Perkawinan merupakan Sunnah Rasulullah SAW yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang sama sekali tidak diinginkan oleh syariat.Â
Untuk itu, perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Salah satu syarat tersebut adalah adanya mahar yang merupakan hak istri dan wajib hukumnya. Mahar merupakan tanda kesungguhan laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya, yang dimana mahar tersebut akan menjadi hak milik istri secara penuh.Â
Seseorang bebas dalam menentukan bentuk dan jumlah mahar yang diinginkan karena memang tidak ada batasan dalam syariat islam mengenai mahar, akan tetapi mahar itu disunnahkan yang sesuai dengan kemampuan pihak calon suami. Mahar yang paling baik adalah mahar yang tidak memberatkan, Islam juga menganjurkan agar meringankan mahar.
Berbeda dengan mahar, perkawinan adat Bugis selain mahar yang merupakan salah satu syarat sah, uang panai juga merupakan adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki- laki dalam bentuk uang atau harta. Uang panai adalah uang hantaran yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Mahar dan uang panai memang hampir mirip, yaitu sama-sama merupakan kewajiban.Â
Namun kedua hal ini sebenarnya berbeda. Mahar merupakan kewajiban dalam Islam, sedangkan uang panai merupakan kewajiban dalam tradisi adat masyarakat Bugis. Mahar dan uang panai dalam perkawinan adat suku Bugis di Kabupaten Bone adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Â
Karena dalam praktiknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar daripada jumlah nominal mahar.
Sama halnya dengan uang jujuran, bedanya uang jujuran merupakan tradisi adat banjar. Dalam tradisi adat banjar jujuran adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jujuran dapat berbentuk uang atau benda. Uang atau benda ini digunakan sebagai pembiayaan pesta pernikahan, dari mulai rias pengantin, sewa tempat, dan hal-hal terkait pernikahan lainnya.
Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
Mahar secara etimogi artinya maskawin, secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seseorang istri kepada calon suaminya atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa. Mahar dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian.
Mahar hukumnya wajib bagi seseorang suami untuk kesempurnaan akad nikah, baik disebutkan dalam akad tersebut dengan sejumlah harta tertentu atau tanpa menyebutkan jumlahnya. Bahkan seandainya suami bersepakat untuk tidak memberikannya atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut tidak sah, sebab mahar adalah sebuah keharusan.
- Adapun dasar hukum kewajiban mengenai mahar terdapat pada (QS. An-Nisa [4]: 4). Artinya. "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya".
- Allah SWT berfirman dalam (QS An-Nisa [4]: 20). Artinya. "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?"
- Hadist Nabi SAW bersabda: Artinya: "Dari Amir bin Rabiah: sesungguhnya seorang perempuan dari bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah SAW bertanya kepada perempuan tersebut: Relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan itu menjawab: Ya, akhirnya Rasulullah SAW meluluskannya".
- Sabdanya lagi: Artinya: "Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi".
- UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Dalam Islam, mahar adalah syarat sah pernikahan sesuai hukum agama.
Pengertian dan Dasar Hukum Uang Panai
Uang panai atau biasa disebut dengan uang belanja adalah biaya yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan tersebut. pemberian uang panai merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh laki-laki ketika akan melansungkan perkawinan dimana ditentukan setelah adanya proses lamaran. Uang panai merupakan syarat yang mengikat untuk berlangsung atau tidaknya perkawinan, dimana Uang panaik ini menjadi kewajiban calon mempelai perempuan dan orang tuanya untuk membiayai segala hal-hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan.
Uang panaik tidak diatur secara khusus, hal ini karena uang panai adalah tradisi adat, bukan syarat hukum yang diatur secara nasional. Namun uang panai dapat dikaitkan secara tidak langsung
- Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Jika adat setempat menganggap uang panaik sebagai bagian dari penghormatan atau tradisi dalam pernikahan, hal ini dapat diakomodasi.
- Pasal 6 Ayat 2: "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Tradisi seperti uang panaik tidak boleh memaksakan atau melanggar persetujuan kedua belah pihak.
- Dalam Islam uang panaik tidak memiliki dasar hukum dari Al-Qur`an atau Hadist. Uang Panaik adalah tradisi adat, bukan kewajiban agama.
Pengertian dan Dasar Hukum Uang Jujuran
       Dalam tradisi adat banjar jujuran adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jujuran dapat berbentuk uang atau benda. Uang atau benda ini digunakan sebagai pembiayaan pesta pernikahan, dari mulai rias pengantin, sewa tempat, dan hal-hal terkait pernikahan lainnya. Selain untuk acara pesta pernikahan, uang jujuran sebagian digunakan sebagai bekal kedua mempelai untuk menghadapi kehidupan rumah tangga. Bahkan banyak dari masyarakat yang menggunakan uang jujuran sebagai mahar untuk akad nikah, baik digunakan seluruhnya ataupun sebagian. Sehingga hal ini yang membuat anggapan sebagian masyarakat bahwa jujuran dan mahar adalah hal yang sama. (Akbari, 2018)
Uang jujuran tidak diatur secara khusus, hal ini karena uang jujuran adalah tradisi adat, bukan syarat hukum yang diatur secara nasional. Namun uang jujuran dapat dikaitkan secara tidak langsung
- Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Jika adat setempat menganggap uang panaik sebagai bagian dari penghormatan atau tradisi dalam pernikahan, hal ini dapat diakomodasi.
- Pasal 6 Ayat 2: "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Tradisi seperti uang panaik tidak boleh memaksakan atau melanggar persetujuan kedua belah pihak.
- Dalam Islam uang jujuran  tidak memiliki dasar hukum dari Al-Qur`an atau Hadist. Uang Panaik adalah tradisi adat, bukan kewajiban agama.
Pro dan Kontra Uang Mahar, Uang Panai, dan Uang Jujuran
Pro    Â
- Kewajiban syariat, mahar adalah syarat sah pernikahan dalam Islam (QS. An-Nisa [4]: 4).
- UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Dalam Islam, mahar adalah syarat sah pernikahan sesuai hukum agama.
- Memberikan penghormatan kepada pihak wanita dan keluarga dan jaminan awal kepada mempelai wanita.
- Simbol cinta dan tanggung jawab serta menguatkan niat tulus dalam pernikahan.
- Menjaga tradisi adat dan melestarikan budaya leluhur yang bermakna.
Kontra
- Uang panai dan uang jujuran menjadi ajang pamer kekayaan dan gengsi, karena jumlah besarannya ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti status ekonomi, jenjang pendidikan, dan kondisi fisik mempelai wanita. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan agama Islam karena Islam tidak membeda-bedakan kondisi seseorang.
- MUI Sulawesi Selatan mengeluarkan fatwa bahwa humum uang panai adalah mubah. Mubahadalah sesuatu yang tidak dilarang untuk dikerjakan, namun sebaiknya ditinggalkan.
- Beban finansial, mahar, uang panai, dan uang jujuran yang terlalu tinggi dapat menyulitkan calon mempelai pria. Tidak jarang mempelai pria harus berhutang. Sedangkan, Imam Syafi'i melarangnya. Peraturan Islam itu mudah dan tidak memberatkan. Islam tidak pernah mempersulit aktivitas manusia, salah satunya dalam menjalankan ibadah. Jenis qiyasnya syabah dan nafyul fariq. "Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling mudah urusannya." (H.R. Muslim).
- Pemberian uang panai dan uang jujuran tidak ada di dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
- Potensi materialism, fokus pada nilai mahar, uang panai, dan uang jujuran bisa mengurangi makna spiritual pernikahan.
- Kesalahpahaman budaya, beberapa pihak salah mengartikan mahar sebagai penentu harga diri.
Kesimpulan
Mahar adalah kewajiban yang ditetapkan dalam Islam sebagai syarat sah pernikahan, berfungsi sebagai tanda cinta, tanggung jawab, dan penghormatan kepada mempelai wanita. Dasar hukumnya jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta diakomodasi dalam UU Perkawinan. Sementara itu, uang panai dalam tradisi Bugis dan uang jujuran dalam tradisi Banjar adalah bagian dari adat yang bertujuan memberikan penghormatan kepada keluarga mempelai wanita dan membantu biaya pernikahan. Meski tidak tercantum dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, tradisi ini dapat diterima selama sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Namun, ketiganya juga menghadapi kritik karena potensi memberatkan secara finansial dan memunculkan sifat materialisme. Beban ekonomi yang besar dapat menimbulkan kesulitan bagi calon mempelai pria dan keluarganya, bahkan berpotensi melahirkan kesenjangan sosial. Dalam Islam, pernikahan seharusnya dipermudah, bukan dibebani tuntutan finansial yang berlebihan. Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan esensi spiritual pernikahan daripada nilai material, serta mencari keseimbangan antara menjalankan kewajiban agama dan menghormati tradisi budaya tanpa memberatkan pihak mana pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H