Mohon tunggu...
Nabila Nur Inayyah
Nabila Nur Inayyah Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Islam "45" Bekasi

Seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan semester 7 yang tertarik pada dunia media dan komunikasi. Berusaha menyalurkan minatnya melalui tulisan singkat, dengan harapan dapat memberi kontribusi dalam dunia informasi dan opini. Senang mengeksplorasi topik-topik terkait pemerintahan, kebijakan publik, dan dinamika sosial.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Evaluasi Sistem Kepartaian Indonesia Pasca Pemilu 2024: Apakah Partai Politik Mampu Merepresentasikan Rakyat?

16 November 2024   08:02 Diperbarui: 16 November 2024   08:04 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pemilu 2024 menjadi titik balik penting bagi sistem kepartaian di Indonesia. Setelah lebih dari dua dekade pasca reformasi, sistem politik Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar dalam menciptakan representasi yang efektif dan sesuai dengan kehendak rakyat. Banyak yang berpendapat bahwa meskipun partai politik di Indonesia sangat banyak, representasi yang sejati terhadap kepentingan masyarakat sering kali terdistorsi oleh pragmatisme politik, koalisi yang tidak jelas, dan kepentingan pribadi elit partai. Pemilu 2024 pun diprediksi akan menunjukkan apakah partai politik Indonesia telah siap untuk benar-benar mencerminkan suara rakyat atau malah semakin jauh dari kebutuhan publik (Hamidi et al., 2024).

  • Fragmentasi Partai Politik: Realitas atau Ilusi Demokrasi?

Salah satu isu yang paling mencolok dalam sistem kepartaian Indonesia adalah fragmentasi yang terjadi pasca Reformasi 1998. Sistem multipartai, yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat, kini justru menciptakan banyak partai dengan ideologi yang serupa dan tidak jelas. Jumlah partai yang terlalu banyak, lebih dari 15 partai besar yang ikut dalam pemilu, menciptakan kompetisi yang seringkali tidak berdasarkan ideologi atau visi jangka panjang, melainkan pada pertimbangan pragmatis untuk meraih kekuasaan.

Ambil contoh dalam Pemilu 2019, partai-partai yang tadinya mengusung narasi ideologis tertentu, seperti PDIP yang mengklaim sebagai partai nasionalis, atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengusung narasi Islam, sering kali membentuk koalisi yang tidak mencerminkan visi tersebut. Misalnya, meski PDIP dan PKS memiliki perbedaan ideologi yang mendalam, mereka dapat berkoalisi demi mencapai kursi kekuasaan yang lebih besar. Fenomena ini menyulitkan rakyat untuk memilih partai yang benar-benar merepresentasikan nilai-nilai yang mereka yakini, karena batas ideologi antar partai semakin kabur.

Tantangan ini diperburuk oleh banyaknya partai politik yang baru berdiri tanpa memiliki basis ideologi yang jelas. Misalnya, partai-partai yang muncul dengan nama-nama baru atau yang berfokus pada kandidat tertentu sering kali bergantung pada figur individual yang memiliki popularitas, alih-alih menawarkan program yang substansial untuk kesejahteraan masyarakat (Nurjaman, 2018).

  • Koalisi dan Kepentingan Politik: Partai atau Kepentingan Elit?

Fenomena koalisi yang sering berubah-ubah menjelang Pemilu 2024 menggambarkan bagaimana sistem kepartaian Indonesia lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan dibandingkan dengan representasi politik yang jelas. Pada pemilu sebelumnya, terlihat jelas bahwa partai politik lebih banyak berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan visi atau misi politik, tetapi demi kepentingan untuk berbagi kekuasaan. Koalisi ini sering kali melibatkan tawar-menawar kursi kekuasaan, bukan ideologi atau kebijakan nyata yang dibutuhkan rakyat.

Misalnya, dalam Pemilu 2019, koalisi besar yang mengusung pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dapat terwujud karena adanya pertemuan kepentingan antar partai besar, meski di dalamnya terdapat perbedaan ideologi yang signifikan. Sebaliknya, koalisi oposisi yang terdiri dari Partai Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat meskipun berbeda ideologi dan platform politik, juga bersatu karena kesamaan keinginan untuk mengalahkan kekuatan incumbent. Dalam banyak hal, rakyat cenderung merasa kebingungan dengan pilihan yang ada, karena mereka sulit menemukan perbedaan nyata antar partai yang ada.

Fenomena ini menjadi lebih jelas ketika melihat bagaimana partai-partai tertentu akan terus berubah arah koalisinya untuk meraih kekuasaan, alih-alih fokus pada program yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Pemilu 2024 tampaknya akan kembali menampilkan pola yang sama, dengan koalisi-koalisi yang didasarkan lebih pada kepentingan politik sesaat ketimbang upaya mendorong kebijakan yang pro rakyat (Asep et al., 2024).

  • Kasus Studi: Pemilu 2019 dan Relevansi Representasi Partai terhadap Rakyat

Untuk mengevaluasi sistem kepartaian Indonesia, mari kita lihat kembali hasil Pemilu 2019 sebagai studi kasus. Salah satu hal yang paling mencolok adalah tingginya angka golput (tidak menggunakan hak pilih) yang mencapai 17,5% atau sekitar 30 juta pemilih. Golput ini menjadi indikator penting dari ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik yang ada. Banyak yang merasa bahwa partai-partai yang ada tidak benar-benar mewakili aspirasi mereka atau tidak berbeda jauh dalam menawarkan solusi terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

Salah satu isu yang mencuat dalam Pemilu 2019 adalah kurangnya perhatian terhadap isu-isu krusial seperti ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan kualitas pendidikan. Partai-partai besar lebih banyak fokus pada masalah kekuasaan dan elektabilitas daripada substansi kebijakan yang akan membawa perubahan nyata bagi rakyat. Hal ini tercermin dalam kurangnya debat publik yang berbobot mengenai masalah-masalah struktural yang sedang dihadapi Indonesia. Pada akhirnya, meskipun Indonesia memiliki banyak partai politik, tidak semua dari mereka mampu memperjuangkan kepentingan rakyat dengan cara yang signifikan (Dinda Nabila, 2022).

  • Solusi dan Prospek Sistem Kepartaian Indonesia Pasca Pemilu 2024

Salah satu solusi untuk memperbaiki sistem kepartaian Indonesia adalah dengan memperkenalkan mekanisme yang dapat memaksa partai untuk lebih mendekati realitas sosial yang dihadapi rakyat. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem proporsional terbuka yang lebih mendorong keterwakilan suara rakyat dalam struktur kepemimpinan partai, serta mengurangi dominasi elit politik yang seringkali tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Selain itu, partai politik harus lebih berfokus pada program-program yang konkret dan berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, bukan sekadar janji-janji populis. Pemilu 2024 dapat menjadi momentum bagi partai-partai untuk lebih mendengarkan aspirasi rakyat dan berkomitmen untuk mewujudkan program-program yang dapat mengatasi masalah-masalah fundamental bangsa, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial (Subekti, 2015).

  • Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun