Bencana kabut asap sebagian besar disebabkan oleh terbakarnya lahan gambut yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Perusakan lahan gambut yang sangat luas di negeri ini melahirkan kutukan yang menyengsarakan rakyat.
Akar penyelesaian darurat asap adalah mitigasi untuk penyelamatan lahan gambut yang setiap saat bisa terbakar hebat. Mitigasi tersebut melibatkan semua pihak, utamanya masyarakat lokal. Pemerintah daerah belum mampu mencegah perusakan ekosistem hutan gambut akibat perluasan perkebunan sawit dan bahan baku kertas. Hal itu tentunya akan melanggengkan bencana asap.
Mestinya bencana kabut asap bisa diantisipasi dengan metode mitigasi yang baik. Namun, sistem mitigasi untuk bencana di daerah masih amburadul. Kesiapan daerah untuk menghadapi bencana kabut asap masih sangat rapuh. Pemerintah daerah justru banyak menggantungkan pemerintah pusat dalam hal mitigasi maupun penanganan bencana.
Perlu program daerah yang kokoh dan sistemik dalam menghadapi bencana kabut asap. Secara regulatif sudah terdapat Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang itu dibuat agar negara bertanggung-jawab penuh melindungi segenap rakyat. Prinsip-prinsip dasar dalam penanggulangan bencana yang seharusnya bersifat cepat dan tepat, koordinasi dan keterpaduan, transparan dan akuntabel selama ini belum belum bisa diwujudkan oleh pemerintah daerah.
Mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana ternyata masih belum bisa diterapkan secara efektif oleh pemerintah daerah. Padahal kegiatan mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang termasuk eksistensi lahan gambut.
Perlu program terpadu antara pusat dan daerah untuk mengatasi akar masalah kabut asap akibat kutukan lahan gambut. Program tersebut antara lain usaha rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut tropika yang telah terdegradasi. Pada prinsipnya gambut yang basah menghambat terjadinya kebakaran.
Kini lahan gambut telah menjadi kotak pandora. Dalam ekosistem ada istilah wetland (lahan basah) dan peatland (lahan gambut) keduanya lahan basah, untuk dijadikan perkebunan. Debut air dikeluarkan dengan membangun kanal kanal pematus air. Celakanya untuk land clearing dilakukan pembakaran. Maka lahan gambut yang rongga-rongganya telah kehilangan air mudah terbakar. Kalau sudah begini , hanya hujan deras dan terus menerus yang bisa memadamkan kebakaran. Mengatasi kebakaran di saat kemarau hampir-hampir tidak ada gunanya . Justru di musim hujan harus dilakukan perencanaan water management agar lahan basah tetap basah di saat kemarau. Mengeringkan lahan basah sama saja membuka kotak pandora mengundang bencana besar bagi seluruh makhluk yang hidup di sana dan daerah sekitarnya.
Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 20,6 juta hektar yang merupakan setengah dari luas lahan gambut di daerah tropika. Sayangnya belum ada kesungguhan dan program yang tepat untuk mengelola dan melestarikan gambut secara tepat dan bijaksana. Program restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi selama ini masih ala kadarnya. Hal itu terlihat dengan banyaknya drainase yang dibuat oleh pengusaha yang kurang memperhatikan prinsip ekologis. Adanya drainase tersebut melancarkan kasus pembalakan liar dan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Belum ada kesadaran bangsa untuk memahami fungsi ekologis hutan gambut. -NA-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H