Mohon tunggu...
Nabila Indah Prilia
Nabila Indah Prilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010057

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak.,M.Si.,CIFM.,CIABV.,CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kebatinan Mangkunegara pada Upaya Pencegahan Korupsi dan Transformasi

27 November 2024   14:03 Diperbarui: 28 November 2024   12:59 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang Mangkunegara IV

Mangkunegara IV, yang hidup dari 1853 hingga 1881, adalah salah satu raja paling berpengaruh di Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta, Jawa Tengah. Banyak orang mengingat dia sebagai seorang pemimpin yang cerdas, visioner, dan reformis yang telah membawa banyak perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. 

Selama pemerintahannya, Mangkunegaran mengalami masa kejayaan yang luar biasa. Kebijakan progresif Kadipaten membantu memperkuat posisinya di tengah tekanan kolonial Belanda dan persaingan politik Jawa saat itu.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Mangkunegara IV memiliki nama asli Raden Mas Sudira. Ia lahir pada tahun 1811 di lingkungan bangsawan Mangkunegaran. Pendidikan beliau sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dan tradisi keraton, yang membentuk karakter dan pandangannya sebagai seorang pemimpin. 

Namun, berbeda dari banyak pemimpin pada masanya, Mangkunegara IV juga memiliki pandangan yang terbuka terhadap gagasan-gagasan modern yang berkembang, termasuk pengaruh Barat.

Pengaruh pendidikan tradisional dan modern ini terlihat dari kepiawaian Mangkunegara IV dalam memadukan nilai-nilai budaya Jawa dengan inovasi yang diperkenalkan Belanda. Ia menguasai seni kepemimpinan Jawa, termasuk diplomasi yang halus, strategi militer, serta tata kelola pemerintahan.

Pada tahun 1853, Mangkunegara IV diangkat sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran, menggantikan Mangkunegara III. Selama pemerintahannya, ia sangat berfokus pada pembangunan Mangkunegaran. Ini ditunjukkan oleh sejumlah kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat identitas budaya Jawa, dan memodernisasi ekonomi Kadipaten.

Reformasi ekonomi adalah pencapaian terbesar Mangkunegara IV. Ia menciptakan sistem pengelolaan tanah yang lebih efektif, terutama di bidang pertanian dan perkebunan. Mangkunegara IV memperkenalkan sistem tanam paksa yang diawasi secara langsung oleh Kadipaten, berbeda dengan sistem tanam paksa yang dimiliki pemerintah kolonial, yang seringkali berdampak negatif pada rakyat. 

Hasil perkebunan seperti kopi dan tebu digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti jalan baru dan irigasi. Ia juga memanfaatkan pendapatan ini untuk memperkuat militer Mangkunegaran, yang dikenal sebagai Legiun Mangkunegaran. Legiun ini tidak hanya menjadi simbol kekuatan Kadipaten tetapi juga alat untuk menjaga stabilitas dan keamanan di wilayahnya.

Di bidang sosial, Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Ia memprakarsai berbagai program yang bertujuan meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Misalnya, beliau mendirikan sekolah-sekolah dan mendukung pelestarian seni budaya Jawa.

Dalam budaya, Mangkunegara IV memegang peranan penting dalam melestarikan kesenian tradisional, terutama sastra, tari, dan musik. Salah satu karya sastra terkenal yang dihasilkan pada masa pemerintahannya adalah Serat Wedhatama. Karya ini berisi ajaran moral dan filsafat yang merefleksikan pandangan Mangkunegara IV tentang kehidupan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab seorang pemimpin.

Hubungan dengan Kolonial Belanda

Mangkunegara IV memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintah kolonial Belanda. Di satu sisi, ia bekerja sama dengan mereka untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi di Jawa. Namun, di sisi lain, ia juga berupaya mempertahankan otonomi Kadipaten Mangkunegaran. Strateginya yang cerdik dalam menghadapi Belanda membantunya mempertahankan kedaulatan Mangkunegaran di tengah tekanan kolonial.

Warisan dan Pengaruh

Mangkunegara IV meninggalkan warisan yang signifikan bagi Mangkunegaran dan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Kebijakan-kebijakan progresifnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya tidak hanya memperkuat Kadipaten tetapi juga memberikan teladan kepemimpinan yang berwawasan luas. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang berhasil menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernisasi.

Setelah wafat pada tahun 1881, Mangkunegara IV dikenang sebagai pemimpin yang berjasa besar dalam mengangkat reputasi Mangkunegaran di kancah lokal dan kolonial. Karyanya, seperti Serat Wedhatama, tetap dihormati hingga kini sebagai salah satu warisan sastra dan budaya Jawa yang tak ternilai.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 

Kepemimpinan Raos Gesang (menguasai rasa hidup) dari KGPAA Mangkunegara IV mencerminkan nilai-nilai luhur yang mengakar pada filosofi Jawa. Nilai-nilai ini diterapkan dalam gaya kepemimpinannya yang inovatif, visioner, dan berpusat pada kebijaksanaan dalam bertindak. Empat kategori utama dalam Raos Gesang dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa > Filosofi ini mengajarkan pentingnya memiliki kesadaran diri dan empati terhadap orang lain. Bisa rumangsa berarti seorang pemimpin harus peka terhadap kebutuhan, perasaan, dan situasi orang lain. Mangkunegara IV menunjukkan hal ini melalui perhatiannya yang besar terhadap rakyatnya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Sebaliknya, ojo rumangsa bisa mengingatkan agar seorang pemimpin tidak merasa sombong atau merasa dirinya paling hebat. Nilai ini mendorong sikap rendah hati dan pengakuan bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada dirinya, melainkan juga pada kerja sama dan dukungan dari orang lain.
  • Angrasa Wani > Kepemimpinan Mangkunegara IV juga ditandai oleh keberaniannya dalam mengambil langkah besar, meskipun menghadapi risiko. Angrasa wani berarti keberanian untuk mencoba hal baru, berinovasi, dan menerima konsekuensi dari setiap tindakan. Mangkunegara IV memperlihatkan keberanian ini melalui reformasi ekonomi dengan membangun perkebunan dan pabrik gula yang mengangkat perekonomian Mangkunegaran. Ia juga mendorong pembaruan dalam bidang pendidikan dan kesenian, meskipun inovasi ini pada zamannya mungkin dianggap tidak konvensional.
  • Angrasa Kleru > Sebagai seorang pemimpin yang ksatria, Mangkunegara IV tidak ragu untuk mengakui kesalahan atau kekeliruan dalam keputusan yang diambilnya. Angrasa kleru menekankan pentingnya kerendahan hati dalam menghadapi kegagalan dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri. Kemampuan untuk mengakui kekurangan ini menunjukkan integritas seorang pemimpin dan membuatnya lebih dihormati oleh rakyatnya. Nilai ini juga mencerminkan transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.
  • Bener Tur Pener > Dalam filosofi Jawa, bener berarti bertindak sesuai dengan prinsip kebenaran, sedangkan pener berarti bertindak sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana karena mampu mengombinasikan keduanya. Ia tidak hanya berpegang pada nilai-nilai moral yang benar, tetapi juga memastikan bahwa keputusan dan tindakannya sesuai dengan kondisi rakyat dan zamannya. Misalnya, ia tidak hanya mengembangkan budaya Jawa, tetapi juga merespons perubahan sosial dan ekonomi akibat kolonialisme dengan inovasi yang tepat.

Dengan menerapkan nilai-nilai Raos Gesang ini, Mangkunegara IV tidak hanya menjadi penguasa, tetapi juga seorang pemimpin yang memimpin dengan hati, keberanian, dan kebijaksanaan, meninggalkan warisan yang berarti bagi generasi selanjutnya.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 

Sikap Pemimpin Mangkunegaran IV. Kesederhanaan dan Keterbukaan Mangkunegaran IV juga menyoroti empat sikap penting yang harus dimiliki seorang pemimpin :

  • Aja Gumunan (Jangan Terpesona) > Aja gumunan mengajarkan agar pemimpin tidak mudah terpesona atau kagum dengan hal-hal baru tanpa melakukan evaluasi dan pemikiran kritis. Ini berarti bahwa para pemimpin harus memiliki pandangan yang luas dan berpikir logis sebelum membuat keputusan. Tidak semua hal yang baru atau menarik harus diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Dalam konteks kepemimpinan Mangkunegara IV, ini berarti bahwa para pemimpin harus dapat membedakan antara inovasi yang benar-benar bermanfaat dan sekadar tren atau hal-hal yang tampaknya menguntungkan, tetapi tidak memiliki manfaat yang signifikan bagi rakyat dan negara.
  • Aja Kagetan (Jangan Terkejut) > Dalam situasi yang tak terduga atau mengejutkan, aja kagetan menunjukkan sikap tenang dan tidak terburu-buru. Pemimpin harus memiliki ketenangan pikiran dan kemampuan untuk mengendalikan diri dalam dunia yang dinamis dan berubah cepat. Ini berlaku bahkan dalam situasi yang sulit atau tidak terduga. Sikap ini membantu para pemimpin untuk berpikir objektif dan mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang penuh tekanan. Sebagai pemimpin yang menghadapi banyak tantangan selama penjajahan, Mangkunegara IV mampu tetap tenang dan menerapkan kebijakan yang matang meski dalam keadaan sulit.
  • Aja Dumeh (Jangan Sombong) > Aja dumeh mengingatkan bahwa pemimpin tidak boleh sombong atau sewenang-wenang hanya karena mereka berkuasa atau berada di tempat yang tinggi. Pentingnya menjadi rendah hati dan menjaga hubungan baik dengan semua pihak---rakyat, pegawai, dan sesama pemimpin---ditunjukkan oleh perspektif ini. Jika seorang pemimpin menganggap dirinya lebih unggul daripada orang lain, mereka cenderung menjadi otoriter dan mengabaikan kepentingan orang lain. Ini menunjukkan bahwa Mangkunegara IV selalu menjaga hubungan baik dengan masyarakatnya dan tidak terjebak dalam kebanggaan diri. Kepemimpinan yang rendah hati ini meningkatkan kehormatan dan penerimaan rakyat.
  • Prasaja dan Manjing Ajur-Ajer (Kesederhanaan dan Kemampuan Berbaur) > Prasaja berarti kesederhanaan, sementara manjing ajur-ajer mengajarkan kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat dan tidak memisahkan diri dari kehidupan sehari-hari rakyat. Kedua sikap ini merupakan landasan penting bagi seorang pemimpin untuk dapat merasakan langsung kehidupan masyarakat dan lebih mudah untuk diterima oleh mereka. Pemimpin yang sederhana, tanpa membanggakan kedudukannya, akan lebih dekat dengan rakyat dan mendapatkan kepercayaan mereka. Selain itu, kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat membantu pemimpin untuk memahami permasalahan mereka secara langsung dan memberikan solusi yang lebih relevan. Mangkunegara IV, dalam sejarahnya, dikenal sebagai pemimpin yang memperhatikan rakyatnya dan tidak terlepas dari kehidupan sosial mereka.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Prinsip Asta Brata yang berasal dari Serat Ramayajawa karya R.Ng. Yasadipura mengajarkan delapan karakteristik kepemimpinan yang terinspirasi oleh elemen-elemen alam. Prinsip ini menggambarkan bagaimana seorang pemimpin harus bertindak:

  • Ambeging Lintang/Bintang > Pemimpin harus menjadi penunjuk arah, seperti bintang yang memberikan pedoman kepada para pelaut di malam hari. Pemimpin yang memiliki visi jelas dapat membimbing rakyat menuju tujuan yang baik.
  • Ambeging Surya > Seperti matahari, pemimpin harus memberikan kehangatan, keadilan, dan kekuatan kepada rakyatnya. Matahari juga melambangkan konsistensi, karena ia terbit setiap hari tanpa gagal.
  • Ambeging Rembulan > Bulan yang bersinar di malam hari melambangkan kedamaian dan ketenangan. Pemimpin harus mampu menciptakan suasana yang harmonis di tengah masyarakat.
  • Ambeging Angin > Angin memberikan kehidupan melalui udara yang dihirup, dan pemimpin harus memberikan solusi, ketenangan, dan kenyamanan kepada rakyatnya.
  • Ambeging Mendhung > Seperti awan yang meneduhkan dan membawa hujan, pemimpin harus bersifat melindungi, memberikan berkah, dan menunjukkan kebijaksanaan.
  • Ambeging Geni > Api melambangkan keberanian dan ketegasan untuk menegakkan hukum serta keadilan. Namun, api juga harus dikendalikan agar tidak membakar tanpa arah.
  • Ambeging Banyu > Air melambangkan fleksibilitas dan kemampuan menampung berbagai macam situasi. Pemimpin yang baik harus mampu beradaptasi dengan perubahan.
  • Ambeging Bumi > Tanah melambangkan kekuatan, kestabilan, dan kemakmuran. Pemimpin harus menjadi dasar yang kokoh bagi kesejahteraan rakyatnya.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV memberikan pembagian yang sangat tajam dan jelas mengenai kualitas pemimpin dalam masyarakat. Pembagian ini tidak hanya didasarkan pada tindakan atau keputusan, tetapi juga mencakup karakter dan dampak yang ditimbulkan oleh pemimpin tersebut terhadap rakyat dan lingkungannya. 

Melalui kategori pemimpin yang ia ajarkan---Nistha, Madya, dan Utama---Mangkunegara IV menunjukkan pandangannya mengenai kepemimpinan yang efektif dan bermoral, serta bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak untuk memenuhi harapan rakyatnya.

1. Nistha (Pemimpin yang Buruk)

Nistha menggambarkan pemimpin yang buruk dalam kategori pertama. Pemimpin jenis ini sering membuat keputusan yang salah, melakukan hal-hal yang merugikan, atau bertindak secara egois untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak melihat ke depan dan hanya berfokus pada kekuatan atau keuntungan mereka sendiri. Keputusan yang mereka ambil dalam hal ini seringkali tidak menguntungkan rakyat dan dapat menimbulkan ketidakpercayaan. 

Pemimpin seperti ini sering kehilangan dukungan atau kepercayaan masyarakat karena tindakannya yang tidak bertanggung jawab atau bahkan merugikan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak peduli dengan prinsip atau etika, dan biasanya hanya mencari cara untuk mempertahankan posisi mereka, seringkali dengan cara yang tidak adil atau merugikan banyak orang.

- Contoh dalam konteks kepemimpinan : Pemimpin yang bersifat nistha mungkin melakukan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau memperlakukan rakyat dengan tidak adil, menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat dan menyebabkan perpecahan.

2. Madya (Pemimpin yang Cukup Baik)

Pemimpin Madya cukup baik dan mampu menjalankan tugas dengan standar yang memadai, tetapi tidak melebihi harapan masyarakat. Mereka mungkin menjaga stabilitas dan keseimbangan, tetapi tidak memiliki dorongan untuk inovasi atau perubahan besar. 

Mereka konsisten dan dapat diandalkan di tempat kerja, tetapi mereka kurang memiliki visi besar atau kemampuan untuk membawa perubahan besar. Pemimpin madya mungkin tidak mendapat kritik tajam, tetapi mereka juga tidak akan diingat sebagai pemimpin yang luar biasa.

- Contoh dalam konteks kepemimpinan : Seorang pemimpin dalam kategori madya mungkin cukup untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan efisien, namun tidak terlibat dalam proyek besar yang berdampak panjang atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara signifikan.

3. Utama (Pemimpin yang Luar Biasa)

Pemimpin yang luar biasa, yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan melampaui harapan publik, dianggap sebagai pemimpin dalam kategori utama. Mereka tidak hanya melakukan tugas mereka dengan sangat baik, tetapi juga memberikan dampak sosial, ekonomi, dan budaya yang positif. Pemimpin utama berfokus pada kesejahteraan rakyat dan selalu berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka melalui kebijakan inovatif, pendidikan, dan pembangunan yang berkelanjutan. 

Karena integritas dan komitmennya yang luar biasa terhadap kepentingan bersama, mereka menjadi teladan bagi banyak orang dan dicintai oleh masyarakat. Pemimpin seperti ini dihormati bukan hanya karena mereka berhasil memimpin, tetapi karena mereka sangat memahami dan memahami apa yang dibutuhkan rakyat mereka.

- Contoh dalam konteks kepemimpinan : Mangkunegara IV sendiri bisa dianggap sebagai contoh pemimpin Utama. Ia tidak hanya berfokus pada stabilitas politik, tetapi juga mendorong kemajuan budaya dan ekonomi rakyatnya. Inovasi dalam bidang ekonomi, seperti pengembangan pabrik gula dan perkebunan, serta dukungannya terhadap kesenian dan pendidikan, menunjukkan betapa besar dampaknya bagi masyarakat Mangkunegaran.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika, Prof Dr Apollo

Dalam menjalankan pemerintahannya, Mangkunegara IV menerapkan berbagai prinsip kepemimpinan yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa. Salah satu sumber penting yang menggambarkan pandangan dan prinsip-prinsip kepemimpinan ini adalah Serat Pramayoga karya Ranggawarsita, yang mengategorikan kualitas pemimpin dalam delapan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Berikut adalah penjelasan mengenai delapan kategori kepemimpinan menurut Serat Pramayoga dan kaitannya dengan kepemimpinan Mangkunegara IV :

  • Hang Uripi (Mewujudkan Kehidupan Baik > Pemimpin yang ideal harus dapat menciptakan kehidupan yang baik bagi rakyatnya. Hang uripi berarti pemimpin harus memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mangkunegara IV memahami pentingnya kehidupan yang sejahtera bagi rakyatnya, dan dalam pemerintahannya, ia melakukan berbagai inovasi yang berdampak pada ekonomi dan budaya. Salah satunya adalah pengembangan sektor perkebunan tebu yang meningkatkan ekonomi lokal dan mendorong kemajuan industri gula di Surakarta. Dengan demikian, Hang uripi menjadi kunci bagi kesejahteraan yang berkelanjutan.
  • Hang Rungkepi (Berani Berkorban) > Pemimpin yang baik harus berani berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Hang rungkepi mengajarkan pemimpin untuk rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan negara. Mangkunegara IV menunjukkan sikap ini dengan mengambil keputusan sulit yang kadang mengorbankan kenyamanan pribadi, seperti menghadapi tekanan dari pihak kolonial Belanda. Ia tetap berkomitmen untuk menjaga kedaulatan Mangkunegaran dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan luar.
  • Hang Ruwat (Menyelesaikan Masalah) > Seorang pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana. Hang ruwat mengajarkan pemimpin untuk mencari solusi dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Mangkunegara IV dikenal sebagai pemimpin yang mampu meredakan ketegangan dan memecahkan masalah yang muncul di tengah pemerintahannya. Misalnya, ia mampu meredakan ketegangan yang timbul akibat dominasi kolonial Belanda dengan menjaga hubungan baik dengan pihak luar namun tetap melindungi kepentingan masyarakat Mangkunegaran.
  • Hang Ayomi (Perlindungan) > Pemimpin yang baik harus memberikan perlindungan bagi rakyatnya. Hang ayomi berarti pemimpin harus mampu melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar. Mangkunegara IV mengutamakan perlindungan terhadap rakyat dengan menciptakan kebijakan yang pro-rakyat, seperti dalam bidang pertanian dan budaya. Ia mengembangkan pendidikan dan seni tradisional untuk menjaga warisan budaya, sehingga rakyat Mangkunegaran merasa dilindungi dari perubahan besar yang datang dari luar.
  • Hang Uribi (Menyala, Motivasi) > Pemimpin yang baik harus mampu menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi rakyatnya. Hang uribi mengajarkan pemimpin untuk menjadi teladan dalam semangat dan motivasi. Mangkunegara IV memiliki semangat yang tinggi untuk mengembangkan wilayahnya, tidak hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga budaya dan pendidikan. Ia memotivasi rakyatnya untuk lebih mandiri dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman.
  • Hang Mayu (Harmoni, Keindahan, Kerukunan) > Pemimpin harus dapat menciptakan harmoni dan kerukunan di dalam masyarakat. Hang mayu mengajarkan pemimpin untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat dengan menciptakan suasana yang harmonis dan damai. Mangkunegara IV menjaga keseimbangan sosial dengan mendorong kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat tanpa memihak kelompok tertentu. Harmoni sosial ini tercipta karena ia mampu mengintegrasikan kepentingan berbagai pihak di dalam wilayah Mangkunegaran.
  • Hang Mengkoni (Membuat Persatuan) > Seorang pemimpin harus mampu menyatukan rakyat dalam persatuan yang kokoh. Hang mengkoni mengajarkan pentingnya persatuan dalam mencapai tujuan bersama. Mangkunegara IV menunjukkan kemampuan untuk menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat Mangkunegaran, baik dalam konteks sosial, budaya, maupun ekonomi. Ia berupaya mengurangi perpecahan dan mendorong semangat gotong royong di kalangan rakyatnya.
  • Hang Nata (Bisa Mengatur/Menata) > Pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan untuk mengatur dan menata segala aspek pemerintahan dengan baik. Hang nata berarti pemimpin harus bisa mengelola sumber daya yang ada, serta mengatur jalannya pemerintahan agar berjalan efisien dan efektif. Mangkunegara IV menunjukkan kemampuannya dalam menata pemerintahan dengan menciptakan sistem yang lebih terstruktur, termasuk dalam hal administrasi pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di Mangkunegaran.

Nilai-nilai yang diajarkan dalam Serat Pramayoga Ranggawarsita tercermin dalam kepemimpinan Mangkunegara IV. Menurut kategori kepemimpinan ini, seorang pemimpin harus memiliki integritas, keberanian, dan kemampuan untuk menciptakan kemakmuran, keseimbangan, dan persatuan di masyarakat. 

Kepemimpinan yang efektif harus menunjukkan bagaimana seorang pemimpin dapat bermanfaat bagi masyarakat dan negara mereka secara keseluruhan. Pemimpin yang memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini akan menjadi teladan bagi generasi mendatang, seperti yang ditunjukkan oleh Mangkunegara IV.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr APollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr APollo

Serat Wedhatama merupakan salah satu karya sastra klasik Jawa karya Mangkuneagaran IV yang memiliki nilai moral, etika, dan spiritual yang tinggi, khususnya untuk mengajarkan perilaku seorang pemimpin. Dalam konteks ini, teks tersebut menguraikan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin berdasarkan nilai-nilai kejawaan. Beriku penjelasan tiap ajaran -- ajaran :

  • Eling lan Waspada > Seorang pemimpin harus selalu ingat kepada Tuhan (eling) dan waspada terhadap situasi serta kondisi di sekitarnya, baik dalam hubungan sosial maupun saat mengambil keputusan. Eling di sini menekankan pentingnya spiritualitas dan kepekaan batin, sementara waspada merujuk pada kecerdasan dan kehati-hatian dalam bertindak.
  • Atetambo yen wus bucik > Pemimpin tidak boleh menunggu hingga terluka atau mengalami kerusakan sebelum bertindak. Prinsip ini menekankan pentingnya pencegahan daripada pengobatan. Pemimpin harus proaktif, mengantisipasi masalah sebelum menjadi krisis.
  • Awya mematu nalutuh > Menghindari sifat angkara murka dan perbuatan nista adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menahan hawa nafsu, bersikap adil, dan menghindari perilaku yang dapat merugikan orang lain.
  • Kareme anguwus-uwus owose tan ana > Pemimpin tidak boleh gampang marah-marah atau menyalahkan orang lain tanpa alasan yang jelas. Hal ini mengajarkan pemimpin untuk bersikap sabar dan mencari penyelesaian secara bijak.
  • Gonyak-ganyuk ngelingsemi > Sikap tidak sopan, memalukan, atau terlalu mengikuti hawa nafsu bertentangan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Pemimpin harus menunjukkan budi pekerti luhur dalam perilaku sehari-hari.
  • Nggugu karepe priyangga > Jangan bertindak secara egois atau semaunya sendiri. Pemimpin harus bisa menerima masukan dan berkomunikasi dengan orang lain. Kebijaksanaan seorang pemimpin tercermin dari kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai pandangan.
  • Traping anggana >Pemimpin harus mampu menempatkan dirinya sesuai situasi dan kondisi. Dalam budaya Jawa, konsep ini disebut "tata krama" atau kesadaran akan tempat dan waktu.
  • Bangkit ajur ajer > Seorang pemimpin harus mudah bergaul dan bisa diterima oleh berbagai kalangan masyarakat. Keberhasilan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk membangun hubungan yang harmonis dengan orang-orang di sekitarnya.
  • Mung ngenaki tyasing liyan > Pemimpin harus mampu menyenangkan hati orang lain, meskipun berbeda pandangan atau latar belakang. Ini menunjukkan pentingnya empati dan sikap inklusif.
  • Den iso mbasuki ujar ing janmi > Pemimpin harus memiliki kebijaksanaan dalam berkomunikasi. Cara berbicara yang halus, bijak, dan sesuai konteks merupakan ciri pemimpin yang dihormati.
  • Ngandhar-andhar angendhukur > Pemimpin harus berbicara dengan jelas, logis, rendah hati, dan tidak mengada-ada. Kata-katanya harus dapat dipercaya dan memberikan inspirasi kepada orang lain.
  • Anggung gumrunggung > Pemimpin yang sombong, pamer, atau berlebihan dalam perilakunya dianggap bodoh. Serat Wedhatama mengajarkan bahwa kesederhanaan dan kerendahan hati adalah esensi kepemimpinan.
  • Lumuh asor kudu unggul > Pemimpin harus tetap unggul dalam kualitas dan moralitas, tetapi tidak boleh merendahkan atau menindas orang lain. Kesombongan bukanlah ciri pemimpin yang sejati.

Esensi Utama Ajaran Kepemimpinan:

Terdapat pesan yang berbunyi:

"Pemimpin harus memberikan kekuatan, kekokohan, harus teguh melawan angkara murka; hidup itu wajib tanpa syarat, hidup adalah harus serius sesuai tatanan."

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kehidupan yang tertib, adil, dan harmonis. Pemimpin tidak hanya bertugas memerintah, tetapi juga menjadi panutan yang kuat, kokoh, dan berpegang teguh pada prinsip kebenaran.

Relevansi dalam Kehidupan Modern

Nilai-nilai dalam Serat Wedhatama ini tetap relevan untuk diterapkan di zaman modern, baik dalam konteks pemerintahan, organisasi, maupun kehidupan sehari-hari. Dalam era globalisasi yang penuh tantangan, seorang pemimpin harus mampu menjadi:

1. Visioner, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai moral dan spiritual.

2. Adaptif, untuk memahami kebutuhan masyarakat dan situasi yang terus berubah.

3. Empatik, untuk membangun hubungan yang baik dengan semua lapisan masyarakat.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran IV melalui karya Serat Wedhotomo memberikan ajaran mendalam tentang bagaimana seorang pemimpin harus memiliki karakter yang kuat, terutama dalam aspek pengendalian diri, spiritualitas, dan pengabdian kepada masyarakat. Konsep yang ditampilkan dalam potongan tersebut menggambarkan pandangan ideal seorang pemimpin yang mampu menjadi teladan dan memberikan kedamaian bagi rakyatnya.

Konsep Pemimpin yang Ideal dalam Serat Wedhotomo:

  • Manusia Nusantara: Pemimpin yang Seimbang > Di sini, istilah "Manusia Nusantara" menggambarkan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin. Seorang pemimpin tidak hanya harus kuat secara fisik atau intelektual, tetapi juga harus dapat menyeimbangkan nilai-nilai spiritual dan moral. Melayani masyarakat dengan sepenuh hati adalah tujuan yang dapat dipegang oleh seorang pemimpin.
  • Ngeksiganda: Filosofi dari Kerajaan Mataram > Istilah "Ngeksiganda" berasal dari tradisi dan nilai-nilai luhur Kerajaan Mataram, yang melambangkan pemimpin yang ideal. Pemimpin tipe ini adalah sosok yang memahami bahwa tugas utamanya bukan hanya memimpin, tetapi juga menjaga keharmonisan masyarakat melalui contoh nyata perilaku luhur. Seorang pemimpin yang Ngeksiganda memiliki jiwa yang bersih, hati yang tulus, dan tujuan yang mulia.
  • Penambahan Senopati: Mengurangi Hawa Nafsu > Pemimpin dalam konsep ini harus mampu mengendalikan hawa nafsu melalui berbagai praktik spiritual, seperti: Puasa (Sebagai bentuk latihan menahan diri dari godaan duniawi), Tirakat (Menjalani kehidupan yang sederhana dan penuh kesadaran untuk mencapai keseimbangan batin), Olah Batin (Melatih kedamaian batin dan memperdalam koneksi spiritual dengan Tuhan). Melalui praktik-praktik ini, seorang pemimpin menunjukkan bahwa pengendalian diri adalah kunci utama dalam menjalankan tanggung jawab besar terhadap rakyatnya.
  • Jalan Prihatin: Kehidupan yang Sederhana tetapi Bermakna > Pemimpin yang baik harus mampu menjalani kehidupan yang penuh kesadaran, tidak berlebihan, dan tidak terjebak dalam kesenangan duniawi. Jalan prihatin di sini bermakna kehidupan yang selalu waspada terhadap godaan yang dapat merusak integritas seorang pemimpin. Kesederhanaan dan kerendahan hati akan menjadikan seorang pemimpin lebih dekat dengan rakyatnya dan lebih fokus pada tugasnya.
  • Berkarya Siang Malam demi Kedamaian Rakyat > Dalam ajaran ini, pemimpin dituntut untuk senantiasa bekerja keras, baik di siang maupun malam hari, demi menciptakan suasana yang damai dan tenteram bagi rakyatnya. Prinsip ini menunjukkan dedikasi total seorang pemimpin terhadap tanggung jawabnya. Kedamaian batin masyarakat adalah salah satu tujuan tertinggi seorang pemimpin, dan hal ini hanya bisa dicapai melalui kerja keras yang tidak mengenal waktu.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Ajaran dalam Serat Wedhotomo ini tetap relevan dalam konteks modern. Pemimpin masa kini, baik di pemerintahan, organisasi, maupun masyarakat, harus mampu mengendalikan diri dari godaan kekuasaan dan materi. Kedisiplinan, kerja keras, dan sikap melayani adalah fondasi penting yang harus dimiliki seorang pemimpin agar dapat memenuhi harapan masyarakat.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Pentingnya Spiritualitas: Hidup Harus Serius

Terdapat tiga poin yang menyoroti pentingnya spiritualitas dalam kehidupan, terutama dalam konteks kepemimpinan dan pembangunan karakter individu. Hal ini disebutkan sebagai prinsip "kas atau akas," yang berarti hidup harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran. Penjelasan poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:

  • Waktu longgar dimanfaatkan untuk kebaikan > Dalam ajaran ini, waktu luang atau waktu bebas harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Beberapa aktivitas yang dianjurkan meliputi: membatin (berkontemplasi dan refleksi diri), melakukan puasa atau tirakat untuk menahan nafsu duniawi, mengaji atau memperdalam pengetahuan spiritual. Pemanfaatan waktu secara bijak tidak hanya memperkuat keimanan seseorang tetapi juga meningkatkan kualitas diri sebagai pemimpin atau individu yang unggul.
  • Menjaga batin dan menghindari pergaulan tidak penting > Menghindari hal-hal yang tidak membawa manfaat, seperti pergaulan yang buruk atau aktivitas yang sia-sia, merupakan cara untuk menjaga kemurnian hati dan pikiran. Dalam budaya Jawa, seseorang yang mampu menjaga batinnya dari hal-hal negatif dianggap memiliki "tapa brata," yaitu laku disiplin spiritual yang tinggi.
  • Belajar dan mendalami hal-hal yang bersifat prihatin > Belajar dan prihatin adalah dua hal yang saling melengkapi. Prihatin di sini merujuk pada kesadaran untuk tidak terlalu bergantung pada kesenangan duniawi. Hal ini diiringi dengan doa yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan bimbingan dari Tuhan.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo

Tiga martabat manusia yang menjadi indikator utama kualitas kehidupan seseorang. Ketiga martabat ini saling berkaitan dan menjadi landasan dalam filosofi Jawa, khususnya dalam membangun karakter manusia yang paripurna. Berikut penjelasannya:

  • Wiryo (keluhuran) > Keluhuran mencerminkan nilai-nilai moral, kehormatan, dan kebijaksanaan seseorang. Dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang memiliki wiryo adalah individu yang dihormati karena karakter luhur, integritas, dan kearifannya dalam bertindak. Keluhuran juga berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menahan diri dari tindakan tercela.
  • Arto (kekayaan) > Kekayaan di sini bukan hanya dimaknai sebagai materi, tetapi juga meliputi kekayaan batin, seperti kepuasan hati, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain. Seorang pemimpin yang ideal tidak hanya mengejar kekayaan duniawi, tetapi juga memperhatikan keseimbangan antara kepemilikan materi dan nilai-nilai spiritual.
  • Winasis (ilmu pengetahuan) > Ilmu pengetahuan adalah landasan utama untuk mencapai keluhuran dan kekayaan. Seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas, baik dalam hal ilmu duniawi maupun ilmu spiritual, sehingga mampu memberikan keputusan yang tepat dan adil bagi masyarakatnya. Dalam budaya Jawa, seseorang yang winasis dianggap mampu melihat jauh ke depan, memahami akar persoalan, dan memberikan solusi yang bijak.

Relevansi dengan Kehidupan Modern

Ajaran-ajaran dalam Serat Wedhatama ini tetap relevan dalam konteks kehidupan modern, terutama dalam membangun karakter pemimpin yang ideal. Dalam dunia yang penuh dengan tantangan seperti saat ini, seorang pemimpin perlu memiliki:

  • Kemampuan mengendalikan diri > Pemimpin modern sering dihadapkan pada godaan seperti kekuasaan, popularitas, dan kekayaan. Ajaran untuk mengurangi hawa nafsu tetap relevan agar pemimpin tidak terjebak dalam korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
  • Dedikasi untuk bekerja keras > Kedisiplinan dan pengabdian yang tanpa henti, seperti yang dicontohkan oleh Ngaksiganda, sangat penting bagi pemimpin yang ingin membawa perubahan positif dalam masyarakat.
  • Keseimbangan antara ilmu, moral, dan materi > Pemimpin yang ideal harus mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral, dan manajemen kekayaan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan berkeadilan.

Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 
Sumber: Dokpri, Tugas Besar Etika UMB, Prof Dr Apollo 

Kepemimpinan Mangkunegara IV tidak hanya didasarkan pada kecakapan administratif atau kekuasaan, tetapi juga pada nilai-nilai kebijaksanaan yang tercermin dalam filosofi Jawa dan lakon-lakon wayang yang mengandung pelajaran moral yang dalam. 

Salah satu karya yang menginspirasi Mangkunegara IV adalah Serat Wedhotomo yang ditulis oleh Raden Mas Sudiro, yang mengandung berbagai kisah dan keteladanan dalam wayang. Dalam konteks ini, tiga tokoh wayang utama dalam Serat Tripama atau Tripomo memberikan pelajaran tentang kepemimpinan dan nilai-nilai hidup yang relevan dalam setiap situasi.

  • Bambang Sumantri/Patih Suwanda (Guna-Kaya, Purun/Kemauan Keras) > Salah satu karakter wayang yang paling terkenal adalah Bambang Sumantri, yang terkenal dengan sifat guna-kaya, yang merujuk pada keinginan kuat untuk mencapai tujuan. Bambang Sumantri memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan apa pun yang diberikan kepadanya. Ia adalah karakter dalam kisah wayang yang memiliki semangat pantang menyerah, yang menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan dan mewujudkan keinginan yang lebih baik bagi rakyatnya. Keberanian dan tekad Bambang Sumantri menjadi teladan bagi pemimpin lain yang ingin terus berjuang meskipun menghadapi banyak tantangan. Sementara itu, Bambang Sumantri memiliki seorang adik yang bernama Sukrosono, seorang raksasa yang sangat kuat namun juga berpotensi berbahaya karena sifatnya yang cenderung kasar. Hubungan antara Bambang Sumantri dan Sukrosono mencerminkan bahwa seorang pemimpin juga harus bisa menyeimbangkan kekuatan dan keahlian yang dimilikinya dengan sikap bijaksana, tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik semata.
  • Kumbakarna, Adik Rahwana (Cinta Tanah Air) > Dalam cerita Ramayana, Kumbakarna adalah adik dari raja raksasa Rahwana. Kumbakarna terkenal karena keberaniannya dalam peperangan, tetapi dia juga dikenal karena cintanya yang kuat terhadap tanah airnya. Kumbakarna adalah contoh pemimpin yang cinta dan setia terhadap negeri dan rakyatnya meskipun terpaksa bertempur dalam pertempuran besar. Kumbakarna menunjukkan bagaimana para pemimpin harus mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dia berjuang dengan sepenuh hati untuk menjaga kehormatan dan kebesaran negaranya.
  • Adipati Karna (Menepati Janji, Kesetiaan, dan Keteguhan) > Adipati Karna salah satu tokoh utama dalam epik Mahabharata, adalah contoh nyata dari pemimpin yang memiliki kesetiaan, keteguhan, dan komitmen untuk menepati janji, meskipun harus berhadapan dengan dilema moral yang besar. Karna, yang merupakan anak buangan Kunti dan saudara tiri dari Pandawa, tetap setia kepada Duryodhana, meskipun ia tahu bahwa pihak yang dibelanya tidak sepenuhnya benar. Karna mencerminkan kualitas pemimpin yang tidak hanya berpegang teguh pada janji dan kesetiaan, tetapi juga mengutamakan kehormatan, bahkan hingga akhirnya mengorbankan nyawanya di medan perang. Karna menunjukkan bahwa meskipun seorang pemimpin sering kali harus menghadapi pilihan sulit, ia tetap harus menepati janji dan memegang prinsip yang benar, bahkan dalam situasi yang paling berat. Ia menjadi simbol dari keteguhan dan kesetiaan kepada prinsip, yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin sejati.

Ketiga tokoh dari Serat Tripama---Bambang Sumantri, Kumbakarna, dan Adipati Karna---mengajarkan pelajaran penting mengenai kepemimpinan yang berbasis pada kemauan keras, cinta tanah air, serta kesetiaan dan keteguhan dalam menepati janji. Mangkunegara IV, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, pasti terinspirasi oleh nilai-nilai ini dalam memimpin wilayah Mangkunegaran, dengan menekankan pentingnya integritas, cinta terhadap rakyat, dan komitmen untuk selalu berjuang demi kebaikan bersama.

Kesimpulan

Mangkunegara IV, yang hidup dari 1853 hingga 1881, adalah seorang pemimpin cerdas yang berhasil menggabungkan prinsip-prinsip kebatinan Jawa dengan reformasi struktural dalam pemerintahannya. Prinsip kebatinan yang dia pegang menjadi dasar moral untuk mengelola pemerintahan Kadipaten Mangkunegaran. 

Mangkunegara IV menanamkan nilai integritas dan pengabdian pada para pejabatnya melalui pendekatan yang berakar pada filosofi Jawa, seperti ajaran tentang wirya, arta, dan wisesa, yang merupakan kata untuk kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan yang digunakan dengan bijak.

Kebatinan yang diajarkan Mangkunegara IV menekankan pentingnya pengendalian diri (ngudi susila), pengabdian tanpa pamrih, serta keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai ini menjadi dasar bagi upaya pencegahan korupsi dalam pemerintahan Mangkunegaran. 

Dalam praktiknya, beliau memantau secara langsung pengelolaan keuangan dan sumber daya Kadipaten, termasuk sistem tanam paksa lokal yang dikelola secara transparan. Pendekatan ini berhasil mengurangi penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa pendapatan Kadipaten digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan sosial.

Selain itu, Mangkunegara IV menggunakan nilai-nilai kebatinan untuk mengubah cara birokrasi dan masyarakat berpikir. Serat Wedhatama menekankan pengendalian diri, tanggung jawab, dan kesadaran akan konsekuensi. Pandangan ini sangat penting untuk membangun budaya anti-korupsi, yang lebih menekankan kesadaran internal daripada hukuman luar.

Transformasi yang dilakukan oleh Mangkunegara IV tidak hanya terbatas pada birokrasi, tetapi juga mencakup pendidikan dan seni budaya. Dengan menanamkan nilai-nilai luhur melalui pendidikan dan kesenian, ia menciptakan lingkungan sosial yang mendukung perilaku jujur dan bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, kepemimpinan Mangkunegara IV menunjukkan bahwa kebatinan dapat menjadi alat yang efektif dalam mencegah korupsi dan mendorong transformasi sosial. Melalui kombinasi nilai tradisional dan kebijakan modern, ia mewariskan model pemerintahan yang relevan bahkan dalam konteks kontemporer.

Daftar Pustaka

  • Suryomentaram, K.G.P.H. (1993). Serat Wedhatama. Surakarta: Penerbit Kridhamardawa.
  • Yasadipura, R.Ng. (1990). Asta Brata: Delapan Prinsip Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Balai Pustaka.
  • Ranggawarsita. Serat Pramayoga. (Teks Klasik Jawa).
  • Pramono, A. S. (1992). Kepemimpinan Jawa dalam Perspektif Sejarah dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Obor.
  • Nugroho, A. S. (2020).Filsafat Kepemimpinan Jawa dalam Serat Wedhatama
  • Margono, S. (2018). Legiun Mangkunegaran: Military and Economic Strategies under Mangkunegara IV.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun