Pendahuluan
Ranggawarsita, yang memiliki nama asli Raden Ngabehi Ranggawarsita, adalah salah satu pujangga terbesar dalam sejarah sastra Jawa. Ia lahir di Yogyakarta pada tahun 1800, dalam keluarga ningrat, yang memberikan akses kepada pendidikan dan pemikiran yang lebih luas. Keluarganya memiliki latar belakang yang kaya akan tradisi dan budaya Jawa, yang memengaruhi pandangan dan karyanya. Ranggawarsita hidup pada masa yang penuh gejolak, di mana Indonesia, khususnya Jawa, mengalami pergeseran sosial, politik, dan budaya akibat penjajahan Belanda
Secara keseluruhan, Ranggawarsita adalah simbol kekuatan sastra dan pemikiran di Indonesia, khususnya dalam konteks kebudayaan Jawa. Karya-karyanya tidak hanya mencerminkan kondisi zamannya, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus mengembangkan dan melestarikan budaya dan identitas mereka. Ranggawarsita bukan hanya seorang pujangga, tetapi juga seorang pemikir yang berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat yang lebih sadar akan nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas.
Tiga Era Ranggawarsita mengacu pada pandangan tentang perkembangan masyarakat dan budaya Jawa, yang sering dikaitkan dengan tiga periode: Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Masing-masing era ini menggambarkan kondisi sosial dan moral masyarakat.
WhatÂ
1. Era Kalasuba
Pada Era Kalasuba ini merupakan masa kejayaan dan kemakmuran. Masyarakat hidup harmonis, saling menghargai, dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.
2. Era Katatidha
Pada Era Katatidha ini merupakan era yang memasuki fase penurunan di mana moralitas masyarakat mulai tergerus.
3. Era Kalabendhu
Pada Era Kalabendhu ini adalah periode kehancuran, di mana masyarakat mengalami disintegrasi moral.
Â
HowÂ
1. Era Kalasuba
Karakteristik di Era Kalasuba, yaitu nilai-nilai moral dan etika dijunjung tinggi. Dan juga ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif.
2. Era Katatidha
Karakteristik di Era Katatidha, yaitu tanda-tanda awal dari dekadensi sosial terlihat, dan muncul egoisme dan sikap apatis terhadap norma-norma baik.
3. Era Kalabendhu
Karakteristik di Era Kalabendhu, yaitu menonjolkan sifat egoisme, di mana individu lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Moralitas mulai diabaikan, dan feodalisme kembali muncul.
Fenomena Korupsi di Indonesia
Dalam konteks ini, fenomena korupsi di Indonesia bisa dilihat sebagai cerminan dari dekadensi moral yang terjadi di Era Kalabendhu. Korupsi mencerminkan perilaku egois, di mana individu atau kelompok mengutamakan keuntungan pribadi di atas kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan karakteristik dari era terakhir yang digambarkan oleh Ranggawarsita.
WhyÂ
Evaluasi Diri dalam Konteks Tri Wikrama Ranggawarsita: Kekuatan, Keberanian, Kebijaksanaan
Evaluasi diri berdasarkan Tri Wikrama Ranggawarsita yang menekankan kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan adalah proses penting dalam memahami perjalanan hidup kita. Mengingat masa lalu, kita dapat mengidentifikasi kekuatan yang telah kita miliki serta momen keberanian yang mengubah arah hidup kita. Hal ini penting karena pengalaman masa lalu membentuk siapa kita hari ini. Saat kita beranjak ke masa kini, evaluasi ini membantu kita memanfaatkan kekuatan yang ada untuk menghadapi tantangan saat ini dengan sikap berani dan bijaksana. Dalam konteks hukum karma, setiap tindakan kita baik atau buruk memiliki konsekuensi yang akan berpengaruh pada masa depan. Oleh karena itu, memahami sebab dan akibat dari setiap keputusan mendorong kita untuk bertindak dengan tanggung jawab. Melalui evaluasi ini, kita bisa merumuskan langkah-langkah untuk masa depan yang lebih baik, dengan memanfaatkan kebijaksanaan yang didapat dari pengalaman sebelumnya. Proses ini mencerminkan ajaran Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha, yang menekankan pentingnya refleksi dalam mencapai keseimbangan dan harmoni dalam hidup.
What
Dalam "Serat Kalatidha" karya Ranggawarsita, bait ke-7 dari tembang Sinom menggambarkan kenyataan hidup yang menantang, di mana orang-orang tinggal di "jaman edan", yang merupakan metafora untuk kondisi yang tidak stabil dan rumit. Dalam bait ini, Ranggawarsita mengatakan bahwa hidup di era ini memerlukan tindakan yang hati-hati karena mengikuti mode tanpa berpikir dapat menyebabkan penderitaan dan kelaparan. Ia menekankan bahwa kesadaran dan kewaspadaan sangat penting. Meskipun banyak orang mungkin terjebak dalam kesibukan yang membuat mereka lupa diri, orang-orang yang tetap eling (sadar) dan waspada akan lebih beruntung. Selain itu, mengakui kehendak Allah saat menghadapi tantangan menunjukkan bahwa kekuatan spiritual yang lebih besar mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, bait ini mendorong pembaca untuk mempertimbangkan tanggung jawab mereka sendiri dan kebutuhan untuk introspeksi saat situasi tidak pasti.
Bait ke-7 dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita menceritakan tentang kehidupan yang sulit di "jaman edan", ketika orang-orang kesulitan mengambil keputusan. Menurut Ranggawarsita, untuk bertahan hidup, seseorang harus aktif berpartisipasi. Jika tidak, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang dan menghadapi kelaparan. Selain itu, ia menekankan bahwa kesadaran dan kewaspadaan sangat penting untuk menemukan kebahagiaan dan keberhasilan meskipun menghadapi tantangan. Mereka yang tetap eling dan waspada dengan mengingat kehendak Tuhan akan lebih beruntung daripada mereka yang lupa diri.
Dalam bait ke-12 dari "Serat Kalatidha" karya Ranggawarsita, disebutkan betapa pentingnya untuk menjadi sabar dan tahan dalam menghadapi hidup, yang seringkali penuh dengan tantangan. Ranggawarsita mengingatkan kita untuk berkonsentrasi pada mencari karunia dari Tuhan dan menghindari sifat tamak dan amarah. Kita dapat menghilangkan kutukan dan hidup lebih mudah dengan menjaga hati tetap patuh. Selain itu, pesan ini menginspirasi seluruh keluarga untuk menyerahkan diri kepada Tuhan demi kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, bait ini menekankan pentingnya nilai-nilai moral dan sosial dalam mencapai kebahagiaan.
Â
Serat Kalabendu yang ditulis oleh Ranggawarsita menggambarkan keadaan politik dan sosial yang buruk. Dalam bait pertama, penulis mengatakan bahwa negara tampak sepi dan hancur karena tidak ada pemimpin yang baik. Kerusakan ini menunjukkan bahwa tata kelola dan aturan akan diabaikan tanpa bantuan. Dalam situasi ini, "tapa" mengacu pada tindakan yang tidak memiliki garis besar yang jelas untuk diikuti, dan masyarakat pun kehilangan prinsip-prinsip kehidupan yang baik.
Di bait berikutnya, Ranggawarsita menceritakan bagaimana para sarjana dan orang pintar terjebak dalam keraguan dan ketidakpastian yang mengiringi era itu. Orang-orang yang seharusnya memiliki kekuatan dan kebijaksanaan ternyata telah merosot dan tidak mampu memberikan solusi. Ini menunjukkan bahwa orang yang berpengetahuan masih dapat terseret oleh situasi jika tidak ada tindakan kolektif untuk mengatasi masalah yang ada.
Selain itu, situasi pemerintahan, di mana raja dan para pejabatnya tidak bekerja sama, meskipun mereka berpura-pura berhati mulia. Hal ini menyebabkan berbagai keinginan yang bertentangan satu sama lain, yang membuat situasi menjadi lebih buruk. Kebingungan dan ketidakstabilan muncul karena para pemimpin memiliki banyak kepentingan yang berbeda.
Pada bagian akhir, Ranggawarsita menekankan kesedihan dan frustrasi yang dialami oleh masyarakat, menggambarkan bagaimana kecerobohan dan kurangnya kewaspadaan sering kali menghalangi upaya untuk mencapai tujuan. Keadaan hanya akan menjadi lebih buruk jika Anda terlalu terfokus pada tujuan Anda tanpa memikirkannya dengan teliti. Dalam keseluruhan karyanya, Ranggawarsita menyampaikan gagasan bahwa kesadaran kolektif dan kerja sama adalah kunci untuk membangun kembali masyarakat yang harmonis.
Dalam Serat Kalabendu, Ranggawarsita menceritakan kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat di masa musibah. Ia memberikan peringatan melalui panitisastra bahwa orang-orang baik hati sering kali terpinggirkan saat situasi sulit. Kondisi ini menunjukkan betapa sulitnya berperilaku baik di era yang kacau, di mana banyak orang menjadi gila. Pujangga yang hidup di "Zaman Gemblung" mengalami kesulitan untuk mempertahankan prinsip-prinsip moral yang kuat, dan bahkan jika mereka mencoba, mereka merasa tidak dapat bertahan dalam situasi yang tidak menentu.
Ranggawarsita mengatakan bahwa Zaman Kalabendu akan segera berakhir dan pemerintahan akan runtuh karena konflik internal. Ki Sali memberi tahu anaknya dengan harapan bahwa ini bukanlah akhir segalanya; masih ada masa depan yang tidak takut. Pembaca dimotivasi oleh pesan ini untuk tetap optimistis dan percaya bahwa ada kemungkinan perbaikan di masa depan meskipun situasi saat ini tampak buruk. Karya ini memberikan refleksi mendalam tentang masalah moral dan etika yang dihadapi manusia. Ini juga menunjukkan betapa pentingnya kesadaran kolektif untuk membawa perubahan positif.
Kesimpulan
Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil dari artikel "Ranggawarsita Tiga Era: Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia", tiga era yang digambarkan oleh Ranggawarsita Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu, mencerminkan berbagai kondisi sosial dan moral yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Korupsi muncul sebagai masalah yang berkaitan dengan kehilangan integritas dan prinsip moral dalam konteks ini, yang dapat diperburuk oleh kondisi sosial yang tidak stabil. Pembaca diminta untuk merenungkan pentingnya kebangkitan kesadaran moral dan kolektif untuk menghentikan siklus negatif ini dan menuju masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
 Daftar Pustaka
1. Ranggawarsita. Kalatidha.
2. Ranggawarsita. Kalabendhu.
3. Ranggawarsita. Fenomena Korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H