Mohon tunggu...
Nabila Afira Quraina
Nabila Afira Quraina Mohon Tunggu... Konsultan - Female

bebas menulis sesuai dengan ide, pengalaman, dan gaya bahasaku

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berhenti di Persimpangan Jalan

16 Desember 2021   12:42 Diperbarui: 16 Desember 2021   12:47 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu belakangan hidupku semakin tidak karuan. Entah ada saja cobaan yang datang menghampiriku. Mulai dari masalah finansialku, keluarga, hingga masalah hubungan pertemanan. Hal itu benar-benar mengusik dan aku rasa tidak bisa mengabaikannya. Aku tahu bahwa hidup harus menuju pada pemikiran bagaimana ke depannya. Tetapi, jangankan untuk berani bermimpi mengejar impianku lagi, untuk keluar kamar saja rasanya sudah tidak sanggup.

                Aku pernah gagal di persimpangan jalan. Terlebih lagi mengecewakan banyak pihak. Mulai dari pak aryo si mantan bosku yang sangat baik hati, mbak putri, dan mbak jane. Aku tahu mereka sangat kecewa dengan keputusanku waktu itu. Terlebih pertemuan singkat dengan mereka yang membuatku kalut dan tidak percaya diri lagi untuk melamar pekerjaan hingga saat ini. Aku merasa down dan tidak ada satu pun yang menguatkan aku. Aku sendirian dan lelah.

                Pada waktu tersebut berlangsung, aku selalu berdoa agar mereka, ibu kos dan juga mbak ana selalu bahagia dan dalam lindungan Tuhan. Mereka yang aku sebutkan ini adalah para penenang dan penolongku saat merantau di kota orang. Meski pertemuan singkat, meski aku harus berbohong untuk memutus rantai gossip diantara mereka, aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang baik. Aku sampai tidak bisa membalas budi atas kebaikan mereka.

                Juga mbak maratus yang selalu mensupport pada saat aku mencari pekerjaan. Dia yang selalu mengutamakan aku untuk mengirim info-info tersebut. Tetapi pada akhirnya aku menyakitinya juga. Hingga saat ini aku rasa mungkin karena saking kecewanya terhadapku, story WA nya sudah tidak pernah muncul lagi. Apakah nomorku dihapus? Di hide? Atau diblokir bahkan? Aku tidak tahu. Yang pasti, setelah aku pamit waktu itu rasanya hubungan kita selesai.

                Akhirnya aku pulang dengan membawa banyak kekecewaan. Aku dijemput oleh bapak waktu itu. Bapak selalu mendukungku apapun yang terjadi dan mengerti kondisiku. Tetapi yang membuatku sangat sesak karena ibu tidak mau tahu apa yang sudah kualami selama disana. Aku rasa ibuku hanya menuntut dan menuntut. Apakah beliau malu karena sudah terlanjur menceritakan ke orang-orang? Aku tidak peduli akan hal itu karena  “siapa suruh menceritakan ke orang-orang?”

                Aku paling tidak suka dengan sikap ibu yang seperti itu. Aku sangat paham bahwa tidak ada orang tua yang tidak bangga dengan anaknya telah bekerja disebuah perusahaan ternama. Tetapi sungguh, bagiku sikap ibu waktu sebelum berangkat kemarin terlalu berlebihan sekali dan aku sangat malu apabila ibu sudah berkata. Jika bercerita pasti dengan nada menyombongkan diri. Makanya, aku tidak begitu dekat dengan ibu karena aku tahu bagaimana karakternya.

                Aku ingin menjadi anak yang low profile dan tidak suka membangga-banggakan atas suatu pencapaian. Apalagi baru saja awal pencapaian, bahkan yang kemarin belum menjadi apa-apa. Aku tidak ingin segala sesuatu yang terjadi padaku diceritakan dan orang lain mengetahuinya. Mungkin saja hal yang terjadi padaku kemarin bisa jadi kena penyakit ain karena ada seseorang yang iri dengan apa yang ibu sombongkan terhadapku kemarin. Aku tidak suka dengan sikap ibu yang seperti itu.

Makanya, semenjak kejadian itu terjadi aku memutuskan untuk lebih tertutup lagi dan tidak ingin menceritakan apapun ke orang tuaku. Selain aku lelah karena mengecewakan mereka, aku juga lelah jika ada orang lain yang iri dan berakhir merusak diriku sendiri. Kadang lidah memang tajam, susah untuk dikontrol karena dapat membuat orang lain iri bahkan sakit hati. So that’s why, dari karakter ibu aku belajar untuk tidak ingin menjadi seseorang yang seperti itu.

Tidak pernah sekalipun aku bermaksud untuk menjelek-jelekkan tokoh ibu disini. Tetapi itulah yang aku rasakan bahkan hingga detik ini. Ada saja kelemahan-kelemahan ibu yang membuatku juga semakin down. Aku paham bahwa aku juga belum menjadi anak yang baik untuk mereka. Dikala mungkin anak-anak tetangga sudah pada sukses dan menikah, bagi ibu mungkin aku jalan ditempat. Tidak pernah berubah maupun beranjak. Umurku sudah matang dan aku belum menjadi apa-apa.

Aku sangat iri dengan salah satu temanku namanya ima yang bahkan ngefans dengan sosok ibunya sendiri. Bayangkan! Bisa mengidolakan ibu sendiri rasanya seperti apa ya? Karena aku pun juga tahu, ibunya ima itu seperti rumah dan pelindung. Mungkin karena aku juga teman lamanya ima, ibunya sudah menganggapku seperti anak sendiri. Bahkan aku rasa, ima bisa sukses karirnya karena dukungan ibunya. Aku paham, kesuksesan kadang berawal dari doa dan dukungan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun