Duttaphrynus melanostictus, atau umumnya disebut masyarakat lokal sebagai Kodok Buduk, merupakan spesies kodok yang umum ditemukan di wilayah Asia. Biasanya, spesies ini banyak dijumpai di wilayah perkotaan atau wilayah yang dekat dengan manusia.Â
Ciri khas yang paling menonjol adalah kulitnya yang dipenuhi bontol-bontol dan bertekstur kasar, sehingga tidak banyak masyarakat yang mau memegang hewan satu ini---bahkan banyak diantaranya yang merasa 'geli'. Seolah tampak morfologinya saja tidak cukup membuat keberadaannya tidak disukai bagi manusia, persebarannya yang sangat luas serta daya tahan hidupnya yang tinggi membuatnya juga berpotensi menjadi ancaman bagi spesies lain, terutama di luar wilayah spesies ini berasal.
Dalam lingkup Asia, persebaran asli dari spesies ini sangat luas, diantaranya Pakistan, Nepal, Bangladesh, India, Sri Lanka, Cina Selatan, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Kambodia, Malaysia, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Pulau Natuna). Di Indonesia, spesies ini telah terintroduksi ke beberapa daerah, seperti Bali, Sulawesi, Ambon, Manokwari, Maluku, dan Papua.
Pada negara kepulauan, terintroduksinya suatu spesies ke daerah lain dengan laut sebagai barrier akan membutuhkan suatu 'media' untuk berpindah, khususnya bagi spesies amfibi yang sensitif. Oleh karena itu, peran manusia dan aktivitasnya berperan besar dalam terjadinya fenomena ini.Â
Reilly et al. (2017) mencatat bahwa terintroduksinya spesies ini ke Bali yaitu pada tahun 1957 dan ke Sulawesi pada tahun 1974, kemudian setelahnya menyebar ke wilayah Wallacea lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa introduksi tersebut terjadi setelah teknologi transportasi laut di Indonesia semakin maju, hasil pengenalan dari Belanda pada era kolonialisme di Indonesia.
Namun, berpindahnya suatu spesies tidak berarti bahwa spesies tersebut dapat pasti bertahan hidup pada habitat barunya. Maka, naturalisasi hanya dapat terjadi apabila spesies tersebut mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan barunya dan berkembang biak. Inilah yang nantinya akan menjadi 'spesies-alien'.Â
Sementara, apabila spesies-alien tersebut ternyata mampu menyebabkan spesies asli di wilayah tersebut menjadi 'terdesak' dan tidak mampu berkompetisi yang menyebabkan penurunan populasi mereka, maka spesies tersebut akan menjadi 'spesies alien-invasif'.
 Sodhi et al. (2004) dalam Reilly et al. (2017) menyatakan, spesies alien-invasif ini menyebabkan ancaman semakin bertambah pada keanekaragaman hayati di area Wallacea dengan endemisitasnya yang tinggi, yang mana saat ini sedang menghadapi pula ancaman dari deforestasi, konversi lahan hutan, kebakaran, perburuan, dan masih banyak lagi tekanan lainnya. Â
Tidak hanya sampai disitu, menurut Guarino et al. (2023), Kodok Buduk ini juga ditemukan di Madagaskar, diketahui terintroduksi diantara tahun 2007 dan 2010. Measey et al. (2017) menyatakan spesies ini terbawa karena pengiriman kontainer. Keberadaan spesies ini di Madagaskar tentunya berbahaya bagi spesies asli di wilayah tersebut, apalagi Madagaskar merupakan wilayah dengan kekayaan jenis amfibi yang tinggi (Andreone et al. dalam Guarino et al., 2023).Â
Kodok Buduk yang memiliki kelenjar paratoid yang mensekresi racun membuat kebanyakan predator tidak dapat memangsa kodok ini, karena wilayah yang tidak terbiasa dengan adanya kodok beracun tidak resisten terhadap racun yang ada pada mangsanya. Bahkan, tanpa racun pun, predator bisa jadi tidak mengenali spesies yang baru muncul tersebut dan tidak mendeteksi mereka sebagai mangsa, sehingga populasinya dapat meningkat dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan spesies amfibi lokal 'kalah saing' dalam memperebutkan teritori dan sumber makanan yang ada, sehingga populasi amfibi lokal dapat menurun akibat keberadaan spesies ini.Â
Daya tahannya yang tinggi karena permukaan kulitnya yang relatif lebih tebal dibanding spesies amfibi lainnya membuat spesies ini tahan terhadap perubahan lingkungan asalkan kebutuhan makannya terpenuhi.