Mohon tunggu...
Nabila NurInsani
Nabila NurInsani Mohon Tunggu... -

a girl with a big dream

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Pelajar dan Jalur Non-Subsidi

14 Januari 2011   09:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit sharing aja. Yang ingin saya sharing kali ini mengenai JNS (Jalur Non Subsidi). Kita semua sudah tidak asing lagi dengan istilah ini, khususnya mahasiswa negeri yang masuk melalui jalur ini. Jujur saja, saya menuliskan tulisan ini hanya berdasar fakta yang telah saya lihat. Bukannya sirik sama mahasiswa universitas negeri yang masuk lewat jalur ini, tapi saya merasa ada suat u ketidakadilan saja yang terjadi akibat jalur ini.

Belakangan ini, JNS sedang menjadi tren sendiri di kalangan pelajar yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Menurut penglihatan dan penelitian saya sendiri ke teman-teman saya yang masuk lewat jalur ini, JNS merupakan jalur masuk di mana calon mahasiswa harus tetap mengkuti tes yang diberikan oleh perguruan tinggi negeri yang menjadi pilihannya, dengan syarat, jika mereka lulus tes yang diberikan, mereka harus membayar lebih dari harga normal yang ditetapkan, berpuluh-puluh juta, bahkan ada yang mencapai ratusan juta. Harga yang cukup gila menurut saya. Yaaah, walau pun saya juga sadar kalau pendidikan itu memang mahal. Tes JNS, jauh lebih mudah daripada soal pada tes seleksi nasional.

Menurut kabar yang saya dengar sendiri dari mahasiswa yang masuk melalui JNS, kuota mahasiswa yang diterima melalui jalur ini lebih banyak dibanding kuota seleksi nasional perguruan tinggi negeri. Bahkan, pelajar-pelajar yang berakal tinggi ini mengatakan: "kalau nggak lulus SNPMTN, kan masih ada JNS. Tenang aja, yang penting masuk universitas,kalau pakai JNS pasti keterima kok." Yang mereka maksud perguruan tinggi ternama pastinya. Mereka berkata dengan sangat amat enteng dan mudahnya. Padahal mereka tahu sendiri bahwa biaya yang akan mereka keluarkan melalui JNS tidak sedikit. Bahkan, kabar dari mahasiswa sebuah PTN mengatakan bahwa ada pelelanngan kursi bagi yang ingin duduk di PTN tersebut. Yang menawar dengan harga paling tinggi dan punya koneksi orang dalam PTN itu, pasti lulus.

Miris sekali menurut saya. Pendidikan kita bisa dibeli dengan uang, tidak mempertimbangkan kemampuan dasar yang dimiliki pelajar tersebut. Padahal kita tahu, untuk dapat masuk ke suatu PTN ternama, kita memerlukan kemampuan akademik yang memadai. Menurut saya, kalau memang tidak mampu untuk duduk di sebuah PTN ternama, yah nggak usah dipaksain. Masih banyak kok perguruan tinggi lain yang sesuai dengan kemampuan otak kita. Saya hanya merasa kasihan saja dengan anak-anak kurang mampu yang sebenarnya punya kemampuan lebih untuk bisa duduk di PTN ternama. Karena kuota SNMPTN sedikit, banyak dari mereka yang tidak lulus, padahal kemampuan akademik mereka di atas rata-rata. Sementara, anak-anak yang bergelimang harta, yang kemampuan akademiknya belum tentu mampu untuk menduduki PTN ternama, malah bisa lolos dengan gampangnya, tinggal pilih mau jurusan yang mana, toh mereka punya duit.

JNS ini menimbulkan suatu ketidakadilan menurut saya. Hanya karena masalah materi yang berlimpah setiap anak sudah bisa memilih PTN dengan jurusan yang mereka inginkan. Sementara, anak-anak yang kurang mampu, yang mengikuti seleksi biasa, harus pontang panting belajar keras agar lulus seleksi nasional PTN. Anak-anak yang pontang panting belajar inilah yang menurut saya layak masuk PTN ternama dengan jurusan yang mereka inginkan, bukan anak-anak yang minat belajarnya kurang, kemampuan akademiknya pas-pasan, dan pastinya anak orang kaya yang pantas menduduki PTN ternama. Bangsa Indonesia membutuhkan generasi yang jujur, murni memiliki kemampuan sendiri di bidangnya masing, bukan kemampuan pas-pasan yang disokong banyak oleh kemampuan materi, yang pastinya juga bukan milik mereka sendiri, tapi milik orang tua mereka.

Yah, maaf kalau tulisan saya agak sedikit menyinggung. Tapi, saya hanya sekedar mengemukakan pendapat saya, tidak berniat untuk menyalahkan suatu pihak. Saya berharap, semoga generasi bangsa ini menjadi lebih baik, generasi pekerja keras, generasi yang jujur, dan generasi yang bisa memajukan bangsa Indonesia di mata dunia nantinya. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun