Situasi kemanusiaan di Myanmar menimbulkan kekhawatiran terhadap proses demokrasi yang diperjuangkan oleh ASEAN dan Indonesia. Lebih lanjut, dilema ketidakstabilan politik Myanmar berpotensi menarik intervensi internasional melalui berbagai tekanan ekonomi dan politik yang dapat membahayakan stabilitas ASEAN.
Aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain seringkali menemui kesulitan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Indonesia menghadapi dilema ini saat melaksanakan rencana aksi kemanusiaan untuk etika Rohingya dalam menanggapi situasi kemanusiaan di Rakhine, Myanmar.
Indonesia adalah negara yang dapat melibatkan pemerintah Myanmar dalam perbincangan dan diplomasi kemanusiaan terkait topik krisis kemanusiaan yang menimpa etnis minoritas Rohingya di Myanmar. Hal ini ditunjukkan dengan pengakuan Indonesia sebagai mitra dialog dalam perbincangan terkait diplomasi kemanusiaan, yang berupaya membebaskan ruang gerak kemanusiaan agar bantuan kemanusiaan dapat diberikan kepada korban krisis kemanusiaan ini.
Aksi kemanusiaan yang dilakukan Indonesia didasarkan pada tuntutan mayoritas umat Islam Indonesia untuk melakukan aksi kemanusiaan berdasarkan kesamaan identitas antara Muslim Indonesia dan Rohingya. Selanjutnya, nilai-nilai kemanusiaan menjadi landasan bagi operasi kemanusiaan Indonesia. Identitas kuat Indonesia sebagai negara demokrasi, khususnya di kawasan Asia Tenggara, juga menjadi salah satu faktor pendorong pemerintah Indonesia bertindak agresif dalam kasus kudeta Myanmar.
Tindakan responsif Indonesia dalam mengembangkan kebijakan bantuan kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dari persoalan yang dihadapi Indonesia di balik layar. Berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia bersumber dari internal Indonesia dan kesepakatan internasional yang dicapai Indonesia, yang salah satunya adalah prinsip non-ASEAN intervention.
Indikasi ketiga dari isi pasal dua Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yaitu "non-interference in one another's internal affairs", melahirkan standar bersama di dalam tubuh ASEAN dimana semua anggota ASEAN sepakat untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri masing-masing negara anggota.
Salah satu faktor keberhasilan dalam mengelola keberlangsungan organisasi regional ini adalah berkembangnya TAC sebagai norma dan regulasi dalam melakukan interaksi dan kontak antar negara anggota. TAC dibuat dan disetujui oleh lima negara pendiri ASEAN: Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. TAC disetujui langsung oleh lima kepala negara asal: Presiden Indonesia dan Filipina, serta Perdana Menteri Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Intervensi dapat didefinisikan sebagai kegiatan oleh negara lain untuk mencampuri urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara. Jika dilihat dari kacamata konsep intervensi, intervensi dari satu negara ke negara lain merupakan pelanggaran terhadap kemerdekaan, kebebasan, dan kedaulatan negara. Hal itu juga melanggar esensi derajat kesetaraan masing-masing negara otonom.
Di ASEAN, prinsip non-intervensi dapat diartikan dalam dua cara. Gagasan ini dianggap menguntungkan karena memungkinkan setiap negara anggota untuk mengontrol administrasi negara mereka sendiri dan menjalankan otoritas penuh tanpa takut intervensi dari negara lain dalam konteks domestik. Prinsip ini juga dinilai lemah dalam menyelesaikan kesulitan negara-negara anggotanya karena ASEAN tidak memiliki otoritas yang signifikan dalam menetapkan metode penyelesaian masalah anggotanya.
Filosofi non-interferensi ASEAN dalam penyelesaian konflik memberikan fokus yang lebih besar pada sarana diplomatik dan kekeluargaan. Seperti yang dikatakan perdana menteri Thailand pada pertemuan ASEAN ke-42 di Thailand, pendekatan lembut (cara ASEAN) lebih berhasil daripada menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar.
Namun, efektivitas prinsip non-intervensi tampaknya dipertanyakan dari waktu ke waktu, karena banyaknya tantangan dan isu baru yang muncul sebagai akibat dari proses globalisasi, serta meningkatnya tuntutan demokratisasi dan meningkatnya perhatian internasional terhadap isu-isu kemanusiaan sebagai lawan dari isu kedaulatan negara.
Prinsip non-intervensi ASEAN telah menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan dengan tingkat stabilitas dan perdamaian yang relatif tinggi. Kehadiran konsep ini, di sisi lain, menjadi hambatan yang signifikan karena dianggap membatasi keterlibatan Indonesia dalam upaya penyelesaian situasi yang sedang berlangsung di Myanmar. Meski terkendala dengan konsep non-intervensi, Indonesia tetap berupaya menekan militer Myanmar melalui pendekatan diplomasi dan fokus dialog.
Dengan adanya kebijakan non-intervensi ini, Indonesia memiliki sedikit alternatif untuk memprioritaskan dan mendorong penyelesaian masalah Myanmar. Di sisi lain, Indonesia sebagai pemimpin ASEAN menegaskan bahwa ASEAN Way dan sentralitas ASEAN harus diprioritaskan, namun di sisi lain, tuntutan komunitas internasional untuk penyelesaian situasi Myanmar semakin meningkat.
Kemudian tidak bisa dipungkiri bahwa negara-negara ASEAN tidak satu suara dalam menyikapi isu krisis politik Myanmar. Dengan demikian, persoalan bagi Indonesia, selain pandangan terhadap Myanmar, adalah mendapatkan suara bulat dari negara-negara anggota ASEAN untuk menemukan jawaban atas tantangan yang mereka hadapi saat ini.
Permasalahan lainnya adalah bahwa Indonesia terkendala dengan eratnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Myanmar. Hubungan bilateral yang erat antara kedua negara dapat dilihat dari dua perspektif: dapat mempermudah Indonesia untuk melobi dan terlibat dalam diplomasi, atau dapat memperburuk hubungan bilateral karena Indonesia terlalu banyak terlibat dengan urusan dalam negeri Myanmar.
Myanmar berperan penting dalam mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka pada tahun 1947. Myanmar membujuk pemerintah India untuk mengadakan Konferensi Urusan Indonesia di New Delhi pada tahun yang sama, dan Myanmar juga mengizinkan pemerintah Indonesia untuk membuka kantor Indonesia di Yangon, ibu kota Myanmar. Dua langkah khusus Myanmar, sebagaimana disebutkan di atas, adalah semacam dukungan untuk mencapai pengakuan internasional atas kemerdekaan Indonesia.
Hubungan bilateral yang solid antara Indonesia dan Myanmar menambah masalah yang dihadapi Indonesia saat memberikan bantuan kemanusiaan. Di satu sisi, Indonesia ditantang dengan kesulitan moral, salah satunya kemanusiaan, dalam membantu etnis minoritas Rohingya di Myanmar selama krisis kemanusiaan mereka. Di sisi lain, intervensi Indonesia dalam urusan dalam negeri di Myanmar dapat merusak hubungan erat yang telah terjalin antara kedua negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H