Beberapa waktu yang lalu media sosial sempat dihebohkan dengan kasus psikolog abal-abal. Masih ingatkah kalian tentang kasus tersebut? Kalau tidak salah ingat kejadiannya sekitar awal tahun 2020 kemarin. Dalam kasus itu disebutkan bahwa pelaku memperlakukan client secara tidak pantas, baik secara verbal maupun non-verbal. Kalau bahasa kasarnya ia melakukan aktivitas pelecehan seksual terhadap pasien. Aku tidak mengerti bagaimana dengan kelanjutan kasus itu. Apakah psikolog itu difitnah atau memang benar faktanya demikian, wallahualam.
Sebenarnya aku tidak peduli dengan psikolog itu. Apakah dia mau menipu atau memang sedang kena apes karena difitnah dan dibesarkan kasusnya oleh seorang selebgram terkenal, aku benar-benar tidak peduli. Hanya saja sangat menyayangkan bila fakta itu benar adanya, jelas akan berdampak pada reputasi seorang psikolog dan psikiater. Pasien datang dalam keadaan jiwanya tergoncang, bukannya diobati lukanya tapi malah menambah trauma batin yang begitu mendalam. Trauma batin berupa pelecehan seksual, terutama bagi seorang wanita.
Ah,.. cukup, aku tidak ingin membahas hal ini lebih lanjut. Dua paragraf sudah aku bahas tentang kasus itu. Bukan kasus itu yang ingin aku bahas di tulisanku kali ini. Tetapi kutipan dari seorang psikolog itu yang ingin aku bahas. Tulisannya benar-benar mengandung fakta yang sedang terjadi dikehidupanku. Bisa dikatakan jiwaku memang tergoncang dan apa yang dikatakan dalam kutipannya itu adalah hasil dari apa yang aku alami saat ini. Kutipan itu memberi kesimpulan bahwa ilmu parenting memang penting. Baik, mari simak.
“orang yang sulit menghargai perasaan orang lain adalah karena di masa kecil orang tuanya tidak tau atau jarang menghargai perasaannya. Jarang banget ada orang tua yang bisa ajak ngobrol ke anaknya, ‘nak kamu kesel ya sama mama/papa? Cerita aja gpp papa/mama mau denger’. Orang tua yang begitu mudahnya marah pada anaknya tanpa pernah mau mendengarkan dulu pembelaan dan alasan dari anaknya berkemungkinan membuat anaknya itu akan tumbuh jadi orang yang mudah marah pada siapapun juga.” – DS
“ada anak menjadi malas belajar itu karena luka batin pada orang tua. Rasa berharga yang hilang membuat seseorang tidak lagi rajin. Lalu mendapat laporan dari guru bahwa anaknya malas. Orang tua marah-marah lagi. Kasian loh anak ini luka batinnya dua kali. Padahal dia menjadi malas juga karena orang tua, ketika menjadi malas malah dihakimi lagi. Mengapa banyak anak tidak lagi dekat sama orang tua? Karena orang tua dipersepsikan sebagai hakim/polisi” – DS
“setelah anak dimarahi secara berlebihan di batin terdalamnya ada pertanyaan ‘papa/mama sebenarnya masih menginginkan aku nggak ya?’. Makanya setelah memarahi, sebelum tidur orang tua harus memohon maaf dan mengucapkan pernyataan sayang. Gengsi melakukan ini? gengsimu kamu anggap lebih mahal dari kejiwaannya yang akan terluka dan juga sulit memohon maaf pada orang lain di masa dwasanya. Ketika anak tidak lagi merasa diinginkan, nggak heran semua nasehatmu dia tidak mau mendengarkan lagi.” – DS
Mohon maaf sekali aku tidak bisa mencantumkan nama aslinya tetapi hanya mencantumkan nama inisial saja. Bukan berarti aku ingin mengungkap kasus tentang bapak psikolog ini, bukan. Justru dari kutipan-kutipan beliau lah yang membuatku semakin sadar bahwa ternyata ada loh seseorang yang memahami perasaanku walaupun secara tidak langsung. Dari tiga kutipan itu aku mengangguk setuju dan membenarkan semua karena itulah yang terjadi padaku.
Mengesampingkan soal kasusnya, tiga kutipan tersebut benar-benar membuatku terkesan. Memang benar aku merasakan hal itu. Orang tuaku, terutama ibu yang lebih dominan dalam mendidik aku dan adik semasa kami kecil. Ibuku adalah seorang yang periang dan gampang berbaur dalam masyarakat, tetapi jika dirumah sendiri ibu menggunakan watak yang sesungguhnya. Watak yang jika marah beliau akan menggunakan kata-kata kasar dan tak layak untuk kami dengar di usia belia. Pernah suatu ketika aku tertawa saat menonton tv jika tidak salah ingat, tiba-tiba ibuku marah tanpa sebab dan menyebut tertawaku seperti seorang pelacur.
Itu terjadi ketika usiaku 9 tahun saat duduk dibangku kelas 3 SD. Aku dikatakan seorang pelacur. Jangankan kaget, aku bahkan tidak tau arti pelacur itu apa. Pelacur itu siapa dan mengapa ibu menyebutku ‘wanita jalang’ setelah beberapa tahun aku mengerti maknanya. Kata-kata itu membekas dan tidak akan pernah terlupakan dalam hidupku hingga kini. Bila diulas kembali, kok kasihan sekali ya aku dimasa lalu sampai dikatakan pelacur seperti itu. Selain itu, ibu juga hobi sekali memarahi aku dan adik karena ulah kami yang sering bertengkar.
Pertengkaran yang terjadi diantara 2 anak kecil yang sama-sama belum baligh, bukankah masih dikatakan wajar? Toh kami juga tidak rebutan minuman keras ataupun merokok loh. Paling sering yang kami lakukan adalah berebut remote tv, handphone, dan selimut. Itu pun pada akhirnya aku yang mengalah untuk adikku. Dilain sisi, ketika ibu memarahi kami saat bertengkar tidak jarang kami mendapatkan kekerasan fisik. Mungkin kalau orang dulu menganggap hal itu adalah hal biasa. Tapi kalau sekarang, sudah sah dapat dilaporkan ke polisi atas kasus penganiayaan anak.
Seiring berjalannya waktu, kami tumbuh dan berkembang diiringi dengan kekerasan fisik dan kata-kata kasar orang tua kami. Ketika kami beranjak remaja, ibu sudah jarang memukul kami. Katanya kami sudah besar, bukan saatnya lagi untuk diberi kekerasan secara fisik. Pada akhrinya lambat laun aku mulai menyadari sedikit demi sedikit tentang kesimpulan cara orang tuaku dalam mendidik aku dan adik. Mulai tersadar mengapa aku memiliki sifat rebel seperti ini sedangkan teman-temanku di sekolah tidak memiliki sifat rebel sepertiku.
Aku mulai terus mencari dengan cara survey secara tidak sengaja dari waktu ke waktu. Misalnya seperti saat main ke rumah teman-teman. Aku dijamu dengan baik oleh orang tua dari masing-masing temanku. Mereka memperlakukan baik dengan caranya masing-masing. Ada yang menggunakan bahasa halus, ada yang ngobrol dengan canda tawa, ada juga yang cuek tapi peduli. Tidak hanya sampai situ saja, mendengar dari cerita teman-teman soal ibu mereka dapat juga ditarik sebuah kesimpulan. Survey ini benar-benar tidak sengaja awalnya. Ternyata dari sampel ke sampel menghasilkan kesimpulan dan opini sesuai versiku.
Ada saat dimana aku iri, kok orang tua si A lembut sekali nada bicaranya dan santun sehingga menghasilkan anak yang santun pula. Ada juga orang tua si B ceria sekali dan sering tertawa bareng anaknya sehingga menghasilakn anak yang menyenangkan dan sering sekali tertawa seolah-olah dunia ini hanya guyonan. Ada juga orang tua si C yang pendiam dan jarang berbicara, menghasilkan anak yang pendiam dan tidak banyak tingkah juga. Begitu seterusnya. Mungkin tidak 100% benar, tetapi karakter anak dibentuk dari dominan lingkungan terdekatnya bukan? Yaitu lingkungan keluarga termasuk orang tuanya.
Ada saat di mana aku iri dan cenderung menyalahkan diriku sendiri. Mengapa orang-orang disekitarku, baik perempuan ataupun laki-laki, mereka bercerita dengan bangganya tentang orang tua mereka. Ada saja hal-hal menyenangkan yang selau mereka ceritakan. Selain menyenangkan, motivasi pun turut menjadi langkah mereka untuk terus bergerak maju dalam tiap keputusan. Aku iri, sungguh mengapa aku tidak dapat merasakan apa yang mereka dapatkan. Aku iri, minder, seakan-akan sudah tak dibutuhkan lagi sebagai seorang anak. Selalu saja benak ini bertanya, “mengapa aku tidak dapat bercerita?”
Didikan dan bimbingan orang tuaku tidak sepenuhnya benar dan tidak semuanya salah. Tetapi, dari bimbingan dan didikan yang dominan keliru membuatku dan adik menjadi seorang yang pendiam. Kami sungguh memilih untuk menjaga jarak dengan orang tua kami. Awalnya aku tidak mengetahui mengapa kami berlaku demikian. Namun bila diulang lagi dari kisah dan pengalaman, perlakuan orang tua kami di masa lalu lah yang membuat luka kami membekas dan tak bisa sembuh.
Tak heran kami sering melakukan perlawanan diatas pilihan kami sendiri. Seperti contoh adikku lebih memilih setiap hari keluar rumah hanya demi membeli sebuah kenyamanan. Entah itu akan ada badai corona berkelanjutan, hujan, maupun petir, adikku tidak bisa untuk tidak berdiam diri di rumah walaupun hanya satu hari. Ia lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-teman diluar sana demi memuaskan dan menumpahkan rasa stresnya ketika di rumah.
Aku pun demikian. Tetapi aku masih bisa kontrol untuk keluar rumah karena genderku adalah perempuan. Ada kalanya aku akan pergi keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar, bersepeda, dan pergi ke rumah teman membahas soal bisnis. Namun dibalik itu semua, aku juga mendapatkan kelayakan dan kenyamanan ketika berada diluar rumah. Andai ibu dan bapak mengerti mengapa kami lebih memilih pergi daripada bertahan di rumah.
Tidak semua anak menemukan kenyamanan diluar rumah, ada juga segelintir anak yang memilih untuk berdiam diri di rumah, menghabiskan waktu bersama orang tuanya dibanding keluar hanya sekadar beli minuman bubble. Ya, aku tau waktu adalah emas yang sangat berharga. Sayangi orang sekitar ketika masih ada dan kamu akan merindukannya saat mereka tiada. Tetapi, bagaimana aku bisa menyayangi bila mereka sudah terbiasa membuat luka batin selama masa pertumbuhan hidup kami?
Dalam hidup, aku selalu mendengar kata cinta dan rasa kasih sayang untuk orang tua. Dalam soal ujian di mata pelajaran pun pernah ku tulis bagaimana cara mengasihi orang tua dengan baik. Namun sayangnya tulisan itu hanya sekadar tulisan belaka. Kenyataannya aku tidak pernah merasakan bagaimana dahsyatnya rasa cinta dan kasih sayang yang tulus. Mungkin aku pernah diberi, namun rasa cinta dan kasih sayang itu terkikis karena kekerasan verbal dan non verbal yang dilakukan oleh mereka di waktu lampau.
Bisa jadi aku salah satu anak yang sudah dikategorikan sebagai anak durhaka yang tidak pernah patuh terhadap mereka. Pintu neraka seakan sudah terbuka lebar untukku. Namun, aku tidak pernah berpikiran untuk menjadi anak durhaka. Siapa sih yang ingin masuk neraka? Tidak ada, bahkan untuk anak seukuran orang dewasa. Semua ingin menikmati surga. Namun bagaimana bila jalanku menuju surga tertutup oleh tembok kebencian, dendam dan api amarah yang tiada pernah padam? Bagaimana nasibku kelak?
Aku tiada niat untuk ingin dicap menjadi anak yang durhaka. Melanggar dan mengabaiakan apa yang seharusnya menjadi yang orang tuaku inginkan. Namun, menjadi anak rebel dan durhaka juga diluar kendaliku. Aku tak mampu mengontrol rasa dendamku pada mereka di waktu lampau. Satu hal yang membuatku merasa tersiksa di dunia ini adalah ketika aku tidak dapat memerdakakan diriku sendiri. Terlanjur sudah tali kebencian dan dendam berkecamuk di dalam hati.
Namun, dibalik ini semua aku dapat memetik pelajaran yang sangat penting. Sangat penting sekali untuk kehidupanku di masa depan dan juga untuk anak-anakku kelak. Aku harus mencari ilmu parenting supaya menjadi orang tua yang sekadar membuat anak, tetapi juga mencari cara bagaimana mendidik dan membimbing dengan benar. Yang jelas, aku tidak ingin anakku mendapatkan perlakuan yang sama seperti ibunya di waktu lampau. Yang jelas, anakku harus mendapatkan cinta dan kasih sayang tulus yang sesungguhnya dari kedua orang tuanya.
Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan.
Sekian,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H