Mohon tunggu...
nabilazahwa
nabilazahwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN K.H ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

hai

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kenaikan PPN 12%: Menambah Pendapatan Negara tapi Menekan Pertumbuhan Ekonomi

17 Desember 2024   19:58 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:58 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan oleh pemerintah atas semua transaksi penjualan dan pembelian barang atau jasa yang dilakukan oleh wajib pajak, baik individu maupun badan yang tergolong sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) (putri, 2024). Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai tanggal 1 Januari 2025 yang sebelumnya memiliki besaran tarif PPN sebesar 11% yg merupakan langkah signifikan dalam kebijakan perpajakan Indonesia. Kebijakan ini, diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai berbagai sektor, seperti insfrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, banyak pengamat ekonomi memperingatkan bahwa kebijakan ini juga dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Meskipun demikian, implementasi PPN baru saja mulai diberlakukan, namun Menteri Keuangan Indonesia mengusulkan dan presiden menyetujui kenaikan PPN sebesar 10% menjadi 11%. Rencananya kenaikan persentase PPN ini masih berlanjut dengan target 12% paling lambat 1 Januari 2025, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan di Indonesia. Liyana (2023) dalam pandangan beliau mengatakan, ini memang bisa saja membawa dampak terhadap perekonomian masyarakat, utamanya inflasi berupa kenaikan harga barang. Harga tertinggi barang komoditas yang dikenakan PPN sebesar 12% cenderung mengurangi aktivitas ekspor dan meningkatkan impor secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat sebagai masalah dalam kerangka teori keuntungan komparatif dalam perdagangan, karena dalam hal penetapan harga banyak barang komoditas lainnya diberikan harga domestik yang lebih tinggi, masyarakat cenderung memilih harga lebih rendah dari barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang lebih mahal akibat penerapan PPN 12% berdasarkan asumsi rezim moneter Kurs Tetap dalam model. Namun, tidak semua barang dan jasa dikenakan pajak menurut Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2022, terutama barang kebutuhan pokok seperti sembako yang dijual di pasar tradisional (tidak termasuk produk premium dan bahan pokok). Jasa tenaga kerja, jasa angkutan umum, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa sosial, jasa pendidikan, dan jasa Kesehatan.

Selain itu, ada juga barang dan jasa tertentu yang dibebaskan dari PPN, seperti:

1. Objek pajak daerah berupa barang.

2. Objek pajak daerah seperti jasa.

3. Uang dan emas batangan yang sengaja diperuntukkan sebagai cadangan devisa dan instrumen pasar uang.

4. Jasa keagamaan dan jasa bantuan yang diberikan oleh pemerintah.

Kenaikan PPN ini ditujukan untuk mendukung pembiayaan APBN. Selain mempertimbangkan faktor penerimaan negara, kenaikan PPN menjadi 12% juga harus mempertimbangkan kondisi aktual masyarakat. Tujuan utama dari peningkatan tarif pajak pertambahan nilai ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang (Majids et al., 2023). Namun, menurut Feb & Duncii (2024), kebijakan tarif PPN mendapatkan penolakan dari beberapa kelompok karena dianggap tidak tepat dilaksanakan pada waktu ini. Meskipun pandemi telah berlalu, masih ada segmen masyarakat yang pendapatannya belum stabil. Sedangkan dari perspektif pemerintah, tujuan dari kenaikan tarif ini adalah untuk memperluas basis pajak di Indonesia sambil tetap menjaga prinsip keadilan dan manfaat. Ini merupakan langkah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dalam rangka mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan memiliki kepastian hukum (Agasie, D., & Zubaedah, 2022). Kenaikan tarif PPN diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan negara sekitar Rp70 triliun hingga Rp80 triliun jika diterapkan secara merata. Namun, jika hanya dikenakan pada barang-barang mewah, proyeksi penerimaan hanya mencapai Rp1,7 triliun13. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menghadapi tantangan dalam merumuskan kebijakan yang efektif dan efisien.

Dampak kenaikan PPN 

1. Inflasi dan kenaikan harga barang

Salah satu dampak yang paling bisa dirasakan dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah potensi inflasi. Kenaikan tarif pajak ini biasanya akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang atau jasa. Beberapa sumber juga mencatat bahwa meskipun pemerintah memperkirakan dampak inflasi dari kenaikan PPN ini tidak akan terlalu signifikan, akan tetapi ada kekhawatiran bahwa hal tersebut bisa mendorong inflasi lebih tinggi. Menurut Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementrian Keuangan, dampak dari kenaikan tarif PPN sebelumnya (dari 10% ke 11%) diperkirakan akan menambah inflasi sekitar 0,4%. Namun, ekonom senior seperti Faisal Basri memperkirakan inflasi bisa mencapai 3-5% akibat kenaikan ini.

2. Dampak terhadap daya beli masysarakat

Kenaikan PPN diperkirakan akan berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah. Pengamat ekonomi seperti Eko Listyanto dan Ronny P Sasmita menyatakan bahwa kenaikan pajak ini dapat menggerus konsumsi masyarakat, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN yang lebih tinggi dapat membuat masyarakat lebih selektif dalam pengeluaran mereka.

3. Penurunan pertumbuhan ekonomi

Kenaikan tarif PPN akan menyebabkan harga barang dan jasa meningkat, yang pada gilirannya akan mengurangi daya beli masyarakat. Beberapa ekonom memperkirakan bahwa kenaikan PPN akan menekan pertubuhan ekonomi indonesia. Dengan harga yang lebih tinggi, konsumen akan lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka, terutama untuk barang-barang non-primer. Penurunan daya beli dapat mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen penting dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika konsumsi menurun, maka produksi perusahaan juga akan terpengaruh, berpotensi menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan peningkatan angka pengangguran.

Respon Masyarakat dan Ekonom

Respon masyarakat terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 cenderung negatif, dengan banyak warga yang khawatir akan dampaknya terhadap daya beli mereka. Banyak konsumen, terutama dari kalangan menengah ke bawah, merasa terbebani oleh kemungkinan kenaikan harga barang dan jasa yang diakibatkan oleh tarif PPN yang lebih tinggi. Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa meskipun pemerintah beralasan bahwa kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan, dampak langsungnya adalah peningkatan biaya hidup yang signifikan. Beberapa orang bahkan mulai melakukan gerakan boikot belanja dan mengurangi pengeluaran sehari-hari sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini.

Di sisi lain, para ekonom juga memberikan keprihatinan mereka tentang kebijakan ini. Mereka menekankan bahwa di bawah kondisi ekonomi yang masih belum pulih pasca pandemi, kebijakan dari peningkatan PPN malah akan memperburuk kondisi perekonomian dan mengurangi khasanah domestik. Sebagai contoh, ekonom dari INDEF dan CORE Indonesia merekomendasikan bahwa pemerintah sebaiknya menunda kenaikan PPN hingga kondisi ekonomi warga membaik. Mereka berpendapat bahwa pada kondisi seperti saat ini, berarti ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak, sebab hal ini bisa menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi keseluruhan.

Sebagai alternatif terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan perpajakan yang lebih progresif, seperti meningkatkan pajak pada barang-barang mewah dan produk yang tidak esensial, sambil mempertahankan tarif  PPN pada barang dan jasa pokok. Selain itu, pemerintah juga bisa fokus pada penguatan sistem perpajakan yang ada dengan memperbaiki administrasi perpajakan dan mengurangi kebocoran pajak, sehingga dapat meningkatkan penerimaan tanpa membebani masyarakat secara langsung. Pemberian insentif pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) serta program bantuan sosial untuk kelompok rentan juga bisa menjadi langkah strategis untuk menjaga daya beli masyarakat. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat tetap mencapai target pendapatan negara tanpa menambah beban pada masyarakat yang sudah menghadapi tantangan ekonomi. Sebagian ekonom juga barpendapat agar pemerintah mempertimbangkan insentif atau subsidi untuk membantu masyarakat kelas menengah dan bawah agar tidak terlalu terbebani oleh kenaikan pajak. Hal ini dinilai penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan PPN menjadi 12% membawa konsekuensi kompleks bagi perekonomian Indonesia. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, dampaknya terhadap inflasi, daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi perlu diperhatikan dengan serius oleh pemerintah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga di tengah kebijakan fiskal yang ketat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun