Mohon tunggu...
Nabilah Shafa Maura
Nabilah Shafa Maura Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika Bermedia Sosial pada Penyebaran Berita Hoaks tentang Kasus Kekerasan Seksual oleh BEM FMIPA UNY Menurut Perspektif Filsafat Komunikasi

2 Desember 2023   18:01 Diperbarui: 2 Desember 2023   18:06 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu, segala sesuatu mengalami perkembangan dengan pesat yang terjadi di seluruh dunia, terutama dalam teknologi, sistem komunikasi, dan media yang menjadi sarana perantara untuk melakukan komunikasi. Awalnya, informasi disampaikan melalui surat kabar, televisi, dan radio, namun kini semakin bervariasi dengan melalui media sosial. Kehidupan modern di era digital memudahkan komunikasi dan kegiatan sehari-hari masyarakat. Media sosial sangat membantu masyarakat dengan menjadi alat yang efektif untuk menyampaikan, menerima, dan menyebarluaskan informasi serta dapat menciptakan keterhubungan dan akses tanpa batas.

Meskipun media sosial memberikan dampak positif, seperti mempercepat akses informasi dan memungkinkan interaksi antarindividu, namun media sosial juga memiliki dampak yang negatif. Informasi palsu atau hoaks sering kali tersebar, menimbulkan ketidakpastian dalam interpretasi realitas. Setiap pengguna media sosial perlu bersikap bijaksana, melakukan verifikasi informasi, dan menjaga etika dalam penggunaan platform tersebut. Salah satu contoh nyata adalah kasus hoaks pelecehan seksual di UNY, di mana informasi palsu tersebar melalui media sosial, merugikan reputasi individu dan merusak hubungan sosial.

Kasus hoaks pelecehan seksual di UNY mencerminkan kompleksitas etika berkomunikasi di media sosial. Tersangka RAN, dengan motif sakit hati, menyebarkan informasi palsu yang merugikan banyak pihak. Permasalahan etika dalam komunikasi online menuntut setiap pengguna untuk memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Di tengah peraturan dan undang-undang yang mengatur etika penggunaan media sosial, kesadaran masyarakat tentang pentingnya verifikasi informasi dan penerapan etika menjadi kunci untuk mencegah dampak negatif dari penyebaran hoaks di era digital.

Kajian Pustaka

Etika Komunikasi

Etika komunikasi menurut terminologi ialah konsep-konsep yang sistematis mencakup nilai baik, buruk, harus, benar, dan salah, serta mengenai prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita dalam penerapannya pada segala hal atau dapat disebuut sebagai filsafat moral. Mengutip Karimah dan Wahyudi, menurut Richard J. etika mencoba untuk meneliti tingkah laku manusia yang dianggap sebagai cerminan dari apa yang terkandung dalam jiwanya atau dalam hati nuraninya. Terdapat 3 pengertian etika yang berkaitan dengan perlunya etika komunikasi utamanya dalam penggunaan sosial media, diantaranya:

  • Etika deskriptif, etika yang bersangkutan dengan nilai dan ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia dalam bermasyarakat.
  • Etika normative, etika yang dipandang sebagai suatu ilmu menggandakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menilai perbuatan dan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat.
  • Etika kefilsafatan, analisa mengenai apa yang dimaksudkan pada saat mempergunakan predikat-predikat kesusilaan. Etika ini berhubungan dengan norma yang berarti peraturan atau pedoman hidup mengenai bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam bermasyarakat.

Media Sosial

Media sosial hadir dan membentuk cara baru dalam berkomunikasi. Pola komunikasi yang telah mapan terdiri dari pola "one-to-many audiences" yang berarti dari satu sumber ke banyak pemirsa. Pola komunikasi masyarakat pengguna sosial media menggunakan kombinasi pola "many-to-many", dan pola "few-to-few". Menurut Juliswara, pada saat ini kemunculan media sosial tidak hanya digunakan untuk sekedar bersosialisasi semata, namun juga telah meluas menjadi sarana bertukar informasi, berbisnis, berkampanye, mengajukan protes, dan ajakan berdemonstrasi.

Fenomena Hoaks

Fenomena hoaks bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini publik, membentuk persepsi juga untuk having fun yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna media sosial. Tujuan penyebaran hoax beragam, pada umumnya hoax disebarkan sebagai bahan lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), ataupun promosi dengan penipuan. Hal ini menyebabkan banyak penerima hoax terpancing untuk segera menyebarkan kepada rekan sejawatnya sehingga hoax dapat dengan cepat tersebar luas.

Menurut David Harley, ia mengidentifikasikan hoax secara umum. Pertama, informasi hoax biasanya memiliki karakteristik surat berantai dengan menyebarkan kalimat terror didalamnya. Kedua, informasi hoax sering kali tidak menyertakan tanggal kejadian atau tidak memiliki tanggal kejadian yang realistis dan tidak dapat diverifikasi. Ketiga, informasi hoax tidak memiliki tanggal kadaluwarsa pada peringatan informasi, meskipun kehadiran tanggal tidak membuktikan apapun tetapi dapat menimbulkan efek keresahan yang berkepajangan. Terakhir, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi sebagai sumber informasi.

Pembahasan

Kasus hoaks yang terjadi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (BEM FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini dapat di lihat dari perspektif filsafat komunikasi melalui beberapa pendekatan, yang diantaranya sebagai berikut:  

Aksiologi

Sebuah ilmu ditemukan dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi manusia. Dengan ilmu diharapkan semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara cepat dan lebih mudah. Peradaban manusia akan sangat bergantung pada sejauh mana ilmu dimanfaatkan. Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata 'axios' yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah 'ilmu tentang nilai'. Aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu, apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakan sebagai sebuah kejahatan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa aksiologi merupakan nilai ilmu yang didapat oleh seseorang akan terlihat dampak manfaatnya bergantung terhadap sejauh mana orang tersebut memanfaatkan ilmunya apakah ilmu tersebut dimanfaatkan untuk hal kebaikan atau sebaliknya.

Melihat permasalahan yang kita bahas, tersangka RAN (19) melakukan penyebaran hoaks tentang dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh MF (21) kepada mahasiswa baru UNY dan motif dari penyebaran hoaks tersebut adalah sakit hati dikarenakan pada saat itu RAN mendaftar di salah satu komunitas mahasiswa namun tertolak, sedangkan MF yang diterima. Jika dikaitkan masalah tersebut dengan sisi Aksiologi filsafat dapat dijadikan beberapa pertanyaan seperti, untuk apa tersangka melakukan penyebaran hoaks tersebut? Mengapa hal tersebut perlu ia lakukan? Dan bagaimana dia melakukan penyebaran hoaks? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diatas yaitu:

  • Tersangka melakukan penyebaran hoaks tersebut bertujuan untuk menjatuhkan korban (MF) dan sanksi social dikarenakan merasa iri hati akibattemannya itu di terima di salah satu komunitas mahasiswa sedangkan ia tidak.
  • Ia merasa hal tersebut harus ia lakukan agar korban dapat dikeluarkan dari komunitas dan mendapatkan sanksi social.
  • Tersangka RAN melakukan penyebaran hoaks ini menggunakan platform 'X' yang dimana ia membuat sebuah berita bahwa seakan-akan dialah seorang mahasiswa baru yang dilecehkan oleh korban MF dan menggunakan akun yang bernama @UNYmfs.

Ontologi

Perspektif filsafat ilmu melalui pendekatan ontologi, membahas tentang apa yang dikaji oleh ilmu mengenai sifat wujud atau asumsi mengenai objek sosial. Pendekatan ontologi ini dapat membantu menjelaskan bagaimana realitas kasus ini dikonstruksikan melalui interaksi sosial. Posisi ontologis, dapat dikelompokkan menjadi dua posisi dasariah yang saling berlawanan, yaitu actional theory dan non actional theory. Pada actional theory, orang menciptakan makna dan mengambil keputusan yang dirancang karena mereka memiliki tujuan yang ingin di capai. Sedangkan, non actional theory merupakan perilaku yang pada dasarnya ditentukan dan responsive terhadap tekanan-tekanan, sehingga membuat interprestasi aktif seseorang dilihat dengan sebelah mata.

Tersebarnya kabar dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (BEM FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) terhadap mahasiswa baru. Informasi ini dibagikan ke dalam akun media sosial X oleh tersangka berinisial RAN, seorang mahasiswa FMIPA UNY angkatan 2022  dan menjadi trending topic pada Jumat (10/11), sehingga membuat perilaku tersangka dapat ditentukan serta responsif terhadap banyak publik yang terpengaruh dengan isi kabar tersebut. Perilaku tersangka tersebut dapat didasari dengan posisi ontologis non actional theory, karena banyak yang melihat perilaku tersangka dengan sebelah mata, menganggap bahwa kasus tersebut benar dilakukan oleh salah satu pengurus BEM FMIPA UNY tanpa melihat pandangan kebenaran dari korban tuduhan. 

Pelaku juga melampirkan foto tangkapan layar percakapan chat, sehingga perilaku tersangka dapat dipandang oleh orang-orang yang mempercayai hal tersebut bahwa tangkapan layar yang di lampirkan merupakan bukti bahwa korban tuduhan benar-benar melakukan pelecehan terhadap mahasiswa baru. Pelaku penyebaran hoaks ini  yang merupakan teman satu fakultas korban merancang perbuatannya didasari pada posisi actional theory dengan alasan sakit hati, karena pelaku RAN ditolak pada saat mendaftar di salah satu komunitas mahasiswa, sedangkan MF diterima.

Epistemonologi

Epistemonologi dapat didefinisikan sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) suatu pengetahuan dengan melakukan pengkajian terhadap terjadinya suatu pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah dan aliran-aliran teori pengetahuan. Epistemonologi berfungsi sebagai pembangun kerangka sebuah disiplin ilmu, yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan dua pokok aliran. Pertama, aliran yang mengakui pentingnya peranan akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kedua, aliran realisme atau empirisme yang lebih menekankan pada peran indera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Epistemologi dimaksudkan sebagai usaha untuk menafsirkan, dimana mungkin dapat membuktikan keyakinan kita bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri. 

Penyebaran kasus hoaks yang terjadi pada kasus ini dapat dikaitkan dengan kajian epistemologi, dimana dalam epistemologi menyoroti bagaimana proses akuisisi dan penyebaran informasi dapat mempengaruhi epistemologi komunikasi. Baik dalam konteks media sosial maupun lembaga pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Epistemologi menekankan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada bukti yang valid, dengan mempertimbangkan validitas suatu informasi, dan kehati-hatian akan suatu informasi atau pengetahuan kita tentang suatu kebenaran. Secara keseluruhan dalam konteks epistemologi, kasus ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam memvalidasi informasi sebelum menerima dan menyebarkannya. Epistemologi menekankan metode pengumpulan data yang dapat dipercaya dan evaluasi kritis terhadap klaim pengetahuan. Penyebarluasan informasi dan pengungkapan bahwa kabar dugaan pelecehan seksual merupakan hoaks menggarisbawahi pentingnya verifikasi dan keandalan informasi sebelum membuat kesimpulan. Kasus ini juga mempertanyakan bagaimana persepsi dan keputusan diambil berdasarkan informasi yang kemudian terbukti tidak benar, mencerminkan kompleksitas epistemologi dalam era media sosial.

 Metafisika

Metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas mengenai hakikat ekstensi, sifat-sifat dasar realitas dan makna komunikasi atas hal yang mengitarinya dengan berpacu pada pertanyaan-pertanyaan mendasar menganai keberadaan dan sifat-sifat yang meliputi realitas yang dikaji. Tujuan utama kajian metafisika ini adalah untuk memahami struktur dasar dan prinsip-prinsip realitas dengan menggunakan pemahaman dan pandangan filsafat yang beragam. Hal ini dapat membantu mempertimbangkan perbedaan antara berbagai bentuk pertanyaan yang bersifat konkret atau abstrak. Terkait kajian metafisika jika dilihat dari kasus ini ialah mengenai bagaimana hakikat fundamental dan realitas yang terjadi dalam penyebaran hoaks yang disebarkan oleh pelaku berinisial RAN, seperti pada poin berikut:

  • Kasus hoaks pelecehan seksual yang terjadi di FMIPA UNY ini dapat dianggap sebagai entitas ontologis meskipun informasinya palsu, karena berdampak dalam membentuk pemahaman dan persepsi realitas yang memberikan ekstensi nyata dalam konteks komunikasi di lingkungan Universitas;
  • Menciptakan realitas alternative dengan merombak pemahaman umum individu dan lingkungan kampus yang memberikan dampak signifikan tentunya dengan mempengaruhi hubungan antar individu dan citra institusi;
  • Dapat juga dilihat sebagai hasil dari kondisi budaya tertentu di lingkugan FMIPA UNY dimana budaya atau pergaulan tertentu dapat mendukung atau bahkan mendorong penyebaran informasi palsu tersebut;
  • Ketidakpastian dalam hoaks pelecehan seksual ini menciptakan keterbatasan pemahaman bagi masyarakat kampus karena dapat sulit membedakan anatraa informasi yang benar dan palsu, sehingga mengakibatkan pemahaman yang keliru terhadap realitas lingkungan di kampus UNY.

Melalui kajian metafisika ini, kasus mengenai hoaks pelecehan seksual di FMIPA UNY dapat dilihat sebagai fenomena ontologis yang memiliki dampak sisgnifikan dalam membentuk pemahaman dan realitas dalam konteks komunikasi di lingkungan kampus. Pemahaman ini juga membantu menggali lebih dalam hakikat ontologis dari fenomena komunikatif yang dapat merugikan lingkungan sekitar, serta memahami konsekuensi filosofisnya.

Kesimpulan

Kasus hoaks di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dikaji melalui perspektif filsafat komunikasi, yang mencakup aksiologi, ontologi, epistemologi, dan metafisika. Dalam aspek aksiologi, terungkap bahwa tersangka RAN menyebar hoaks pelecehan seksual karena iri hati terkait penerimaan di komunitas mahasiswa, yang bertentangan dengan nilai kegunaan ilmu dan tanggung jawab sosial ilmuwan. Di sisi ontologi, kasus hoaks ini dibangun melalui interaksi sosial dengan pelaku berposisi pada teori actional dan non-actional, di mana tersangka RAN menggunakan media sosial untuk memengaruhi opini publik karena sakit hati. Dalam segi epistemonologi, penekanan pada pentingnya verifikasi dan keandalan informasi menjadi sorotan, mencerminkan kompleksitas epistemologi di era media sosial dan urgensi memvalidasi informasi sebelum disebarkan.

Selanjutnya, dalam perspektif metafisika, kasus hoaks ini dipertimbangkan melalui lensa hakikat ekstensi, sifat-sifat dasar realitas, dan makna komunikasi. Pertanyaan mengenai eksistensi, realitas alternatif, nilai budaya, dan ketidakpastian interpretasi diajukan, menggambarkan hoaks sebagai entitas ontologis dalam lingkungan kampus UNY yang memiliki dampak signifikan dalam membentuk pemahaman dan realitas. Dengan demikian, analisis ini memberikan wawasan filsafat terhadap kasus hoaks, menyoroti dampaknya pada nilai, realitas, pengetahuan, dan hakikat komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun