Mohon tunggu...
Nabila Putri Syasabil
Nabila Putri Syasabil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Fatum Brutum Amorfati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gerakan Perempuan, dari Perlawanan Tradisional hingga Pembentukan Organisasi Perempuan: Sebuah Catatan Historiografi

3 Januari 2021   11:11 Diperbarui: 3 Januari 2021   14:13 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Wikipedia Commons

Perhatian S.K. Trimurti terhadap perempuan sangatlah besar. Selain memberikan kursus kepada kader BBW ia bersama Sri Mangunsarkoro, Suprapti, dan tokoh perempuan lainnya terlibat langsung dalam penyelenggaraan Rapat Samudra Wanita di Kridosono, Yogyakarta pada 24 Februari 1946, yang dihadiri perempuan-perempuan dari segala lapisan. S.K. Trimurti akhirnya menerima jabatan sebagai Menteri Perburuhan dimana ia adalah satu-satunya perempuan yang duduk di kabinet Ali Syarifoeddin I.

Dari adanya pembentukan Barisan Buruh Wanita masa S.K. Trimurti tersebut menandakan bahwa perlawanan perempuan sejak kemerdekaan sudah tidak dilakukan secara individu, melainkan melalui organisasi-organisasi. Gerakan perempuan masa S.K. Trimurti ini menjadi lebih terstruktur dan terorganisir.

Selanjutnya pada tahun 1950, S.K. Trimurti dalam buku Mulyono Atmosiswartoputra yang berjudul Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah membentuk Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis).

Buku ini menjelaskan mengenai Gerwis yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi wanita, yaitu Gerakan Wanita Rakyat Indonesia Kediri, Persatuan Wanita Sedar Surabaya, Rukun Puteri Indonesia Semarang, Persatuan Wanita Sedar Bandung, serta Persatuan Wanita Murba Madura. Perempuan yang menjadi anggota Gerwis meyakini bahwa organisasi perempuan yang sebelumnya telah ada tidak memuaskan tujuan perjuangan mereka.

Setelah Gerwis berdiri, anggota-anggotanya dikerahkan ke daerah-daerah supaya turut serta menggerakkan rakyat agar terbentuknya kesatuan. Pada Kongres II Gerwis, terjadi perubahan nama dan bentuk organisasi menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang semula berorientasi kader menjadi berorientasi massa dan berjuang demi hak-hak perempuan dan anak-anak. Umi Sardjono kemudian terpilih menjadi Ketua Gerwani.

Amurwani Dwi Lestariningsih dalam bukunya yang berjudul Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan menjelaskan mengenai perkembangan Gerwani sebagai organisai perempuan yang memiliki jumlah massa yang terus meningkat. Dalam buku ini, kisah-kisah mengenai tapol perempuan di Plantungan dijelaskan secara rinci, bahkan letak Kamp Plantungan juga diceritakan.

Dalam menncari anggota, Gerwani dalam buku ini diceritakan melakukan pendekatan kepada anggota baru yang melibatkan berbagai jenis kegiatan sosial seperti arisan, jumputan beras, hingga mengunjungi kelahiran dan kematian. Para anggota Gerwani umumnya tertarik masuk karena isu sentral yang diangkat berkaitan dengan masalah-masalah feminisme.

Terbukanya peluang bagi anggota Gerwani untuk menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum mendorong Gerwani bergabung dengan PKI. Alasan lain Gerwani mendukung PKI karena program-program PKI yang dirasa seide dengan program-program Gerwani, seperti program PKI yang menjamin emansipasi dan hak untuk perempuan. Dukungan politik Gerwani terhadap PKI dan Sukarno, dalam hal pencapaian masyarakat sosialis di bidang hak-hak perempuan, terus dilakukan.

Hingga tanggal 30 September 1965, Gerwani belum resmi menjadi organisasi massa yang bernaung (underbouw) dengan PKI, namun ada keterkaitan antara Gerwani dengan PKI dalam beberapa programnya. Kemudian terjadilah kup yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September  yang juga menjadi akhir perjuangan Gerwani.

Pasca tragedi tersebut, terjadi pembubaran PKI dan simpatisannya yang merupakan fase baru yang menyedihkan bagi orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa yang menandai sejarah kelam di republik ini. Selain PKI, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) juga dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut. Organisasi yang beranggotakan perempuan itu dianggap berperan dalam membantai jenderal AD bersama dengan anggota PKI.

Gerakan perlawanan perempuan dari yang bersifat individu kemudian melalui organisasi-organisasi nyatanya mampu membuktikan bahwa kaum perempuan tidak tinggal diam melihat ketidakadilan di Indonesia. Matinya gerakan perempuan terjadi pada masa Orde Baru, dimana perempuan membiarkan dirinya dicetak mengikuti budaya "ikut suami" (Suryakusuma, 2011: 17).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun