Mohon tunggu...
Nabila PH
Nabila PH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menyuarakan opini

Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patriarki dan Monetisasi Agama dalam Mentoring Poligami

14 Desember 2021   19:01 Diperbarui: 14 Desember 2021   19:19 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurutnya, “Ngapain izin? Emang istri saya kepala dinas?”

Pengakuannya kembali menuai kritikan, bagaimana bisa sosok Hafidin menjadi seorang mentor yang mengklaim dirinya sukses berpoligami? Ia bahkan tak meminta izin istri sahnya untuk dimadu. Di Indonesia, dalam UU Perkawinan Pasal 5 ayat (1), pengadilan memberikan izin bagi seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu dengan beberapa syarat, pada ayat (1a) dijelaskan bahwa, “adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri”. Meskipun menurut agama pernikahan Hafidin bisa dinilai sah, tetapi tidakan tersebut termasuk dalam diskriminasi gender.

Ketika tim Narasi bertanya alasan mengapa istrinya mau dimadu, mayoritas dari mereka memberikan jawaban yang sama yaitu dijodohkan. Keempat istrinya seolah menerima doktrin dari keluarga terdekat untuk menerima pinangan Hafidin. Miris mengetahui fakta jika mereka menikah dan dimadu bukan karena kemauan sendiri.

“Dijodohkan oleh kakak ipar dengan beliau. Saat itu saya kaget karena beliau kan sudah punya istri. Sempat nolak juga karena kan sudah punya istri. Kenapa gitu?” jelas istri kedua Hafidin.

Jawaban dari istri Hafidin memproyeksikan adanya stereotype bahwa wanita harus selau patuh dan lemah atas dirinya, padahal wanita juga memiliki hak untuk menolak. Al-Ghazali dalam bukunya Nahwu al-Tafsir al-Maudu’I li Suwari Al-Quran, beliau membahas isu poligami dengan terperinci. Al-Ghazali melihat dalam pernikahan tidak boleh ada paksaan, wanita bebas untuk menerima ataupun menolak untuk dimadu. Pada kasus Hafidin membuktikan adanya bias gender yang masih mendarah daging serta minimnya pengetahuan mengenai konsensual atau persetujuan dalam pernikahan.

Salah satu istri termudanya yang berumur sembilan belas tahun bahkan harus merelakan mimpinya untuk berkuliah, nasibnya bergantung pada pendapatan Hafidin dari acara mentoring yang diadakan. Secara terang-terangan, Hafidin memaparkan pemasukan yang didapat dari mentoring poligami selama ini.

“Adalah, kalau sepuluh kali satu bulan. Kalau sepuluh juta kali sepuluh bulan, berarti seratus juta.”

Ia pun membeberkan alasan laki-laki di luar sana mempertimbangkan pilihan untuk berpoligami, “Libido mereka kuat naik, sementara mau berzinah takut.”

Rasanya sangat menyayat hati mendengar jawaban Hafidin, wanita dianggap seperti objek seksual yang bertanggung jawab kepada birahi mereka. Para oknum penggiat poligami secara tak langsung mendeklarasikan tujuan berpoligai atas dasar nafsu belaka. Sebuah hadist Riwayat Tirmidzi pernah menjelaskan secara gamblang,

"Jika engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu. Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal seperti yang dimiliki oleh wanita itu."

Poligami bukanlah suatu hal yang perlu untuk dibesar-besarkan, tak perlu dikampanyekan atau diromantisasi. Doktrin yang ditekankan oleh Hafidin tak lain dan tak bukan merupakan imajinasi bahwa poligami adalah perkawinan yang bisa memberi banyak keuntungan bagi laki-laki. Bisa dikatakan, mentoring yang Hafidin lakukan hanya sebuah bentuk glorifikasi dari praktik patriarki dan kekerasan berbasis gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun