Bahasa dapat dideskripsikan sebagai salah satu elemen krusial dalam aktivitas berkomunikasi. Hal ini disebabkan karena setiap manusia yang melakukan aktivitas komunikasi selalu memerlukan suatu bahasa sebagai media penyampai pesan. Jika tidak terdapat suatu bahasa, maka proses komunikasi tersebut tidak dapat berjalan dengan optimal karena pihak komunikator dan komunikan tidak mampu menyampaikan dan menerima pesan dengan baik.Â
Merujuk pada gagasan Keraf yang dikutip oleh Smarapradipha (2005:1), bahasa dideskripsikan sebagai suatu alat komunikasi yang tercipta akibat adanya proses produksi simbol bunyi yang dilakukan oleh manusia melalui alat ucapnya. Selain itu, Keraf juga mendeskripsikan bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang mengaplikasikan simbol-simbol bunyi yang memiliki sifat arbitrer.Â
Sifat arbitrer atau manasuka tersebut menyebabkan makna suatu bahasa bergantung pada konvensi atau kesepakatan yang diyakini oleh masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.Â
Di sisi lain, merujuk pada gagasan Wibowo (2001:3), bahasa dideskripsikan sebagai suatu sistem bunyi yang mengandung makna serta memiliki artikulasi dengan sifat arbitrer dan konvensional yang disepakati untuk diaplikasikan sebagai alat komunikasi untuk menciptakan suatu perasaan dan pikiran.
      Di Indonesia, salah satu bahasa yang banyak digunakan tentu bahasa Indonesia karena bahasa ini adalah bahasa nasional Indonesia. Namun, eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tersebut sejak lama mengalami gempuran ancaman dari bahasa lain, baik bahasa daerah maupun asing.Â
Hal ini merupakan fenomena yang bisa dipahami karena masyarakat Indonesia terdiri atas beragam suku dan budaya kedaerahan, sehingga mereka memiliki pola komunikasi yang cenderung menggunakan bahasa daerah masing-masing. Dari sisi lain, masuknya pengaruh budaya asing juga turut serta memengaruhi eksistensi bahasa Indonesia.Â
Sebut saja pengaruh Korean Pop atau yang lebih dikenal dengan K-pop yang menyebarkan demam berbahasa Korea di kalangan generasi masa kini, terutama remaja dari kalangan generasi Z. Belum lagi pengaruh dari budaya Barat yang menyebarkan demam berbahasa Inggris.
      Jika kita membuka media sosial, seperti Twitter, Instagram, hingga Tiktok, kita dapat dengan mudah menemukan beragam penggunaan bahasa asing maupun bahasa gaul atau bahkan bahasa alay, seperti "bleh knalan g?" dan lain sebagainya.
 Selain itu, banyak pengguna media sosial yang cenderung menggunakan bahasa campur-campur atau penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur aduk dengan bahasa lain dalam satu waktu, seperti "aku literally bener-bener lagi suntuk banget dan butuh healing nih".Â
Alih-alih menggunakan bahasa Indonesia yang benar, seperti "aku sungguh-sungguh sedang suntuk dan butuh penyegaran pikiran nih", banyak pengguna media sosial justru lebih menyukai penggunaan bahasa campur-campur tersebut karena dinilai tampak lebih keren dan kekinian.Â