Mohon tunggu...
Nabila Septi
Nabila Septi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi S1 Akuntansi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Money

Diterpa Badai Bubble Burst, Startup PHK Masal?

9 Juni 2022   14:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   14:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masih hangat diperbincangkan, belakangan ini sejumlah startup di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap banyak karyawannya. Berdasarkan informasi yang terhimpun, setidaknya ada enam startup di tanah air yang telah melakukan PHK masal sejak awal tahun 2022. Hal ini bermula ketika Zenius melakukan PHK lebih dari 200 karyawannya, kemudian tak berselang lama disusul oleh LinkAja, dan terbaru JD.ID melakukan hal yang serupa.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, PHK masal juga terjadi di startup luar negeri, seperti Bolt dan Netflix. Ada pula perusahaan teknologi publik dan swasta seperti Section 4 dan Carvana. Penurunan dan perlambatan pendapatan menjadi alasan utama PHK dilakukan, alasan beragam lainnya adalah optimalisasi dan penyesuain proses bisnis.

Dihimpun dari Techcrunch pada 21 Mei 2022, pihak Netflix AS menyatakan, "Seperti yang kami jelaskan tentang pendapatan, pertumbuhan pendapatan kami melambat berarti kami juga harus memperlambat pertumbuhan biaya kami sebagai sebuah perusahaan"

Situasi ini lantas dikaitkan dengan fenomena bubble burst yang terjadi di Industri startup. Bubble burst merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi yang melonjak tinggi, kemudian secara bersamaan diikuti oleh kejatuhan yang relatif cepat. Dalam konteks startup, kondisi ini dapat dilihat dari menjamurnya startup di seluruh dunia yang disambut dengan banyaknya dana dari investor.

Pada tahun 2019, pendanaan dari investor mencapai 143 milyar dolar AS dari semula hanya 26,9 milyar dolar AS hingga membuat 348 startup menyandang status sebagai Unicorn. Pada tahun 2021, jumlah Unicorn pun melonjak menjadi lebih dari 500 unit. Dengan demikian, harga aset pun melonjak melebihi nilai dasarnya sebab terjadinya euforia pasar.

Namun, saat pasar memuncak, sejumlah situasi yang memicu kepanikan terjadi, diantaranya suku bunga naik, inflasi melonjak, dan diperumit dengan terjadinya perang Rusia-Ukraina. Hal itulah yang dapat memicu perubahan perilaku investor yang memilih untuk berhati-hati dalam memberikan pendanaan pada startup. Akhirnya, pasar saham pun merosot, penawaran umum terhenti, dan investasi pun turun.

Maraknya PHK masal yang dilakukan startup terjadi karena likuiditas pada industri startup berkurang. Akibatnya para investor makin selektif dalam melakukan pendanaan. Mereka tidak akan lagi menyetujui 'bakar uang'  yang tidak akan ada habisnya untuk melakukan persaingan pasar, seperti promo, pemberian diskon besar-besaran, cashback, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, startup harus bijak dalam mengelola dana dan melakukan efisiensi lainnya, seperti mengurangi biaya pemasaran atau menunda peluncuran produk baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun