Ima menceritakan pada ibunya tentang apa yang terjadi padaku saat-saat kalutku kemarin. Sebelumnya ibunya pun juga menanyakan tentang bagaimana kabarku. Setelah bercerita, ibunya berpesan untukku lewat ima, “bekerja itu yang penting nyaman. Jika ada anggota keluarga yang down, harus dibesarkan hatinya dan didukung karena yang kita punyai adalah keluarga.” . bahkan ibunya juga bilang bahwa ima harus menemaniku dikala down dan jangan sampai aku mengalami stress lagi.
Mengapa aku selalu merasa bahwa rumput tetangga lebih hijau? Mengapa aku malah merasakan mendapat rasa kasih sayang bukan dari keluarga sendiri tapi malah dari orang lain? Sungguh aku sangat iri dengan mereka yang jika terjadi suatu hal pasti larinya langsung ke ibu. Meminta perlindungan dan dukungan. Aku tahu, tidak ada ibu yang sempurna. Hanya mereka saja yang beruntung mendapatkan tokoh ibu yang seperti ibunya ima.
Aku sadar bahwa saat ini sedang mengalami fase gagalku. Gagal karena aku tidak bisa melanjutkan perjalananku dan memutuskan untuk berhenti dipersimpangan jalan. Sempat merasa bahwa hidupku tidak berarti, ingin rasanya mengakhiri. iya kalo sekali percobaan langsung mati? Kalo sekaratnya lama gimana? Pikiran bodoh selalu berdialog. Aku tidak ingin mati dan masih ingin untuk melanjutkan hidup meski tidak berguna.
Dari perjalananku kemarin ini benar-benar mendapat hikmah bahwa aku harus berdiri tegak diatas kakiku sendiri. Aku harus memilih jalanku sendiri tanpa ada campur orang lain didalamnya. Aku tahu keputusanku tidak sepenuhnya benar. Tapi aku paham bahwa disetiap jalan yang aku lalui pasti ada campur tangan Tuhan didalamnya yang tidak bisa terhindarkan. Mulai dari sini, aku jadi mengerti orang-orang yang tulus disaat naik turun hidupku dan orang-orang yang datang saat aku sedang bahagia saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H