Mohon tunggu...
Nabila Dhiya
Nabila Dhiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif Teknologi Pendidikan angkatan 2024 Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta

Saya adalah seorang mahasiswa jurusan Teknologi Pendidikan angkatan 2024 Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta, hobi saya memasak dan melukis, saya adalah orang yang kreatif dan suka mencoba hal-hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tren Boneka Labubu: Kesenangan atau Ancaman bagi Generasi Muda Indonesia?

23 September 2024   19:00 Diperbarui: 23 September 2024   19:21 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, media sosial dihebohkan oleh kemunculan boneka viral bernama Labubu. Popularitasnya tidak hanya terbatas di dunia maya, tetapi juga meluas ke kehidupan nyata, di mana para penggemar Labubu terlihat antusias menyambut karakter unik ini. Namun, apa sebenarnya Labubu?

Apa itu Labubu?

Awalnya, Labubu merupakan bagian dari serangkaian karya seni patung yang dibuat terbatas untuk pameran yang diciptakan oleh seniman asal Hong Kong, Kasing Lung pada tahun 2015. Karakter ini mulai diproduksi tahun 2019 secara lebih luas dalam bentuk mainan koleksi oleh Pop Mart, perusahaan mainan asal China yang terkenal dengan produk blind box.

Labubu semakin menarik perhatian global setelah Lisa Blackpink, mengunggah foto Labubu miliknya di Instagram pada April 2024. Sejak saat itu, Labubu menjadi salah satu karakter andalan Pop Mart dan menarik perhatian para kolektor di seluruh dunia.

Tidak hanya sebagai barang koleksi, Labubu juga mencerminkan fenomena yang lebih dalam terkait perilaku konsumerisme dan dampak sosial-budaya. Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis dampak dari tren Labubu terhadap generasi muda di Indonesia serta bagaimana kita dapat menyikapi fenomena ini secara bijak, khususnya menggunakan pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).

Dampak Negatif Tren Boneka Labubu terhadap Generasi Muda Indonesia

Konsumerisme : Tren boneka Labubu ini  telah menumbuhkan perilaku konsumsi berlebihan (overconsumption) di berbagai kalangan. Popularitasnya di platform seperti Instagram dan TikTok membuat pengguna memamerkan koleksi mereka maupun berbagi pengalaman unboxing, yang menciptakan kompetisi para penonton maupun kolektor mainan tersebut. 

Selain itu, konsep blind box yang diterapkan oleh Pop Mart membuat konsumen semakin terdorong untuk membeli lebih banyak produk, banyak orang terjebak dalam siklus membeli barang yang dianggap "harus dimiliki" demi meningkatkan status sosial. 

Hal ini dapat menyebabkan pemborosan dan ketidakpuasan, karena kepuasan yang didapat dari kepemilikan materi sering kali bersifat sementara. Selain itu, memiliki barang-barang populer dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu sekitar yang lebih penting.

Fear of Missing Out (FOMO) dan Kesehatan Mental : FOMO adalah rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya. Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik (Ellynda, 2021). 

Generasi yang terpengaruh oleh tren ini sering merasa harus selalu "up-to-date", mereka cenderung mengabaikan kebutuhan dan keinginan pribadi agar tidak ketinggalan dari teman-temannya. Stres, kecemasan, bahkan depresi yang muncul akibat tidak mampu mengikuti tren atau ketika merasa bahwa mereka kurang berharga tanpa memiliki barang-barang populer seperti Labubu dapat berdampak buruk pada kesehatan mental individu tersebut.

Konflik Sosial dan Kesenjangan Ekonomi : Labubu juga memicu konflik sosial, khususnya ketika terjadi antrean panjang dan kericuhan dalam upaya mendapatkan boneka ini. Selain itu, tren ini menciptakan kesenjangan ekonomi antara individu yang mampu mengikuti tren dengan yang tidak. Mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk membeli Labubu mungkin merasa tersisih dari pergaulan sosial. Hal ini tidak sejalan dengan nilai-nilai kesetaraan dan persatuan yang dijunjung dalam Pancasila, di mana setiap warga negara, tanpa memandang status ekonomi, berhak dihargai dan diperlakukan dengan adil.

Pengaruh Budaya Luar dan Penurunan Apresiasi terhadap Produk Lokal : Sebagai produk luar negeri, boneka juga mempengaruhi pola konsumsi berbagai kalangan di Indonesia terhadap produk luar yang sering kali dianggap lebih prestisius. 

Tren ini berpotensi menurunkan apresiasi terhadap produk lokal, yang sebenarnya memiliki nilai seni dan budaya yang tinggi. Jika hal ini terus berlanjut, generasi muda di Indonesia bisa menjadi lebih tergantung pada budaya luar, sementara identitas budaya lokal semakin terpinggirkan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis semangat nasionalisme dan kebanggaan terhadap warisan budaya Indonesia.

Solusi yang Dapat Kita Lakukan sebagai Generasi Muda di Indonesia

Dari perspektif Pendidikan Kewarganegaraan, tren Labubu memberikan tantangan besar bagi remaja Indonesia dalam menjaga identitas nasional dan bersikap sebagai warga negara yang bijak. Pentingnya memiliki rasa cinta tanah air, mendukung industri lokal, dan menjaga persatuan serta kesetaraan sosial. Dalam menghadapi tren global, kita sebagai generasi muda Indonesia perlu bersikap kritis dan mengutamakan nilai-nilai kewarganegaraan sebagai berikut:

Meningkatkan Apresiasi terhadap Produk Lokal : Generasi muda Indonesia perlu didorong untuk lebih menghargai dan mendukung produk-produk lokal, bukan hanya membeli barang buatan dalam negeri, tetapi juga menunjukkan kebanggaan terhadap kekayaan budaya dan kreativitas bangsa. Dengan mendukung produk lokal, kita sudah turut berperan dalam memperkuat perekonomian nasional dan menjaga identitas bangsa.

Berpikir Kritis dan Bijak dalam Konsumsi : Generasi muda Indonesia perlu belajar menilai kebutuhan secara realistis dan tidak terbawa arus tren konsumtif yang berlebihan. Dengan berpikir kritis, kita dapat menolak tekanan sosial untuk selalu mengikuti tren dan lebih fokus pada pengembangan diri yang positif.

Menjaga Solidaritas dan Persatuan Sosial : Pancasila mengajarkan pentingnya menjaga persatuan dan kesetaraan sosial di masyarakat. Kita memahami bahwa barang-barang materi seperti boneka Labubu tidak boleh menjadi tolak ukur nilai sosial. Sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan dalam kemampuan finansial harus dijunjung tinggi, sehingga tren ini tidak menjadi pemicu perpecahan sosial di berbagai kalangan.

Menyeimbangkan Pengaruh Budaya Global dan Lokal : Kita sebagai generasi muda Indonesia harus mampu menyeimbangkan pengaruh budaya luar dengan tetap menjaga identitas budaya lokal. Menghargai budaya global bukan berarti kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Sikap terbuka terhadap budaya luar harus diimbangi dengan memilah mana yang baik dan mana yang buruk serta meningkatkan rasa kebanggaan terhadap budaya dan produk lokal.

Fenomena boneka Labubu yang sedang viral di Indonesia membawa berbagai dampak, baik dari segi konsumerisme, kesehatan mental, maupun identitas budaya. Melalui perspektif Pendidikan Kewarganegaraan, tren ini dapat disikapi dengan cara yang lebih bijak.

Dalam menghadapi fenomena global seperti Labubu, generasi muda Indonesia perlu bersikap kritis dan mengutamakan nilai-nilai kewarganegaraan. Kita harus meningkatkan apresiasi terhadap produk lokal, berpikir kritis dalam konsumsi, menjaga persatuan sosial, dan menyeimbangkan pengaruh budaya global dengan budaya lokal.

Dengan demikian, kita sebagai generasi muda di Indonesia tidak hanya menjadi konsumen yang cerdas, tetapi juga warga negara yang bertanggung jawab dan mencintai bangsanya sendiri. 

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menyadari dampak dari tren-tren global dan berusaha untuk mengembangkan sikap yang lebih bijak dalam menghadapinya. Dengan cara ini, kita dapat menjaga keseimbangan antara keinginan untuk beradaptasi dengan perubahan global dan kebutuhan untuk tetap menjaga identitas nasional dan nilai-nilai kewarganegaraan yang kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun