Mohon tunggu...
Nabilalr
Nabilalr Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pembelajar Omnivora. Menulis sebagai tanda pernah 'ada', pernah 'merasa', dan pernah disebuah 'titik'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elaborasi Di Bawah Bayang-bayang Tirai Penyesalan

27 Oktober 2018   15:23 Diperbarui: 27 Oktober 2018   15:35 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah segala sesuatunya selalu kontradiktif? Memiliki dua sisi yang selalu bertolak belakang? Memiliki pertentangan di dalam? Lantas, mengapa harus kaget pada dua sisi itu? Semuanya biasa saja kan? 

Begitu katanya.

Aku masih bergeming diantara dua pilihan. Dua duanya memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dan dua duanya sama kuat menarikku untuk go ahead atau menahan diri. Aku tahu, seharusnya aku menahan diri. Namun, sisi yang lain memaksaku untuk go ahead saja. Menghindari penyesalan. Begitu (lagi) katanya.

Hingga detik ini, aku masih bergeming di posisi yang sama. Padahal, kurang dari dua jam dari sekarang keputusan itu sudah harus kubulatkan. Tidak setengah setengah lagi. Terbentur pada hati atau kepala, yang bagiku justru semakin memekakkan gendang telinga.

Ah, aku benci ini. Semua harusnya mudah, sampai segala pertimbangan turut campur dan membikin jadi runyam. Membuat beragam kemungkinan dan antisipasi yang terlalu dini. Namun tetap tidak bisa disalahkan. Bukankah tugas kepala memang begitu? Dan hati juga sama. Kenapa selalu berkeras? Kenapa kamu selalu menjadikan menyesal belakangan menjadi alasan? Meskipun itu benar. Aku hanya menghindari penyesalan. Penyesalan memang belakangan, namun bukankah bisa dihindari? Dimana letak keberadaban manusia yang katanya harus belajar dari pengalaman dan kesalahan?

Dunia mungkin menentangku. Katanya, jangan bego, Ta. Tapi apalah daya, aku memang bego. Jangan naf. Bagaimana? Aku terlahir naf, dan sampai sekarang pun masih sama. Jangan berkeras hati. Apakah namanya berkeras hati jika menuruti hati nurani? Bukankah katanya nurani itu selalu benar? Bukankah spontanitas adalah kehendak yang paling jujur dan apa adanya? Tanpa tendensi? Momentum yang sangat tepat? Lalu aku harus bagaimana?

Apa yang benar dan apa yang salah? Jika menuruti kepala dan seluruh dunia, apakah sudah bisa dibilang benar? Meskipun berdampak penyesalan? Atau sebaliknya. Sudah siapkah aku di caci maki tapi terasa benar, paling tidak menurut diriku sendiri. Dan kenapa semua menjadi rasa rasanya? Apa yang baku, dan apa yang pasti, dan apa yang paling benar dari ini semua?

Ah, kepala ini hampir pecah. Atau, hati ini yang mulai lelah berdiri sendirian. Selalu terbentur pada pokok yang sama, dengan medium yang berbeda. Kompleksitas yang menjemukan, maupun kesederhanaan yang melenakan.

Dan kusadari ini sebagai jalan manusia untuk selalu berada dalam persimpangan. Dalam pergulatan didalam yang akan terus ada sepanjang kehidupan masih berlangsung. Sudah menjadi tugas manusia untuk senantiasa memilih. Meskipun pilihan itu selalu terbatas pada apa yang sanggup diketahui manusia saja. Apapun itu. Dan kusemogakan kali ini keputusanku tidak keliru. Tidak berakhir pada penyesalan, dan juga tidak menjadikanku sebagai bulan bulanan dunia.

Aku ikhlas, Sa. Semoga.  Meski keikhlasan tidak akan pernah sanggup terucapkan.

Dan jika nanti aku menyesal pada keputusan kali ini, semoga aku cukup kuat untuk menanggungnya. Itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun