Setelah azan subuh berkumandang tepat di hari Sabtu, 22 Februari 1997 telah lahir bayi perempuan setelah kurang lebih lima jam menunggu persalinan, bayi itu bernama Nabila. Ya, itulah aku. Terlahir dari rahim seorang ibu dengan penuh perjuangan yang membesarkan dan menyekolahkan anaknya.
"Kelak kamu akan menjadi orang yang sukses, tidak buta huruf seperti ibumu," ucapnya.
Semasa dulu, orang tua tidak di perbolehkan sekolah terutama ibu. Ibu hanya di ajarkan oleh kakek dan nenek bagaimana mencari uang agar tetap berpenghasilan. Untung saja, secara sembunyi-sembunyi ibu belajar mengaji dengan paman. Untuk mendoakan nenek dan kakek yang telah mendahului menghadap sang ilahi.
Sewaktu kecil aku sudah menyukai matematika. Soal jenis apapun dikerjakan terlebih dengan kesempatan untuk membantu teman untuk menyelesaikan tugas yang belum dikerjakan udah pasti perut kenyang. Ibu memang tidak pernah menuntut aku untuk menjadi nomor satu di kelas. Berbeda dengan ayah, yang memintaku untuk menjadi peringkat satu di kelas.
Memang, kerja keras tentu akan membuahkan hasil yang maksimal. Aku pun tak menyangka jika mendapat peringkat 1 di kelas berturut-turut. Semata-mata ini adalah doa ibu yang selalu di panjatkan untukku.
Alih-alih demikian, ibu tak lepas membiarkanku untuk tidak belajar. Justru ibu memiliki jadwal tersendiri dalam mendidik putri-putrinya. Kala itu aku masih duduk di bangku SD (Sekolah Dasar) kelas 2. Kegiatanku memang padat, pagi sekolah siang pun madrasah setelah itu TPQ . Pulang ke rumah makan lalu belajar sampe jam 8. Setelah itu tidur. Tanpa sadar, ibu mengajarkanku tentang kedisiplinan.Â
Beranjak SMP sekolahku sedikit jauh lantaran ibu menginginkan agar anak bungsunya ini bisa sekolah di tempat yang bergengsi seperti halnya yang di alami kakak. Begitu antusias saat pengumuman penerimaan di sekolah itu. Terlebih saat aku di terima.Â
"Besok ibu belikan sepatu dan perlengkapan sekolah,ya!" sahut ibu.
Ibu begitu senang mendengar kabar baik ini, karena ada beberapa teman yang tidak di terima di sekolah tersebut.Â
Pagi harinya menjelang kegiatan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) dengan senyum yang terpancar dari bibirnya, ibu meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan dan menyetrika seragam sekolah menggunakan setrika jaman dulu dengan arang yang di bakar. Keringatnya yang mengucur tak menghentikannya untuk tetap menyetrika.
Tahun telah berganti. Menginjak masa putih abu-abu ibu memberiku kebebasan sekaligus memberikanku pembelajaran untuk menjadi pribadi yang mandiri yakni merawat dan merapihkan barang pribadi.Â
Di masa ini pula aku pernah pulang dalam keadaan menangis. Saat itu angkot yang biasa menjemput tidak datang, dengan mengenakan seragam batik aku berjalan menunggu ojek. Tak ada satu pun yang lewat karena pada saat itu baru beberapa orang yang memiliki kendaraan roda dua. Dengan berat aku putuskan untuk pulang ke rumah bertemu ibu.
"Kenapa pulang?"
"Tidak ada angkot," jawabku sambil bermain tepak pensil.
"Ayo berangkat, dengan pak Toni," ujar ibu menyuruh orang yang saat itu sedang bekerja di rumah.
Hatiku gemetar dengan beberapa pikiran. "Apakah aku masih di perbolehkan masuk?" kala itu pukul 08:00.
Pak Toni menurunkanku di depan gerbang, ku lihati para siswa yang datang terlambat di kumpulkan dalam satu barisan
"Hai!" tunjuk salah satu guru yang mengarah ke hadapanku.
"Siapa itu, pulang!"
Hatiku gemetar. Aku tau jika aku salah, datang terlambat ke sekolah. Tapi aku sampai ke sekolah sekarang pun dengan susah payah.
"Pergi! Pergi! Barisan ini juga akan saya pulangkan!"Â
Aku masih terdiam berdiri di tempat. Suara itu semakin mendekat, mendekat dan amat dekat. "Pulang!"Â
Aku pulang dengan deraian air mata, karena niatku di sana adalah sekolah dan belajar. Kala itu ada ulangam matematila yang amat di sayangkan jika dilewatkan.
Sesampainya di rumah ibu menguatkanku. Sementara diri ini yang masih tidak terima atas perlakuan yang baru saja terjadi terus saja menyalahkan.Â
Usiaku beranjak dewasa. Memilih perguruan tinggi memang menjadi pilihan. Namun, aku putuskan untuk mengikuti keinginan ibu, karena bagiku "Ridho Allah ada pada ridho kedua orang tua, terutama ibu,"
Ketika semua orang berkata "Tidak Mungkin" atas talenta yang dimiliki dan keadaan aku percayakan kepada ibu, karena Bersamamu aku mampu. Jangan lupa, jika Allah maha kaya dan maha segalanya. Jangan lupa pula jika Alllah berkata "Kun Fayakun" sudah pasti tidak ada yang tidak mungkin bagiNya untuk mengabulkan permintaan dari para makhlukNya. Bersamamu aku mampu, karenanya jangan putuskan doa terbaik untukku. Putri bungsumu, ibu.
Bagiku, ibu sekolah pertamaku dimana aku mengenal sekaligus belajar arti kedisiplinan dalam urusan waktu, kesabaran dalam menghadapi segala macam ujian, ketulusan, kegigihan dalam segala usaha serta kerendahan dalam berucap namun besar dalam bertindak.
Indramayu, 24 November 2020
Nabila Shobawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H