Berdasarkan kasus kaburnya selebgram RV dari karantina Wisma Atlet Pademangan, dipastikan hal ini menjadi suatu kejanggalan dalam sistem manajemen dan kebijakan pengadaan wisma itu sendiri. Menurut peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, RV tidak termasuk dalam kategori orang yang berhak melakukan karantina di Wisma Atlet Pademangan. Hal ini tentunya menimbulkan banyak persoalan terkait bagaimana ia bisa lolos dalam prosedur pemilihan tempat karantina. Padahal, dalam prosedur penetapan pilihan karantina bagi WNI yang melakukan perjalanan internasional, terdapat proses di mana mereka diharuskan mengisi data perjalanan yang meliputi tujuan perjalanan serta data-data penunjang lainnya. Tentu ada proses verifikasi data sebelum pengajuan tempat karantina penumpang dinyatakan lolos atau tidak.
Namun, dikatakan oleh dr. Tirta Mandira Hudhi, atau yang kerap disebut sebagai dr. Tirta, Â bahwa lolosnya RV dalam situasi tersebut adalah dikarenakan adanya oknum-oknum yang bertugas di Bandara Soekarno-Hatta yang membantu RV dalam proses karantina, hingga proses kaburnya.
"Ada 4 oknum. Oknum yang mengawal dari pesawat saat tiba di Indonesia, yang membawa ke Wisma Atlet pertama, yang membawa pulang dari Wisma Atlet, dan waktu pergi ke Bali," jelas dr. Tirta dalam Podcast Deddy Corbuzier.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya fenomena gunung es dalam prosedur sistem karantina di Wisma Atlet Pademangan di mana kejadian ini tidak hanya melibatkan satu pihak saja, melainkan ada beberapa pihak terkait. Masalah ini menjadi evaluasi berat bagi pengadaan Wisma Atlet Pademangan sebagai shelter COVID-19 di mana peninjauan ulang perlu dilakukan sampai ke dalam-dalamnya.
Evaluasi Pengadaan Wisma Atlet Pademangan
Diketahui bahwa masalah yang terjadi akibat kasus kaburnya selebgram RV ini menimbulkan banyak persoalan terkait apakah pengadaan wisma atlet sudah menepati sasarannya atau tidak. Pihak-pihak terkait harus meninjau ulang kasus ini dari berbagai aspek untuk melihat bagaimana "kecolongan" ini bisa terjadi. Mungkin saja kasus RV menjadi salah satu kasus yang tercium oleh publik di antara puluhan kasus lainnya yang tersembunyi. Ditinjau dari kapasitas Wisma Atlet Pademangan yang dapat menampung 7.148 orang, tidak menutup kemungkinan kasus serupa mungkin terjadi tanpa diketahui oleh publik.
Pihak-pihak terkait perlu mempertanyakan bagaimana oknum-oknum yang membantu kasus tersebut dapat beraksi dan memperketat aturan prosedur secara menyeluruh. Tidak seharusnya kasus seperti ini terjadi mengingat alih fungsi wisma atlet adalah sebagai Rumah Sakit Darurat COVID (RSDC), yang ditetapkan sebagai upaya pengadaan fasilitas kesehatan di masa pandemi. Pembiayaan kekarantinaan di Wisma Atlet ini bersumber dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan/atau bersumber dari APBN/APBD. Kasus ini merupakan tamparan berat bagi sistem manajemen pengadaan wisma karena telah menyalahi hak para WNI yang justru lebih berhak untuk menempati Wisma Atlet Pademangan, yaitu mereka yang sesuai dengan kategori-kategori yang sudah ditetapkan dalam kebijakan.
Ditinjau dari Segi Pembangunan KesehatanÂ
Pengalih fungsian Wisma Atlet menjadi RSDC (Rumah Sakit Darurat COVID) merupakan salah satu usaha pemerintah dalam rangka pembangunan kesehatan di Indonesia. Dalam pembangunan tentunya tidak selalu berjalan baik, seperti halnya kasus kecolongan selebgram RV yang kabur dari karantina dan menggunakan fasilitas yang seharusnya tidak diperuntukan untuknya. Sistem yang bermasalah terletak pada keamanan dan prosedur masuk Wisma Atlet, padahal sudah tertera secara jelas kategori yang dapat di karantina di Wisma Atlet Pademangan. Tentunya hal ini berdampak buruk pada pola pikir masyarakat terhadap kebijakan karantina dan keadilan di Indonesia. Banyak dari masyarakat merasa ketidakadilan, dimana mereka harus merelakan tidak bertemu anggota keluarganya saat masa kritis dan harus melakukan karantina sampai ada yang tidak sempat bertemu keluarga karena anggota keluarga yang meninggal terlebih dahulu sebelum selesai karantina. Hal ini pun cukup membahayakan karena dapat memungkinkan muncul varian baru jika RV terbukti positif COVID. Masyarakat pun dapat memiliki pemikiran yang sama untuk kabur dari karantina, jika hal itu terjadi maka kasus COVID akan semakin sulit untuk dibenahi. Hal ini pun menyalahi tujuan dari karantina yang bertujuan untuk kunci keberhasilan untuk melindungi kesehatan publik di dalam negeri dari potensi ancaman masuknya varian virus corona maupun virus apapun. Pada akhirnya dengan adanya kasus ini, membuat adanya evaluasi elemen Wisma Atlet secara menyeluruh.
Kesimpulan
Munculnya kasus mengenai penyalahgunaan Wisma Atlet ini ke permukaan publik menjadi sebuah tamparan keras untuk sistem manajemen pengadaan fasilitas kesehatan di masa pandemi. Hak-hak yang seharusnya dijaga oleh para pihak terkait dengan mudah tercemari oleh masuknya oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab di dalam sistem nya. Kejadian seperti ini sudah seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pihak, baik itu pihak penyedia  maupun para masyarakat yang menggunakan fasilitas. Evaluasi secara mendalam perlu dilakukan mengingat kejadian ini tidak hanya berkaitan dengan satu dua oknum saja melainkan banyak keterlibatan pihak-pihak lainnya. Keamanan serta sistem manajemen prosedur penggunaan Wisma Atlet Pademangan ini perlu diperketat dan ditingkatkan demi menjaga hak-hak yang ada di dalamnya sekaligus menjaga tujuan dari pengadaan fasilitas itu sendiri. Perlu adanya tindakan tegas bagi mereka yang berani melanggar aturan penggunaan fasilitas kesehatan ini dan sudah seharusnya para penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus serupa hingga tuntas.