Mohon tunggu...
Nabilah Salma
Nabilah Salma Mohon Tunggu... Penulis - Siswi SMA

Saya suka menulis banyak hal, ketika SMP saya mengalaminya waktu terjadi wabah covid19, biasanya saya membuat buku antologi baik fiksi maupun non fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gajah Mada, Surat Wasiat dalam Kabut

30 Oktober 2024   13:54 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:21 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Orientasi

Kabut tebal merayap seperti ular raksasa di antara bebatuan candi, menelan setiap jejak cahaya yang tersisa. Di atas menara pengawasan tertinggi istana Majapahit, aku berdiri mengamati bagaimana kegelapan perlahan-lahan melahap kerajaan yang telah kupersembahkan seluruh hidupku untuk melindunginya. 

Para penjaga di bawah sana mulai menyalakan obor satu demi satu, menciptakan konstelasi titik-titik api yang justru membuat bayangan semakin pekat. Bodoh. Mereka hanya membuat diri mereka menjadi target yang lebih mudah.

Aku menggenggam surat wasiat usang yang kutemukan pagi tadi di balik batu nisan Mahisa Kingkin. Tinta pada kulit kayu itu sudah memudar, tapi kata-katanya masih bisa terbaca."Bahaya mengintai dari dalam lingkaran terdalam. Mereka yang tersenyum padamu siang hari akan menghunuskan belati saat malam tiba." Di sudut surat itu, terukir simbol rahasia Bhayangkara yang hanya dikenal oleh anggota tertua pasukan elit ini.

Dari kejauhan, aku mendengar bisikan para dayang yang tak henti-hentinya membicarakan dongeng usang tentang kabut dan bidadari. Mereka percaya kabut ini adalah selubung suci yang diturunkan para dewa untuk melindungi para bidadari yang hendak memberi penghormatan pada Ken Dedes, sang Ardhanareswari. 

Ha! Betapa manusia begitu mahir menciptakan kebohongan indah untuk menutupi ketakutan mereka pada kegelapan.

Tetapi malam ini berbeda. Kabut ini terlalu tebal, terlalu gelap, seolah membawa pesan tersembunyi dari masa lalu. Aku masih ingat bagaimana Ken Dedes memanfaatkan kepercayaan rakyat akan mitos bidadari ini. Seorang wanita cerdas, harus kuakui, yang tahu bagaimana mengubah takhayul menjadi legitimasi kekuasaan. "Titisan Pradnya Paramita." Begitu mereka memujanya. Tetapi aku tahu lebih baik dalam menyadarinya. Di balik mitos agung selalu ada darah yang mengalir dan tengkorak yang terpendam.

"Kakang Gajah." Suara Pradhabasu mengejutkanku dari belakang. "Para pendeta istana gelisah. Mereka bilang kabut ini membawa pertanda buruk. Tiga ekor burung gagak hitam ditemukan mati di altar pemujaan pagi tadi."

Aku tersenyum sinis. "Sejak kapan kau percaya takhayul, Pradhabasu?"

"Bukan takhayul yang aku khawatirkan, Kakang," jawabnya pelan. "Tapi racun yang ditemukan dalam tubuh burung-burung itu. Racun yang sama yang dulu digunakan untuk membunuh Mahisa Kingkin."

 Menuju Konflik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun