Bagaimana pendapatmu tentang anak bungsu?Â
Kebanyakan orang menganggap anak bungsu sangat erat dengan kemanjaan, Â namun berbeda dengan saya. Â Saya terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Sebagai anak bungsu bagi saya tidak mungkin untuk berleha-leha bermain HP sepanjang hari, Â tidur siang juga jalan-jalan seperti teman-teman yang seusia saya. Â
Saat ini usia saya menginjak 21 tahun selisih dua tahun dengan kaka saya. Saya yang memutuskan untuk bekerja sebagai buruh pabrik di salah satu pabrik tekstil yang ada di daerah Jakarta. Â Kaka saya yang sangat dimanja oleh ibu menjadikan dia cukup untuk berdiam diri tanpa mencari kerja. Â Sementara saya banting tulang sebagai tulang punggung keluarga setelah keluarga kami mengalami broken home.Â
Siapa sangka dampak dari broken home itu tidak ada. Â Bagi saya, Â dampak dari broken home sangatlah nyata. Â Apalagi saya menggantikan peran ayah yang tak lagi memberikan nafkah kepada kami.
Pulang kerja hari ini cukup melelahkan. Saya lihat dalam tas ternyata hanya sisa uang 5.000 hanya cukup untuk ongkos pulang, Â sementara perut dari siang tak henti-hentinya berbunyi. Sesampainya di rumah ibu juga kaka sudah terlelap tidur. Â Saya mendekati dapur dan melihat makanan yang ada di meja makan.Â
"Alhamdulillah, " masih ada gorengan tahu satu cukup untuk mengganjal perut.Â
Pagi harinya, Â saat saya sedang mengikat tali sepatu seperti biasa ibu menyediakan nasi goreng dengan tambahan bawang goreng dan juga garam. Â
"Ainun berangkat dulu ya, Â bu. Â Assalamualaikum, "
"Hati-hati di jalan, Ainun, waalaikumsalam "
Bagi saya ibu adalah segalanya. Â Meskipun saya harus banting tulang bekerja sepanjang hari namun saya rela untuk membahagiakannya.Â
Pekerjaan hari ini cukup banyak. Hingga seluruh karyawan di minta lembur oleh atasan. Saat para rekan kerja berbondong-bondong ke kantin, Â saya hanya berdiam diri di samping kantin memegang botol minum. Â Karena uang saya hanya cukup untuk ongkos pulang dan juga berngkat. Sesekali rekan yang tau dengan kondisi keuangan saya memberikan saya makanan sebagai pengganjal perut di waktu siang. Â
Sesampainya di rumah saya melihat ibu yang masih terbangun meminta saya untuk menyiramkan air ke halaman akibat kotoran ayam yang menempel lantai.Â
"Jika besok saja, Â bagaimana bu."
"Kamu ini kalo di suruh pasti bantah, "
"Dari dulu ngga ada nurutnya, dasar tak berguna" Sambung ibu.Â
Saya berusah menenangkan diri. Namun tetap saja saya langsung menuju kamar mandi dan menangis di sana. Â
Semua unek-unek ibu keluar dari mulai mencuci priring hingga berbenah rumah. "Sudah besar masih saya merepotkan, " ujar ibu.Â
Mungkin apa yang saya katakan juga lakukan di mata ibu selalu salah. Â Dengan mengatakan "Coba ka Irma untuk membersihkan kotoran ayam bu," karena saat itu posisi saya sangatlah lelah.Â
Apapaun yang dikatakan oleh ibu tak ada niatan bagi saya untuk mendoakan hal yang tidak baik. Karena bagaimanapun "surga ada di bawah telapak kaki ibu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H