Mohon tunggu...
Nabila Marwa Nurhadi
Nabila Marwa Nurhadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student

A Second-year college student of Journalism at Padjadjaran University with an interest in writing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tembok Kuat Stereotype Gender terhadap Anak Laki-laki

18 November 2022   22:05 Diperbarui: 18 November 2022   22:34 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, budaya serta ideologi kian semakin beragam. Salah satunya adalah budaya patriarki atau sistem sosial yang berkembang di masyarakat dimana seorang laki-laki ditempatkan pada posisi pemegang kuasa dan mendominasi atas segalanya.

Budaya tersebut diimplementasikan pada kehidupan sebagian besar masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan bentuk-bentuk ketimpangan gender. Misalnya munculnya pandangan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh menggunakan make up atau skincare dan masih banyak lagi. Padahal hal-hal tersebut merupakan hal normal yang dilakukan oleh seorang manusia. 

Gender Stereotyping Melalui Jenis Permainan Anak
Kita sudah tidak asing lagi mendengar stereotype tentang jenis permainan yang boleh dan tidak boleh dimainkan oleh seorang anak laki-laki. Sebagian orang tua hanya memperbolehkan anak laki-lakinya memainkan mobil-mobilan, robot-robotan, bola, dan mainan lainnya yang dinilai merepresentasikan maskulinitas seorang anak laki-laki. Farida yang merupakan Ibu dari satu anak laki-laki dan satu anak perempuan mengakui adanya stereotype tersebut dalam dirinya.
 
Farida membatasi jenis permainan yang boleh dimainkan oleh anak-anaknya. Saat itu, anak laki-lakinya berusia 7 tahun dan anak perempuannya berusia 5 tahun. Ia seringkali mendapati anak laki-lakinya bermain "masak-masakan" bersama anak perempuannya, kemudian dengan cepat ia mengalihkan perhatian anak laki-lakinya untuk bermain mobil-mobilan.
 
Menurutnya, selagi anak laki-lakinya tidak memberontak ketika diberikan opsi permainan lain, ia akan terus menerapkan jenis permainan yang boleh dan tidak boleh dimainkan oleh anak laki-lakinya. Hal tersebut ia terapkan atas dasar rasa takut anak laki-lakinya akan tumbuh menjadi seseorang yang menyimpang dari gender yang telah dianugerahi kepadanya.

 Farida tidak terlalu menekankan hal tersebut pada anak perempuannya, karena ia menganggap bahwa stereotype tentang anak laki-laki yang menyerupai perempuan jauh lebih dipandang buruk oleh masyarakat ketimbang anak perempuan yang menyerupai laki-laki atau yang biasa disebut dengan "tomboy".
 
Toy Has No Gender (Mainan Tidak Memiliki Gender)

Pada dasarnya, semua mainan sebenarnya netral pada gender apapun. Namun yang membuatnya menjadi tak netral adalah cara mainan tersebut dipasarkan. Kerap kali mainan boneka dipasarkan dengan iklan yang menunjukkan bahwa mainan tersebut hanya ditujukan untuk anak perempuan. Padahal, boneka dapat melatih seorang anak laki-laki untuk belajar menumbuhkan rasa kasih sayang dan kelembutan.
 
Secara tidak langsung, budaya tersebut dapat menghambat kreativitas anak. Anak hanya dapat memahami mainan yang boleh dimainkan sesuai dengan jenis kelaminnya. Seharusnya mainan anak diatur berdasarkan kesesuaian umur dan tingkat keamanannya, bukan berdasarkan gender-nya.
 
Linda yang merupakan seorang Ibu dari dua anak laki-laki mengakui bahwa ia membiarkan anak laki-lakinya untuk bermain boneka. Bahkan, kedua anak laki-lakinya mengoleksi berbagai boneka berbentuk hewan. "Saya gak mau membatasi apapun yang anak-anak saya sukai, termasuk dalam hal memilih mainan. 

Mainan boneka hewan sendiri menurut saya bisa mengajarkan kepada anak-anak 'ini loh bentuk hewan' jadi mereka bisa melihat dan punya gambaran tentang hewan-hewan"  Ucap Linda.
 
Meruntuhkan Tembok Kuat Stereotype Gender

Sebagai orang tua, Linda tidak melihat adanya hal-hal negatif yang datang ketika ia membiarkan anak laki-lakinya bermain boneka. Ia mengakui dapat mengajarkan tentang arti kasih sayang dan kelembutan melalui mainan tersebut.
 
Linda tidak takut anaknya akan tumbuh menyimpang dari gendernya, ia malah mendukung apapun keputusan yang akan diambil oleh anak-anaknya. Menurutnya, jenis permainan juga tidak bisa menentukan akan menjadi apa seorang anak kedepannya. Orang tua seharusnya hanya berperan untuk mendampingi dan memberikan pembelajaran kepada mereka, bukan mengatur hidup mereka.
 
"Kalau saya, saya gak mau anak saya terpaksa menjalani sesuatu yang emang mereka gak suka. Saya memang memiliki hak untuk membatasi sesuatu, tapi menurut saya kalau ngomongin soal jenis mainan itu sebenernya gak ada kaitannya sama akan jadi seperti apa anak-anak saya nanti kedepannya" Ujar Linda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun