Mohon tunggu...
Nabila Annuria
Nabila Annuria Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan swasta

menulis menuruti kata hati

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peringati Hari Lingkungan Hidup, Haruskah Kita Boikot Produk Perusak Lingkungan?

10 Januari 2025   17:13 Diperbarui: 10 Januari 2025   17:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gerakan Satu Juta Pohon (foto KOMPAS/SUCIPTO )

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Indonesia setiap 10 Januari menekankan edukasi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan demi masa depan yang lestari. Peringatan juga berbarengan dengan Hari Gerakan Satu Juta Pohon. Pada tahun 2025 peringatan ,mengetengahkan tema tema 'Muda Menanam untuk Masa Depan'. Sasaran yang ingin dituju melalui tema tersebut adalah peran generasi muda dalam upaya penghijauan dan pelestarian lingkungan.

Hari lingkungan hidup senantiasa dibayangi oleh masalah laten yang berupa beban sampah pangan yang sangat merusak lingkungan hidup. Perlu manajemen komunikasi pro lingkungan hidup yang berani, berwibawa dan efektif untuk mewujudkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Merujuk pada pengertian yang diberikan oleh The United Nations Commission on Sustainable Development (UNCSD) International Work Programme, perilaku pro lingkungan didefinisikan sebagai penggunaan layanan dan produk untuk memenuhi kebutuhan dasar dan membawa kualitas hidup yang lebih baik sambil meminimalkan penggunaan sumber daya alam dan bahan-bahan beracun serta emisi limbah dan polutan selama siklus hidup agar tidak membahayakan generasi mendatang.

Definisi perilaku lingkungan dapat dilihat dari dua perspektif yaitu impact oriented dan intent oriented. Perilaku pro lingkungan dalam perspektif impact oriented didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku tersebut mengubah ketersediaan bahan atau energi dari lingkungan atau mengubah struktur dan dinamika ekosistem atau biosfer itu sendiri. Contohnya penggundulan hutan dan membuang sampah rumah tangga sembarangan, yang berdampak langsung terhadap perubahan lingkungan.

Hari Lingkungan Hidup Indonesia sangat relevan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut. Mengatasi kebakaran di saat kemarau hampir-hampir tidak ada gunanya . Justru di musim hujan seperti pada saat ini harus dilakukan perencanaan water management agar lahan basah tetap basah di saat kemarau. Mengeringkan lahan basah sama saja membuka kotak pandora mengundang bencana besar bagi seluruh makhluk yang hidup di sana dan daerah sekitarnya.

Gerakan satu juta pohon pertama kali dicanangkan pada 10 Januari 1993 oleh Presiden Soeharto, gerakan ini mengajak masyarakat Indonesia untuk menanam pohon demi melawan pemanasan global dan menjaga ekosistem. Semangat ini semestinya terus dipelihara hingga kini, di mana masyarakat didorong untuk mulai menanam dan merawat pohon di lingkungan masing-masing.Hari Gerakan Sejuta Pohon merupakan sebuah inisiatif yang diluncurkan di Indonesia untuk mendorong penanaman pohon secara massal guna menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Hingga kini masyarakat masih prihatin terkait dengan penanganan masalah kabut asap oleh pemerintah daerah. Mitigasi pemerintah daerah (pemda) terkait dengan bencana kabut asap masih bermasalah. Akar persoalan kabut asap belum bisa diatasi lantaran masih gagalnya program untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pihak pemda tidak berdaya menanggulangi kebakaran lahan gambut yang menjadi penyebab utama bencana kabut asap.

Bencana kabut asap telah membangkitkan kesadaran konsumen untuk memboikot produk-produk yang terkait dengan penyebab terbakarnya hutan dan lahan gambut. Pencemaran udara berupa kabut asap telah membuat antipati warga dunia terhadap produk Indonesia. Seperti aksi yang pernah terjadi yakni boikot penjualan tisu oleh sejumlah peritel global seperti NTUC Fair Price, Prime Supermarket, Ikea, Unity Pharmacy dan Watol dan lain-lain, karena produk tersebut menjadi penyebab kebakaran hutan dan pembunuhan satwa.

Selain itu juga terjadi pencabutan atau pembatalan sertifikat hijau bagi produk Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak tegas dan serius mengatasi pembakaran hutan, maka produk yang diboikot bisa semakin meluas seperti produk mebel.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pemegang konsesi agro industri ternyata identik dengan pembakaran lahan gambut. Hasil audit enam lembaga pemerintah pernah menyatakan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kertas merupakan penyebab bencana asap. Penegakan hukum yang angin-anginan alias setengah hati membuat perusahaan tak jera membakar hutan.

Program mitigasi kabut asap oleh pemerintah daerah (pemda) sangat lemah dan terlalu menggantungkan kepada pemerintah pusat. Hal itu sangat ironis, karena sebenarnya enam provinsi yang kini memberlakukan darurat kabut asap sebenarnya adalah daerah kaya raya yang memiliki dana cukup untuk melakukan usaha mitigasi dengan metode yang andal.

Bencana kabut asap sebagian besar disebabkan oleh terbakarnya lahan gambut yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Perusakan lahan gambut yang sangat luas di negeri ini melahirkan kutukan yang menyengsarakan rakyat.

Akar penyelesaian darurat asap adalah mitigasi untuk penyelamatan lahan gambut yang setiap saat bisa terbakar hebat. Mitigasi tersebut melibatkan semua pihak, utamanya masyarakat lokal. Pemerintah daerah belum mampu mencegah perusakan ekosistem hutan gambut akibat perluasan perkebunan sawit dan bahan baku kertas. Hal itu tentunya akan melanggengkan bencana asap.

Mestinya bencana kabut asap bisa diantisipasi dengan metode mitigasi yang baik. Namun, sistem mitigasi untuk bencana di daerah masih amburadul. Kesiapan daerah untuk menghadapi bencana kabut asap masih sangat rapuh. Pemerintah daerah justru banyak menggantungkan pemerintah pusat dalam hal mitigasi maupun penanganan bencana.

Perlu program daerah yang kokoh dan sistemik dalam menghadapi bencana kabut asap. Secara regulatif sudah terdapat Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang itu dibuat agar negara bertanggung-jawab penuh melindungi segenap rakyat. Prinsip-prinsip dasar dalam penanggulangan bencana yang seharusnya bersifat cepat dan tepat, koordinasi dan keterpaduan, transparan dan akuntabel selama ini belum belum bisa diwujudkan oleh pemerintah daerah.

Mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana ternyata masih belum bisa diterapkan secara efektif oleh pemerintah daerah. Padahal kegiatan mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang termasuk eksistensi lahan gambut.

Perlu program terpadu antara pusat dan daerah untuk mengatasi akar masalah kabut asap akibat kutukan lahan gambut. Program tersebut antara lain usaha rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut tropika yang telah terdegradasi. Pada prinsipnya gambut yang basah menghambat terjadinya kebakaran.

Kini lahan gambut telah menjadi kotak pandora. Dalam ekosistem ada istilah wetland (lahan basah) dan peatland (lahan gambut) keduanya lahan basah, untuk dijadikan perkebunan. Debut air dikeluarkan dengan membangun kanal kanal pematus air. Celakanya untuk land clearing dilakukan pembakaran. Maka lahan gambut yang rongga-rongganya telah kehilangan air mudah terbakar. Kalau sudah begini , hanya hujan deras dan terus menerus yang bisa memadamkan kebakaran. Mengatasi kebakaran di saat kemarau hampir-hampir tidak ada gunanya . Justru di musim hujan harus dilakukan perencanaan water management agar lahan basah tetap basah di saat kemarau. Mengeringkan lahan basah sama saja membuka kotak pandora mengundang bencana besar bagi seluruh makhluk yang hidup di sana dan daerah sekitarnya.

Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20,6 juta hektar yang merupakan setengah dari luas lahan gambut di daerah tropika. Sayangnya belum ada kesungguhan dan program yang tepat untuk mengelola dan melestarikan gambut secara tepat dan bijaksana. Program restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi selama ini masih ala kadarnya. Hal itu terlihat dengan banyaknya drainase yang dibuat oleh pengusaha yang kurang memperhatikan prinsip ekologis. Adanya drainase tersebut melancarkan kasus pembalakan liar dan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Belum ada kesadaran bangsa untuk memahami fungsi ekologis hutan gambut. -NA-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun