Mohon tunggu...
Nabilah Cw
Nabilah Cw Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Orang yang tertarik dengan dunia baru ;)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlunya Aturan Tidak Tertulis di Dalam Demokrasi

18 Juli 2019   08:38 Diperbarui: 18 Juli 2019   08:43 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang dipakai oleh mayoritas negara yang ada di dunia dan di anggap sebagai salah satu sistem pemerintahan yang terbaik yang di miliki saat ini, karena semuanya bisa berpatisipasi dari kalangan rakyat menengah bawah sampai ke menengah atas. 

Tentu sistem ini sangat bebas dan memiliki konstitusi di dalam mengatur jalannya demokrasi. Jika tidak ada konstitusi atau peraturan yang mengatur maka sistem ini dapat menimbulkan kekacauan, karena semuanya ingin mengutarakan pendapat dan ingin hak dan aspirasinya di dengar.

Tetapi apakah dengan konstitusi saja sudah cukup ??

Jawabannya BELUM

Terdapat beberapa hal yang harus di tambahkan yaitu aturan tidak tertulis, aturan ini meskipun tidak tertulis tetapi semua orang akan mentaati secara tidak sadar atau mengerti akan aturan ini. Di dalam buku "HOW DEMOCRASIES DIE" karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di tahun 2018. Menyatakan bahwa aturan tidak tertulis yang di perlukan yaitu Toleransi dan Menahan Diri. 

Di dalam buku ini menjabarkan tentang perjalanan demokrasi Amerika Serikat serta penyebab negara - negara lain yang sebelumnya demokrasi menjadi hancur atau berubah menjadi otoriter.

Dua hal ini sangat perlu karena dari toleransi yaitu adanya penekanan bahwa antar sesama pelaku politik harus bertoleransi dalam menerima pola pikir antar satu kelompok politik dengan kelompok lainnya. 

Contohnya di Amerika terdapat Partai Demokrat dan Republik, partai yang besar dan saling rival tetapi mereka saling menghargai. Terbukti dari beberapa contoh sejarah sebelumnya, mereka lebih mengutamakan kepentingan negara daripada kepentiingan politik masing - masing partai. 

Rival boleh saja, berbeda pandangan boleh saja TAPI ingat, tujuan rival yaitu agar adanya persaingan sehat untuk mencapai demokrasi yang baik dan tercapainya tujuan negara. Dengan adanya perbedaan pendapat maka kita dapat menemukan suatu solusi yang bermanfaat. Itulah di pemerintahan diperlukan oposisi sebagai pengingat pemerintahan atau sebagai pemberi saran demi kepentingan negara. Tetapi jika terlalu mementingkan pandangan kelompok sendiri itu juga tidak baik.

Saling toleransi yang baik akan menimbulkan sifat "menahan diri", sifat ini sangat baik terutama dalam menjaga kekondusifan dunia perpolitikan. Sifat menahan diri sangat perlu apabila jika ada suatu kebijakan yang kurang pantas bagi pemikiran suatu kelompok tertentu. Tetapi kebijakan tersebut paling terbaik di pemerintahan saat ini atau masyarakat, sehingga sifat ini sangat diperlukan. Bayangkan jika kita tetap ingin memaksakan pemikiran kelompok ?

Yang terjadi adalah adanya ketidak kondusifan di dalam demokrasi suatu negara atau pemerintahan, hal ini yang harus di hindari. Selain itu menahan diri juga berguna untuk menahan kita agar dapat memberikan kesempatan kepada orang lain di dalam demokrasi. Contohnya saja Konstitusi awal AS pada abad 19 dan 20 tidak dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya memiliki maksimal 2 perioden menjabat. 

Tetapi tidak ada Presiden dan Wakil Presiden pada saat itu yang ingin melebihi 2 periode, bahkan memberikan kesempatan kepada calon yang lain. Tentu saja pada zaman ini aturan tersebut telah di jelaskan lebih rinci.

Bayangkan apabila orang dahulu tidak menahan diri, mungkin saja AS bisa jadi negara otoriter jika menemukan pimpinan yang haus jabatan dan kekuasaan.

Terkait hal tersebut seharusnya 2 aturan tersebut harus di adopsi di negara kita, INDONESIA. Pemilu 2019 kemaren memang menyisakan kebencian di antara dua pihak dan menyebabkan situasi sempat tidak kondusif. Tetapi dengan adanya pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT seharusnya menjadi cambuk bagi masyarakat atau kelompok yang telah terpecah belah. 

Orang yang berjuang di Pemilu saja akhirnya mau legowo dan mau menerima, masa kita sebagai masyarakat yang secara tidak langsung tidak memiliki dampak yang besar tidak mau menerima?? terutama bagi para kelompok yang cenderung keras di dalam pemikirannya.

Oleh karena itu jadikan momentum di MRT menjadi momentum perekat bangsa kembali, oposisi PERLU tapi jadilah oposisi PEMBANGUN jangan menjadi oposisi penghancur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun