Mohon tunggu...
Nabila Nasywa
Nabila Nasywa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Seorang mahasiwa hukum yang mempunyai hobi berenang, arung jeram, dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Uang Mahar, Uang Panai, dan Uang Jujuran: Pro dan Kontra dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan

2 Desember 2024   15:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   15:03 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud, Hukum, dan Agama. Sumber ilustrasi: www.boombastis.com

Uang panai atau biasa disebut dengan uang belanja adalah biaya yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan tersebut. pemberian uang panai merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh laki-laki ketika akan melansungkan perkawinan dimana ditentukan setelah adanya proses lamaran. Uang panai merupakan syarat yang mengikat untuk berlangsung atau tidaknya perkawinan, dimana Uang panaik ini menjadi kewajiban calon mempelai perempuan dan orang tuanya untuk membiayai segala hal-hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan.

Uang panaik tidak diatur secara khusus, hal ini karena uang panai adalah tradisi adat, bukan syarat hukum yang diatur secara nasional. Namun uang panai dapat dikaitkan secara tidak langsung

  • Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Jika adat setempat menganggap uang panaik sebagai bagian dari penghormatan atau tradisi dalam pernikahan, hal ini dapat diakomodasi.
  • Pasal 6 Ayat 2: "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Tradisi seperti uang panaik tidak boleh memaksakan atau melanggar persetujuan kedua belah pihak.
  • Dalam Islam uang panaik tidak memiliki dasar hukum dari Al-Qur`an atau Hadist. Uang Panaik adalah tradisi adat, bukan kewajiban agama.

Pengertian dan Dasar Hukum Uang Jujuran

              Dalam tradisi adat banjar jujuran adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jujuran dapat berbentuk uang atau benda. Uang atau benda ini digunakan sebagai pembiayaan pesta pernikahan, dari mulai rias pengantin, sewa tempat, dan hal-hal terkait pernikahan lainnya. Selain untuk acara pesta pernikahan, uang jujuran sebagian digunakan sebagai bekal kedua mempelai untuk menghadapi kehidupan rumah tangga. Bahkan banyak dari masyarakat yang menggunakan uang jujuran sebagai mahar untuk akad nikah, baik digunakan seluruhnya ataupun sebagian. Sehingga hal ini yang membuat anggapan sebagian masyarakat bahwa jujuran dan mahar adalah hal yang sama. (Akbari, 2018)

Uang jujuran tidak diatur secara khusus, hal ini karena uang jujuran adalah tradisi adat, bukan syarat hukum yang diatur secara nasional. Namun uang jujuran dapat dikaitkan secara tidak langsung

  • Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Jika adat setempat menganggap uang panaik sebagai bagian dari penghormatan atau tradisi dalam pernikahan, hal ini dapat diakomodasi.
  • Pasal 6 Ayat 2: "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Tradisi seperti uang panaik tidak boleh memaksakan atau melanggar persetujuan kedua belah pihak.
  • Dalam Islam uang jujuran  tidak memiliki dasar hukum dari Al-Qur`an atau Hadist. Uang Panaik adalah tradisi adat, bukan kewajiban agama.

Pro dan Kontra Uang Mahar, Uang Panai, dan Uang Jujuran

Pro       

  • Kewajiban syariat, mahar adalah syarat sah pernikahan dalam Islam (QS. An-Nisa [4]: 4).
  • UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Dalam Islam, mahar adalah syarat sah pernikahan sesuai hukum agama.
  • Memberikan penghormatan kepada pihak wanita dan keluarga dan jaminan awal kepada mempelai wanita.
  • Simbol cinta dan tanggung jawab serta menguatkan niat tulus dalam pernikahan.
  • Menjaga tradisi adat dan melestarikan budaya leluhur yang bermakna.

Kontra

  • Uang panai dan uang jujuran menjadi ajang pamer kekayaan dan gengsi, karena jumlah besarannya ditentukan oleh berbagai macam faktor seperti status ekonomi, jenjang pendidikan, dan kondisi fisik mempelai wanita. Hal ini tidak sejalan dengan ketentuan agama Islam karena Islam tidak membeda-bedakan kondisi seseorang.
  • MUI Sulawesi Selatan mengeluarkan fatwa bahwa humum uang panai adalah mubah. Mubahadalah sesuatu yang tidak dilarang untuk dikerjakan, namun sebaiknya ditinggalkan.
  • Beban finansial, mahar, uang panai, dan uang jujuran yang terlalu tinggi dapat menyulitkan calon mempelai pria. Tidak jarang mempelai pria harus berhutang. Sedangkan, Imam Syafi'i melarangnya. Peraturan Islam itu mudah dan tidak memberatkan. Islam tidak pernah mempersulit aktivitas manusia, salah satunya dalam menjalankan ibadah. Jenis qiyasnya syabah dan nafyul fariq. "Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah yang paling mudah urusannya." (H.R. Muslim).
  • Pemberian uang panai dan uang jujuran tidak ada di dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
  • Potensi materialism, fokus pada nilai mahar, uang panai, dan uang jujuran bisa mengurangi makna spiritual pernikahan.
  • Kesalahpahaman budaya, beberapa pihak salah mengartikan mahar sebagai penentu harga diri.

Kesimpulan

Mahar adalah kewajiban yang ditetapkan dalam Islam sebagai syarat sah pernikahan, berfungsi sebagai tanda cinta, tanggung jawab, dan penghormatan kepada mempelai wanita. Dasar hukumnya jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis, serta diakomodasi dalam UU Perkawinan. Sementara itu, uang panai dalam tradisi Bugis dan uang jujuran dalam tradisi Banjar adalah bagian dari adat yang bertujuan memberikan penghormatan kepada keluarga mempelai wanita dan membantu biaya pernikahan. Meski tidak tercantum dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, tradisi ini dapat diterima selama sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.

Namun, ketiganya juga menghadapi kritik karena potensi memberatkan secara finansial dan memunculkan sifat materialisme. Beban ekonomi yang besar dapat menimbulkan kesulitan bagi calon mempelai pria dan keluarganya, bahkan berpotensi melahirkan kesenjangan sosial. Dalam Islam, pernikahan seharusnya dipermudah, bukan dibebani tuntutan finansial yang berlebihan. Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan esensi spiritual pernikahan daripada nilai material, serta mencari keseimbangan antara menjalankan kewajiban agama dan menghormati tradisi budaya tanpa memberatkan pihak mana pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun