Mohon tunggu...
Nabilatul Hawa
Nabilatul Hawa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia

Manusia perangkai kata dan rasa menjadi sebuah karya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Lepas Kagum di Bumi Sriwijaya

17 Desember 2023   16:56 Diperbarui: 17 Desember 2023   17:59 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makanan Pempek khas Palembang. Photo by Nabilatul Hawa

Minggu, 12 November 2023 

Memulai perjalanan lintas provinsi sejak Senin 3 Juli 2023, saya bersama keluarga berangkat dari Padang menuju Lampung untuk mengunjungi sanak saudara. Ini bukanlah perjalanan pertama saya menuju Lampung, sebelumnya saya pernah ke sana untuk menghadiri resepsi pernikahan kakak saya pada 2020 silam. Berbeda dari sebelumnya, perjalanan kali ini kami lakukan menggunakan mobil.

Tetapi pada kesempatan ini saya tidak akan menceritakan mengenai bagaimana perjalanan yang kami tempuh menuju Lampung. Lalu bagian mana yang akan saya ceritakan? Untuk mengetahuinya, saya harap anda semua bisa menikmati cerita perjalanan yang saya sajikan di bawah ini.

Tepat hari Selasa tanggal 4 Juli 2023 sekitar pukul sebelas-an, kami sampai di Desa Marga Batin, Lampung Timur. Perjalanan memakan waktu yang cukup lama, karena kami memutuskan untuk bermalam di Linggau terlebih dahulu. Singkat cerita, kunjungan ke rumah sanak saudara tersebut hanya dilakukan satu hari. Hal ini dikarenakan jumlah cuti yang dimiliki oleh kakak saat itu sangat terbatas.

Keesokannya, tanggal 5 Juli 2023 setelah sarapan pagi bersama, kami sekeluarga memutuskan untuk memulai perjalanan kembali menuju Padang. Suasana haru menyelimuti kami semua. Terdapat sebuah perasaan yang biasa hadir ketika kita akan mengalami fase terberat, yaitu perpisahan.

"Tinggalah untuk beberapa hari lagi." ujar seorang bapak, yang saya sebut dengan sebutan Pak Lik. Kami hanya bisa menyayangkan dan berdo'a semoga kami diberikan kesempatan untuk berkunjung kembali. Setelah adegan yang cukup mengharukan tersebut, kami sekeluarga pamit dan memulai perjalanan melewati jalan yang sama seperti saat kemarin kami menuju desa ini. Keadaan desa yang masih asri dengan pemandangan hamparan sawah dan sejumlah perkebunan, seperti kebun karet, sawit, dan lainnya.

Masih dalam perjalanan pulang, kami memutuskan untuk menuju Palembang melewati jalan tol. Kami masuk dari pintu tol Bakauheni menuju Palembang dengan total tarif kisaran 300 ribuan. Setelah menempuh sekitar 240 KM dengan waktu kurang lebih 4 jam, kami sampai di Kota Palembang.

Inilah yang menjadi topik dari tulisan saya kali ini. Sedikit pengantar, saat perjalanan pergi pun kami juga melewati Palembang, tetapi tidak sempat untuk mampir kemana-mana karena keterbatasan waktu yang dimiliki. Saya pribadi berkeinginan dari rumah untuk bisa mengunjungi ikon dari masing-masing daerah yang nantinya akan saya lewati. Seperti halnya yang kita ketahui bahwa Palembang memiliki salah satu ikon ternama, yaitu Jembatan Ampera. Saya sangat ingin untuk mengunjungi jembatan tersebut, karena ingin merasakan langsung bagaimana euphoria saat melewatinya.

Jembatan Ampera, yang telah menjadi lambang kota, terletak di tengah-tengah Kota Palembang. Menghubungkan daerah Seberang Ulu dan seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Saya pernah membaca bahwa Jembatan Ampera dibangun pada tahun 1962 dengan biaya pembangunan yang diambil dari perampasan perang Jepang.

Nama Ampera merupakan singkatan dari "Amanat Penderitaan Rakyat". Awalnya, jembatan ini sempat diberi nama Jembatan Soekarno, sebagai bentuk penghormatan kepada jasa Soekarno pada saat itu. Namun, presiden Soekarno kurang berkenan karena tidak ingin menimbulkan tendensi individu tertentu. Dari hasil bacaan saya, struktur bangunan jembatan Ampera dijelaskan sebagai berikut: 1). Jembatan Ampera dibangun dengan panjang 1,117 meter dan lebar 22 meter 2). Tinggi jembatan Ampera adalah 11,5 di atas permukaan air, sedangkan tinggi menara mencapai 63 m dari tanah. 3). Antar menara memiliki jarak sekitar 75 meter dan berat jembatan berkisar 944 ton.

Yang menarik perhatian saya sedari jauh, yaitu dua menara yang terpisah satu sama lain. Katanya daerah yang berada diantara dua menara ini pada awalnya dirancang agar bagian tengah jembatan bisa diangkat sehingga kapal-kapal besar bisa melintas sungai musi tanpa tersangkut badan jembatan. Hal ini adalah salah satu keunikan Jembatan Ampera yang mungkin kini sudah jarang diketahui. Sayangnya aktivitas turun naik bagian tengah jembatan Ampera ini hanya berlangsung selama kurang lebih 5 tahun.

Kami sekeluarga sampai di jembatan ini sekitar pukul 11.47 WIB. Saya cukup excited bisa mengunjungi salah satu ikon Kota Palembang tersebut. Saya ingat bahwa saya mengagumi Jembatan Ampera sejak 2016 silam. Ketika terjadi peristiwa gerhana matahari total, yang disaksikan bersama-sama di jembatan tersebut. Waktu itu saya hanya bisa memandangi jembatan dan suasana gerhana matahari melalui foto dan video yang beredar. Akhirnya saya bisa mengunjunginya secara langsung. Walaupun hanya sekedar lewat, tetapi dapat mengunjungi salah satu ikon Kota Palembang merupakan kesempatan yang berharga bagi saya.

"Sayang sekali, kalau datang waktu malam hari lebih cantik nampaknya." Ujar salah satu Pak Lik di Lampung, ketika kami bercerita mengenai perjalanan pulang via telepon. Memang benar di siang hari tampaknya biasa saja. Ditambah lagi kami tidak bisa menyempatkan untuk berhenti dan berfoto disana. Tetapi menurut saya, perasaan hati tidak bisa berbohong. Saya cukup terpukau melihat dua buah menara yang saya lewati di jembatan tersebut. Jika diberikan kesempatan lagi, saya akan datang kembali dan melihat juga merasakan bagaimana penampakan serta suasana Jembatan Ampera pada malam hari. Tak lupa untuk berfoto di ikon tersebut pastinya.

Cerita di Palembang tidak hanya seputar Jembatan Ampera. Sampai di Palembang pada waktu siang hari, kami sekeluarga tidak lupa mampir untuk menikmati salah satu makanan khas Palembang yang banyak diminati. Apalagi kalau bukan Pempek khas Palembang. Pempek (atau disebut juga empek-empek) merupakan hidangan bercita rasa ikan yang disajikan dengan kuah berwarna hitam khas Palembang bernama cuko. Makanan yang sudah ada sejak zaman kerajaan ini memiliki beberapa variasi, seperti pempek kapal selam, lenjer, lenggang, dan lain sebagainya.

Kami berkunjung di sebuah restoran pempek yang cukup terkenal di Palembang, yaitu Pempek Candy yang berjarak sekitar 3,9 KM dari Jembatan Ampera. Ketika saya searching ternyata Pempek Candy merupakan salah satu usaha pempek legendaris Palembang yang produknya sering dijadikan buah tangan bagi wisatawan yang berkunjung. Memang benaryang dikatakan orang bahwa jika ingin mendapatkan rasa dan kualitas terbaik, langsung dari aslinya. Menurut saya, rasa pempek yang dimakan langsung di daerah asalnya benar-benar berbeda. Mungkin suasana juga mempengaruhi pemikiran tersebut. Meskipun di setiap gerainya juga memiliki cita rasa berbeda. Namun dapat memakan pempek langsung di Palembang, saya jadi berpikir bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan pempek disini. Karena yang asli, Palembang punya.

Selesai memanjakan perut dengan mencicipi makanan khas Palembang, saya dan keluarga kembali melanjutkan perjalanan pulang. Meski singkat dan terkesan buru-buru, tetapi ini merupakan salah satu pengalaman pertama dan berharga bagi saya yang notaben jarang bisa mengunjungi daerah luar. Saya harap bisa mendapatkan kesempatan berharga lainnya, tidak hanya menelusuri ikon-ikon di Palembang. Tetapi juga ikon-ikon dari daerah lain di Indonesia, bahkan mungkin dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun