertemu dengan berbagai mahasiswa dari berbagai latar belakang, yang sebagian besar jauh lebih berpengalaman dalam berbagai hal. Mereka berbicara dengan lancar tentang teori-teori filsafat, sains, dan kebudayaan yang seringkali asing baginya. Namun, Nimo tidak gentar. Ia tahu bahwa ia datang untuk belajar, dan ia tidak akan berhenti sebelum menemukan apa yang ia cari.
Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan universitas, membaca berbagai buku, dan bertanya kepada para dosen dan teman-teman sekelasnya. Meskipun kadang merasa kesulitan, ia tidak pernah mundur. Semangatnya terus membara, dan satu hal yang selalu ia ingat adalah pesan kakeknya, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina." Meski hadis itu dho'if, namun makna yang terkandung di dalamnya begitu kuat. Ilmu itu tidak mengenal batas. Dan ia bertekad untuk menuntut ilmu, apapun rintangannya.
Seiring berjalannya waktu, Nimo semakin mengenal kota ini. Ia mulai merasa nyaman, meskipun kerinduannya pada desa dan keluarganya tetap ada. Ia merasa semakin yakin bahwa keputusan untuk pergi ke kota besar adalah langkah yang tepat. Ilmu yang ia temukan di sini jauh lebih luas daripada yang ia bayangkan. Namun, ia juga menyadari bahwa dunia ini penuh dengan godaan yang bisa mengalihkan seseorang dari tujuan sejatinya. Kadang, ia merasa tersesat dalam hiruk-pikuk kota yang penuh dengan berbagai kemewahan dan kehidupan yang sangat berbeda dengan desa kecilnya.
Kehidupan di kota besar jauh berbeda dengan apa yang ia bayangkan. Nimo merasa seperti ikan yang dibawa ke dalam kolam yang sangat luas. Di sana, ia bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, belajar berbagai macam ilmu, dan mendalami bidang-bidang yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan. Dari ilmu agama, filsafat, IT, hingga ilmu pengetahuan modern, semuanya ia pelajari dengan antusias.
Namun, meskipun ia semakin banyak belajar, ada satu hal yang selalu mengganjal di hatinya. Meski kota besar itu menawarkan berbagai kesempatan, Nimo merasa ada kekosongan dalam dirinya. Ia sering teringat akan orang tua dan kakek buyutnya, dan kalimat yang terakhir kali didengarnya: "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina". Nimo pun mulai merasa bahwa ilmu yang paling berharga adalah ilmu yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, ilmu yang bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan hanya untuk kesenangan atau prestasi semata.
Suatu hari, saat ia sedang belajar di sebuah kafe kampus, seorang teman lama dari desanya datang mengunjunginya. Teman itu, bernama Ungki, duduk di depannya dengan senyum lebar. "Nimo, aku dengar kamu sudah pindah ke kota. Kenapa sih, kamu harus jauh-jauh pergi ke kota besar untuk mencari ilmu? Bukankah di desa kita juga banyak yang bisa kita pelajari?" tanyanya sambil menatap penuh rasa ingin tahu.
Nimo memandang temannya itu dengan tatapan serius. "Ungki, kata kakek buyutku ilmu itu tak terbatas. Jika aku hanya tinggal di desa, aku hanya akan mendapatkan ilmu yang terbatas. Terkadang kita harus pergi jauh, mencari ilmu dari tempat yang belum kita kenal, dari orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Dunia ini luas, Ungki. Dan aku yakin, ilmu itu ada di setiap sudutnya. Aku mencari ilmu untuk memahami dunia ini lebih dalam."
Ungki terdiam, merenungkan kata-kata Nimo. Nimo pun melanjutkan, "Kakek buyutku pernah mengatakan, 'Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.' Artinya, kita harus terus mencari ilmu tanpa henti, bahkan jika perjalanan itu jauh dan penuh rintangan. Tapi yang lebih penting lagi, ilmu itu bukan hanya tentang apa yang kita pelajari, tetapi tentang bagaimana ilmu itu mengubah kita dan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan dan memberikan manfaat bagi orang lain."
Ungki mengangguk perlahan. "Aku paham, Nimo. Terkadang kita memang terlalu nyaman dengan apa yang ada di sekitar kita. Tapi sekarang aku mulai mengerti, ilmu itu tidak hanya tentang apa yang kita tahu, tetapi juga tentang bagaimana kita menggunakannya."
Hari demi hari, Nimo semakin merasa bahwa pencariannya akan ilmu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk lebih bermanfaat bagi orang lain. Ia memutuskan untuk belajar lebih dalam tentang agama, tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk bisa mengajarkan orang lain tentang kebijaksanaan hidup. Ia juga mulai mencari cara agar ilmu yang ia peroleh bisa diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang ada di desanya, tempat ia berasal.
Di suatu kesempatan, Nimo diundang untuk memberikan ceramah di sebuah acara komunitas di kota. Ia berbicara tentang pentingnya menuntut ilmu dengan niat yang benar, yaitu untuk mencari ridha Allah. Ia menceritakan pengalaman hidupnya, bagaimana ia memulai perjalanan menuntut ilmu, dan bagaimana ia belajar untuk tidak hanya fokus pada dunia, tetapi juga pada akhirat.
"Aku pernah mendengar sebuah hadis yang meskipun dianggap lemah," kata Nimo di hadapan audiens, "tapi maknanya sangat kuat. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, ilmu itu tak mengenal batas. Dan jika kita menuntut ilmu dengan niat yang benar, ia akan membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat."
Setelah ceramah itu, banyak orang yang mendekati Nimo dan mengucapkan terima kasih atas nasihatnya. Ia merasa bahwa perjuangannya selama ini untuk mencari ilmu, meski penuh tantangan dan rintangan, telah membawa manfaat yang luar biasa. Kini ia mengerti, bahwa ilmu bukanlah sekadar tentang apa yang kita pelajari, tetapi tentang bagaimana ilmu itu mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik, yang bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Nimo pun kini menyadari, bahwa meskipun hadis tentang menuntut ilmu sampai ke negeri Cina itu lemah, semangat yang terkandung di dalamnya tetap hidup dalam dirinya. Ilmu itu harus dicari tanpa henti, di mana pun dan kapan pun, dengan niat yang tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat bagi umat manusia. Dan meskipun ia tak harus sampai ke Cina, perjalanan menuntut ilmu yang ia jalani membawanya lebih dekat kepada tujuan hidup yang sejati: hidup yang penuh makna, penuh berkah, dan selalu mengingat tujuan akhir yang abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H