"Bapak dulu suka ngebecak, tapi karena ngebecak gak ada, soalnya banyak saingan sebab ada ojek online, sekarang juga ngebecak dianggap kemahalan, karena gak ada jalan lain kecuali jadi badut buat nyari uang kesana kemari " ucap Pak Aas. Hal tersebut menjadi bukti bahwa berprofesi sebagai badut jalanan disebabkan karena kehilangan pekerjaan sehingga menjadi pilihan terakhir untuk bekerja.
Selama ia bekerja, Pak Aas mengaku sering mendapat perlakuan dan perkataan buruk "Kalo sama orang tua jarang, kalo sama anak muda mah sering, sama perempuan atau laki-laki, tapi sama Bapak ga diambil pusing soalnya Bapak sadar diri, yaudah biarin aja we. Oang bilang apa pun saya tidak peduli karena lebih penting keluarga daripada yang lain-lain ". Selain itu, Pak Aas juga sering dimarahi "kalo yang marah mah banyak, kadang-kadang gini, suami nya udah ngasih uang ke Bapak tapi istrinya ngomel-ngomel makannya sama Bapak uang Rp.2.000 nya dibalikkin lagi ".
Bukan hanya satu atau dua kali kejadian itu Ia alami, sehingga Ia mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, "Terus terang kalo sejujur-jujurnya Bapak mah pengen jualan tapi mau gimana lagi, mau jualan, yang jualannya banyak, mau pinjem buat modal jualan takut ga ke bayar hutangnya. Sebenanrnya bapak sudah jenuh jadi badut" ujarnya.
Narasumber selanjutnya yaitu tiga anak yang masih Sekolah Dasar yang kami temui di masjid Al-Muhajirin Universitas Siliwangi. Mereka memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi badut jalanan yaitu karena ingin memberikan hadiah untuk ayahnya pada hari ayah nanti.Â
Uang hasil jerih payah mereka juga digunakan untuk tambahan uang saku, karena kadang jika mereka tidak diberi uang saku untuk sekolah, uang itulah yang mereka gunakan.
Saat kami tanya apakah mereka malu menjadi badut jalanan, mereka mengaku tidak malu dan senang menjalaninya, karena ternyata banyak dari teman mereka yang bekerja sebagai badut jalanan juga. Mereka bekerja atas dasar keinginannya sendiri tanpa ada paksaan dari orang tuanya. Namun karena kondisi sosial ekonomi lah yang memaksa mereka.
Meski sepulang sekolah mereka bekerja sebagai badut, tapi tidak menganggu kegiatan sekolah mereka. Salah satu anak itu mengaku bahwa peringkat paling kecil yang pernah ia dapatkan di sekolah adalah peringkat enam. Syukurnya diantara mereka tidak pernah mendapat perlakuan yang buruk.
Dari kedua narasumber yang kami wawancarai yaitu Pak Aas dan Ketiga anak tersebut, ternyata yang sering memberi yaitu di kalangan remaja. "Banyak yang ngasih itu dari kakak-kakak, sering ada yang ngasih makanan sama minuman ", ujar ketiga anak tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat umum hingga kita sebagai mahasiswa. Karena fenomena badut jalanan adalah masalah kompleks sehingga diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk mencari solusi yang berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki martabat dan hak yang sama. Dengan mengubah persepsi dan memberikan dukungnan yang diperlukan, kita dapat membantu badut jalanan untuk hidup lebih layak dan bermartabat.Â
Membangun empati mahasiswa terhadap badut jalanan merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab. Dengan meningkatkan kesadaran, memberikan kesempatan untuk berinteraksi langsung, dan mendorong aksi nyata, kita dapat menginspirasi generasi muda untuk menjadi agen perubahan yang positif.