Mohon tunggu...
nabilah hafizha
nabilah hafizha Mohon Tunggu... Lainnya - pemula

banyak sekali isi pikiran yang bisa diolah,mari berbagi :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Egois Adalah Aku

29 Juni 2024   15:05 Diperbarui: 29 Juni 2024   15:54 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Beberapa tahun berlalu*

Tentu aku lebih banyak bersyukur dikelilingi lingkungan yang baik dan masih bisa mengingatkan aku saat aku tersesat. Tapi, menurutmu berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar bisa terbiasa akan kehilangan? Apa takaran sebuah keikhlasan? Saat kau sudah merasa ikhlas lalu rindu datang membludak secara ugal-ugalan sampai kau hampir tenggalam lalu kau menangisi semalaman kenangan indah itu, apa itu masih termasuk ke dalam konsep ikhlas? Aku rasa ini tidak akan selesai, sudahlah anggap saja ini sudah selesai jadi tidak pelu diperdebatkan lagi ya.

Butuh berapa lembar yang diperlukan untuk menulis semua perasaanku, aku yakin tidak akan habis dalam sekali duduk bisa ku tulis. Karena setelah masa keegoisanku itu berlalu masih ada sisa-sisa egois tertinggal, mungkin aku belum benar-benar berdamai. Atau mungkin aku memang egois tidak bisa melihat orang-orang terkasihku sedih. Jika kalian bisa melihat polanya entah aku yang aneh atau memang orang lain juga bisa merasakan hal serupa, tapi banyak sekali pertanyaan yang aku sendiri tidak mampu menjawabnya sendiri dengan akal pikiran sehat.

 Aku pernah membuat pernyataan untukku yang aku harap ini bukan sebagai penyangkalan, bunyinya seperti ini “Otak kita memang terkadang tidak diciptakan untuk masalah sendiri”. Meski begitu tujuan hidup memang untuk mencari jawaban dari seluruh pertanyaan yang ada jadi tidak perlu takut, ini juga termasuk ke dalam tujuan hidup yaitu menguatkan diri dan bangkit dari keterpurukan juga ketakutan.

Walaupun terkesan aku bahkan kita bisa melewatinya, namun disaat waktu tertentu pasanganku berada dititik terendah dan merindu Kembali aku tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Bukan karena aku tega atau tidak peduli, tapi aku akan membiarkan dia merasakan itu lalu menyembuhkan dan menghilangkan rindu hingga bertemu pada masa rindu berikutnya. Percayalah disaat kalian atau siapapun itu mencoba menguatkan dengan berkata “kalo kangen doain aja, jangan nangis kasihan” atau kalimat lainnya yang serupa itu sama sekali tidak membantu. Karena, kitapun yang ditinggalkan mengerti konsep mendoakan tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa rindu itu, jadi lebih baik kalian temani saja tanpa berkomentar sedikitpun itu akan lebih baik.

Awalnya aku tidak berharap apapun dari tulisan ini tapi aku harap ada sesuatu yang dapat dipetik dari konsep perpisahan dan menghargai. Aku juga berharap tidak ada lagi yang menyesal akan hal ini, biar aku saja yang merasakannya.

Setelah aku pikir tulisan ini sudah rampung, ternyata hati lembut ini sedikit tergelitik dengan satu kejadian yang aku belum pernah rasakan. Dan mulai bertanya lagi apa benar konsep sebelumnya bisa dipakai?. Sepertinya kali ini aku merasakan kehilangan yang bahkan wujudnya masih ada, sangat teramat sangat menyedihkan.

Baru saja terjadi beberapa hari yang lalu, masih hangat dan teringat jelas dalam pikiran. Aku tidak bisa menunjuk siapa pelaku yang salah dalam kejadian ini. Sudah penasaran? Sepertinya kejadian ini agak sedikit berat, jadi simak baik-baik dan seksama ya. Aku akan ceritakan secara detail dari awal aku memergoki orang terdekat di keluargaku yaitu iya saudaraku, sebelum kalian mulai jengkel begini kisahnya.

Aku mendapati sebuah status yang berisikan curahan hati yang dirasakan saudaraku yang isinya tulisan ‘ayo jadi yatim’ disambut dengan tulisannya yang dia tambahkan seperti menyetujui dan menginginkan untuk menjadi yatim. Lantas saja aku langsung otomatis menjawab status itu dengan rasa kesal dan amarah, saat itu hanya kecewa yang aku rasakan. Tapi aku sadar dia bisa melakukan hal itu pasti ada penyebabnya, tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya.

Kenapa aku bisa semarah itu? Apa aku kurang cukup untuknya untuk dijadikan konsep bersyukur. Mariku perjelas saudaraku itu memang memiliki keluarga yang kurang harmonis dan kurang bisa saling jujur satu sama lain untuk mengungkapkan perasaannya, tapi menginginkan agar dirinya menjadi yatim itu sangat berlebihan dan aku tidak segan untuk membantunya keluar dari perasaan itu. Ketika aku berbicara dengan ibunya agar ikut membantu menyelesaikan ini, ibunya ikut menyesali perbuatan anaknya dan menyadari bahwa yang dilakukan anaknya itu sebagai bentuk membela ibunya saat berselisih paham dengan suaminya.

Ahhh, aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kesedihan ini. Banyak sekali tambahan pelajaran setiap harinya yang harus aku pecahkan. Semoga memang ini akan menjadi jembatan untuk menjadi aku yang lebih baik dan kuat lagi, sejauh ini ceritanya akan selesai sampai di sini dulu. Aku akan lanjutkan nanti dengan versi terbaru lainnya, sebagai aku yang lebih mahir menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup tanpa harus menangis. Doakan aku kuat ya, dan tidak menyerah pada keadaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun