Mohon tunggu...
Nabila Yumedika Shanda
Nabila Yumedika Shanda Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya menulis tentang banyak hal, baik mengenai diri sendiri, lingkungan dan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berbincang di Pantai Air Manis

29 Desember 2023   19:50 Diperbarui: 4 Januari 2024   14:34 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai Air Manis, merupakan salah satu objek wisata yang terkenal di kota Padang dengan legenda malin kundangnya, perjalanan menuju kesana cukup jauh dari pusat kota. Tempat saya lahir dan tumbuh besar, sekarang jalan menuju tempat itu sudah ramai, jauh lebih baik dari beberapa tahun belakangan, saya masih ingat bagaimana akses menuju Pantai Air Manis begitu sulit dahulunya, sekarang pembangunan café dan tempat makan sudah ada di mana-mana dan menjadi tempat bersantai bagi wisatawan.

Saat saya datang ke sana, saya merasakan banyak sekali perubahan, perkampungan yang dahulunya sepi, kini sudah menjadi ramai hampir setiap harinya, karena tidak hanya sekadar untuk melihat batu malin kundang yang ikonik, wisatawan juga lebih senang untuk duduk di tepi Pantai dengan menyaksikan pemandangan matahari tenggelam, dan saya melihat sekarang malin kundang justru sepi pengunjung.

Rumah saya terletak dekat sekali dengan gerbang pintu masuk menuju Pantai, terkadang saya biasa duduk di luar untuk sekadar melihat kendaraan keluar masuk dari gerbang, sambil berpikir apa yang akan terjadi jika malin kundang tidak pernah ada? Apakah perkampungan tempat saya tinggal sekarang akan dilupakan orang lain, atau bahkan tidak terlihat? Entahlah terkadang saya berpikir tidak tentu arah.

Saat asik melamun saya dikejutkan dengan kedatangan tetangga saya, beliau sering saya sapa dengan panggilan Uwo, perempuan lanjut usia itu memang sering berkunjung ke rumah saya, hanya sekadar untuk mencari teman mengobrol, sudah seperti nenek bagi saya.

“Kenapa melamun?” tanya Uwo

“Tidak apa-apa, hanya sedang memikirkan apa yang membuat orang lain tertarik untuk datang ke kampung kita, selain untuk melihat malin kundang, bukannya Pantai di tempat lain lebih bagus?” jawab saya.

“Orang-orang itu hanya tau legenda, tidak tahu sejarah, kamu tau kenapa kampung kita disebut Air Manis?” tanya Uwo lagi.

Saya terdiam cukup lama, saya sempat berpikir seperti itu tapi saya tidak berusaha mencari tahu bagaimana kampung tempat saya besar selama ini di beri nama Air Manis, tapi sekarang saya jadi penasaran, saya mulai menunjukkan rasa ingin tahu saya dengan memperbaiki duduk dan melihat kea rah Uwo yang sudah siap bercerita.

“Dulu ada sebuah sumur, sumur itu di isi dengan air yang sangat manis, saking manisnya tentara Belanda yang dahulunya menjajah di sini bisa meninggal dunia karena terlalu rakus meminum air itu, mereka mati karena terlalu kenyang” penjelasan Uwo.

“Jadi air manis itu benar-benar ada? Lalu di mana sumur itu sekarang Uwo?” saya cukup penasaran.

“Sumur itu terletak jauh di dalam hutan di ujung malin kundang, dulu Uwo pernah ke sana, masih di rawat oleh warga kampung ini, tapi sekarang sudah hilang entah kemana, Uwo pernah mencoba untuk pergi ke sana, tapi jalannya sudah tidak terlihat, sudah rimbun berbentuk Semak yang rimbun, hilang sudah” Uwo menjelaskan dengan sangat menggebu-gebu.

Saya terpana mendengar bagaiaman Uwo menjelaskan asal muasal nama kampung saya ini, rasanya saya ingin sekali berangkat ke sana dan mencari sumur yang Uwo bilang, tapi bagaiamana beliau menjelaskan bahwa jalan menuju tempat itu saja sudah tidak berbentuk lagi. Saya sudah tidak punya nyali untuk datang.

“Lalu apa dahulu orang mengkonsumsi air di sumur itu Uwo?” tanya saya.

“Iya, tapi sekadar nya saja, tidak boleh berlebihan, itulah kenapa kampung kita dinamakan Air Manis, sebab memang ada sebuah sumur yang airnya manis” penjelasan Uwo lagi.

Sejujurnya ada banyak hal yang ingin saya tanyakan lagi, terkait kampung tempat saya tinggal ini, tapi saya rasa saya sudah kehilangan kesempatan itu karena Uwo sudah di panggil oleh teman mengobrolnya yang lain, seorang perempuan paruh baya lainnya, saya tidak berniat untuk bergabung dalam obrolan itu, karena mereka pasti membicarakan terkait tetangga yang menyebalkan atau cerita hangat dari ibu-ibu lainnya, sebaiknya saya kembali masuk ke dalam rumah.

Saat sedang berbaring sebentar di dalam kamar, saya mendengar dari cerita ibu-ibu di teras rumah saya, mereka mengatakan ada seorang peremouan muda yang meninggal dunia setelah pergi dari Pulau Singaciak. Saya langsung keluar untuk mendengar info lebih lanjut.

“Dia pergi ke Pulau Singaciak dengan dua orang temannya, saat itu Pulau Singaciak sedang kering, tiba-tiba saat menyusuri Pulau Singaciak, perempuan itu mendadak kejang dan mengeluarkan busa, dia langsung di bawa ke Rumah Sakit, dua hari setelahnya dinyatakan meninggal dunia” begitu penjelasan Etek Upiak

Saya tidak merasa heran lagi jika air laut sedang surut, banyak wisatawan yang datang ke Pulau Singaciak untuk melihat-lihat pulau itu, tapi baru kali ini saya mendengar cerita seperti itu, dari yang saya dengar perempuan yang meninggal itu sebaya dengan saya, dia juga seorang mahasiswa seperti saya.

“Kenapa bisa begitu ya Tek?” tanya saya

“Mungkin dia kancang kataguran, dia tidak sengaja menginjak penghuni ghaib di Pulau itu” penjelasan Aci

Sudah tidak mengherankan lagi bahwa masyarakat di kampung saya masih mempercayai hal-hal seperti itu, tapi ada benarnya juga, Pulau Singaciak merupakan salah satu pulau yang berada di dekat Pantai Air Manis, pulau tersebut tidak terlalu luas, tapi memang jika pasang surut banyak pengunjung datang ke sana, bukan tentang mitos tapi tentang bagaimana kita bisa menjaga sikap untuk datang ke sebuah tempat baru, saya sedih mendengar berita seperti ini, terakhir kali saya datang ke pulau itu saya di buat terpana dengan pemandangannya yang indah, karang laut yang masih banyak, dan deburan ombak yang membuat saya tenang, tapi kembali lagi bagaimana setiap orang bisa menjaga diri dan tingkah laku, saya harap setelah kejadian ini Pulau tersebut tidak semata-mata ditinggalkan begitu saja, sebab, saya masih ingin kembali ke sana untuk sekadar menikmati laut yang sama birunya dengan hati saya.

Oleh Nabila Yumedika Shanda (2210721002)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun