Mohon tunggu...
Nabila H Raras
Nabila H Raras Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi

Universitas Muhammadiyah Malang Info Contact: Twitter: naabilahr Email: nabilahanggana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film

Ternyata, Begini Awal Mula Lembaga Sensor Film Sekaligus Cara Kerjanya

22 Juni 2021   10:10 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:30 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sensor Film/copyright by MainMain.id 

Sejarah media massa Indonesia menunjukkan naik turunnya peran media massa. Secara umum, sejarah hukum media di Indonesia adalah sekitar 1,5 abad dari era Hindia Belanda hingga era reformasi di Hindia Belanda. Abad ke-21 ditandai dengan pembatasan hukum terhadap kebebasan media, khususnya kebebasan pers. Meskipun ada pasang surut, secara umum, pengekangan lebih menonjol daripada kebebasan. Isi atau bahan hukum media yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi bahan-bahan sebagai berikut:

1. Undang-undang yang memberi wewenang kepada pihak berwenang untuk melakukan tinjauan preventif. Tinjauan preventif adalah tinjauan yang dilakukan sebelum dipublikasikan oleh media.

2. Undang-undang media memberi wewenang kepada pihak berwenang untuk menutup dan melarang media.

3. Undang-undang media yang memberi wewenang kepada pihak berwenang untuk menerbitkan dan mencabut izin (dan sebaliknya) juga mewajibkan media untuk mendapatkan izin sebelum menerbitkan media nya.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan wilayah ter luas, dan tentunya memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak. Hal ini tentunya memberikan potensi yang sangat besar bagi departemen sumber daya manusia, yang dapat memberikan dampak yang sangat besar bagi berbagai industri di Indonesia. Salah satunya adalah industri perfilman.

Industri perfilman Indonesia pernah mengalami pasang surut, bahkan sempat mengalami titik terendah di tahun 1990-an. Untungnya, memasuki tahun 2000, pergerakan perfilman Indonesia mulai menanjak perlahan. Apa yang terjadi dengan Petualangan Sherina, Jelangkung dan Cinta? Tiga film akan membawa harapan bagi film Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Sejak itu, situasinya membaik.

Pada bulan Desember 1900 film pertama di Indonesia telah diputar. Namun baru 16 tahun kemudian, pada 18 Maret 1916, Belanda memproduksi film "Ordonanntie" di Indonesia. Diantaranya adalah Komite Penilai Film (KPF). Inilah pelopor berdirinya Lembaga Sensor Film (LSF) sampai saat ini. LSF memiliki misi untuk menyaring dan mereview film-film yang akan diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Pada fakta nya, ternyata LSF merupakan salah satu lembaga tertua yang ada di Indonesia karena sudah berdiri sejak 1916.

Meskipun lembaga tersebut jarang diberitakan oleh media, namun tugas dan fungsinya sangat penting untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1. 33 Tahun 2009 Tentang film. “Isi hukum per filman diartikan sebagai berbagai hal yang berkaitan dengan per filman. Pengertian film adalah sebuah karya seni dan budaya yang merupakan organisasi sosial dan media massa yang bersuara atau diam yang diproduksi sesuai dengan kaidah film.”

Awal mula penyensoran film yaitu pertama-tama pembuat film harus mendaftar lebih dahulu. Setelah menentukan kategori film dengan tim produksi film, maka pembuat film akan mengajukan permintaan kategori untuk film yang telah dibuatnya. Selanjutnya film yang sudah didaftarkan tersebut dibawa ke ruang sensor guna diteliti dengan kurang lebih sebanyak enam komisi, yaitu: Bidang penyensoran, Bidang evaluasi dan hukum, Bidang hubungan antar lembaga, Bidang Dialog, Bidang Sosialisasi kebijakan, Bidang Pemantauan. Selama proses penyensoran, ketua dan wakil ketua panitia LSF juga harus hadir selama proses sensor berlangsung. Badan ini tidak hanya bertanggung jawab untuk sensor dalam film, tetapi juga untuk sensor iklan, klip video musik, dan talk show yang biasanya ditayangkan di televisi swasta.

Jika LSF menemukan bahwa suatu elemen tidak sesuai dengan kategori yang direkomendasikan oleh pembuat film, LSF akan memberikan opsi kepada pembuat film untuk mengganti adegan yang tidak sesuai dengan kategori yang diperlukan. Namun, jika pembuat film menginginkan adegan dalam film tidak diganti, maka LSF akan memberikan opsi kepada pembuat film untuk mengubah kategori usia film. Hal ini dilakukan agar orang-orang dengan usia yang sesuai dalam kategori film dapat menonton film yang akan ditayangkan.

Ternyata dari banyak film Indonesia yang tayang ada juga beberapa yang sempat tidak diperbolehkan tayang karena beberapa hal yang mengarah ke unsur negatif. Salah satu film tersebut yaitu berjudul “Something in the Way” yang tayang pada tahun 2013. Teddy Soeriaatmadja sang sutradara pada awalnya telah yakin bahwa film ini akan dilarang tayang atau di cekal karena mengandung unsur agama dan seks. Film yang di perankan oleh Reza Rahardian dan Ratu Felisha ini memang memiliki cerita yang bisa membuat marah suatu kelompok karena adegan di film ini dibuat sedetail mungkin. Meskipun dilarang tayang di negeri sendiri, film ini berhasil ditayangkan di Berlin.

Menurut penulis hal itu membuktikan bahwa, setiap negara mempunyai patokan sendiri mengenai film yang akan disajikan. Penulis juga setuju tentang pencekalan film “Something in the Way”, karena negara Indonesia sendiri merupakan negara yang ketat dengan agama dan menganggap seks adalah hal yang tabu sehingga takut jika film tersebut ditonton oleh umur yang tidak semestinya anak tersebut akan meniru perilaku tersebut. Sekaligus jika pada awalnya sutradara sudah yakin film tersebut akan dicekal berarti film tersebut sudah faham bahwa ada hal yang mereka langgar dalam menggarap film tersebut.

Tidak hanya film yang perlu diperhatikan, namun siaran televise juga perlu perhatian lebih. Karena tayangan televisi tidak bisa dijangkau penontonnya, siapapun bisa menonton tayangan tersebut. Pada saat sedang promo film “Gundala”, sempat terkena terguran oleh KPI. Dalam surat yang dikeluarkan ternyata KPI menyampaikan jika terdapat kata kasar didalamnya. Hal tersebut telah melanggar aturan P3 Pasal 9 dan pasal 14 Ayat (1) dan (2), serta SPS Pasal 9 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 15 Ayat (1) ujar Mulyo Wakil Ketua KPI.

Selain Gundala ada promo film lain yang terkena peringatan tertulis oleh KPI, yaitu “Yowis Ben” yang saat itu tengah promo film di stasiun TV NET TV. KPI menilai promo film yang ditayangkan menampilkan seorang pria yang berkata dinilai tidak sopan. Hal tersebut berpotensi melanggar Pasal 9 dan Pasal 15 Ayat (1) SPS KPI Tahun 2012 atau tentang penghormatan terhadap norma kesusilaan dan kesopanan terhadap remaja dan anak-anak. Peringatan ini merupakan bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Saudara wajib menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam menyiarkan sebuah program siaran.  

Setelah menuai peringatan mengenai promo film ada beberapa pemain yang mengeluhkan bahwa seharusnya KPI membicarakan secara baik-baik dan tidak asal memberikan peringatan begitu saja. Menurut penulis, tindakan yang dilakukan KPI ada benarnya juga. Karena jika sudah tayang di televisi semua umur bisa menonton siaran tersebut, sehingga jika ada kata-kata yang tidak pantas diucapkan maka hal itu tentu berakibat buruk dan bisa membuat anak-anak dibawah umur meniru hal yang kurang sopan.

Tidak hanya di Indonesia, tetapi negara lain juga memiliki aturan sensor sebelum disiarkan ke publik. Misalnya, negara tetangga Singapura: Sensor Singapura menghapus wawancara Presiden AS Barack Obama dengan karakter lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Ellen De Generes di TV Singapura. Keputusan ini langsung memicu respons protes dari komunitas LGBT, karena Undang-Undang Program TV Singapura tidak mengizinkan program yang mempromosikan atau membuktikan gaya hidup gay. Karena negara ini mengharapkan anak-anak dibawah umur untuk tidak meniru tindakan tersebut.

Selain itu ada Korea Utara yang memiliki akses sangat ketat untuk penduduknya. Isi dari koran ataupun televisi Korea Utara hanya menyajikan berita-berita yang berfokus pada kepempinan pemerintah serta politik negara itu sendiri. Dalam penggunaan internet rakyatnya juga sangat dibatasi dan hanya kalangan politik, sehingga penduduk di negara tersebut tidak bisa seluas negara lain dalam mengakses internet termasuk film.

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Lembaga Sensor Film memiliki peran penting dalam sensor film Indonesia. Lembaga sensor film memiliki tugas tidak hanya memotong adegan, tetapi juga harus menjaga tradisi dan kebudayaan bangsa supaya tidak ikut terpotong.

Lembaga sensor film menyensor sesuai UU Film pasal 33 tahun 2009. Serta mengikuti peraturan pemerintah. Film merupakan bagian dari pertahanan dan keamanan, jadi ketika ada konteks film yang mengandung umpatan harus diperhatikan dahulu dan tidak langsung menyimpulkan bahwa itu hal yang tabu. Bisa jadi umpatan tersebut karena budaya dari daerah tersebut. Maka untuk itu film juga disebut sebagai propaganda, film juga merupakan karya budaya. Menonton film sama pentingnya dengan membaca buku, bisa menambah wawasan serta pengetahuan.

Ternyata sensor film juga tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi setiap negara memiliki standar berkualitas tersendiri sebelum tayangan tersebut dikonsumsi oleh para penduduknya masing-masing.

-

Ditulis Oleh Nabila Hanggana Raras, Mahasiswi Ilmu Komunikasi -- Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis bisa dihubungi via IG:Nabilaahr atau email: nabilahanggana@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun