Perempuan yang melawan menjadi salah satu fenomena penting dalam sejarah. Sebagai sebuah gerakan, kesadaran perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya mulai muncul di Inggris pada tahun 1792. Gerakan tersebut muncul setelah seorang filsuf Inggris, Mary Wollstonecraft menerbitkan buku yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman.
Namun jauh sebelum hal itu, gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah ada sejak abad ke-4 SM. Pada masyarakat Yunani kuno perempuan ditempatkan sebagai sosok yang inferior. Itulah mengapa setiap pemilihan umum perempuan tidak pernah dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki rasionalitas seperti laki-laki.
Tidak hanya itu, perempuan yang sudah menikah bahkan harus tunduk terhadap suaminya. Hukum di Athena pun membiarkan seorang suami untuk bertindak sesuka hati. Termasuk untuk berbuat zina. Sebaliknya, jika perempuan yang berbuat zina, si suami berhak membunuh istrinya.Â
Gerakan perempuan kemudian mulai banyak terjadi, dikarenakan kesadaran mereka mengenai penindasan dan ketidakadilan terhadap hak-hak perempuan. Di Indonesia sendiri, kisah-kisah mengenai perempuan perkasa yang melawan ketidakadilan sudah tercatat sejak akhir abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20. Kisah perlawanan yang paling banyak dikisahkan pada masa itu ada pada sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904).
Tujuan gerakan-gerakan feminisme pada masa itu cukup jelas. Gerakan tersebut difokuskan pada suatu isu yaitu untuk mendapatkan hak pilih (the right to vote). Mereka dengan gigih mengambil bagian dalam perjuangan untuk memberikan suara, hak-hak yang sama, status hukum, dan kesempatan akan pendidikan dan pekerjaan (Syakwan Lubis, 2006:75).
Gerakan perempuan pada abad ke-18, masih bersifat tradisional, hanya dilakukan oleh satu individu dan merupakan perlawanan-perlawanan melawan penjajahan. Pada Perang Jawa misalnya, Raden Ayu Serang yang merupakan putri dari Penembahan Senopati itu angkat senjata saat Perang Jawa pecah untuk membantu putranya, Pangeran Serang II (Peter Carey, Vincent Houben, 2019:32).
Pada pertengahan abad ke-19, gerakan perempuan lebih terorganisir dan tersturktur. Pembentukan organisasi perempuan seperti Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sedar), Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), dll menjadikan gerakan wanita kemudian bisa lebih berkembang.
Gerakan Perempuan Masa Kolonial
Perlawanan-perlawanan perempuan sudah ada bahkan sejak kedatangan Portugis di Indonesia. Mulyono Atmosiswartoputra dalam bukunya yang berjudul Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah mengisahkan perlawanan Ratu Kalinyamat yang tak gentar melawan penjajahan Portugis di Indonesia.
Dalam buku tersebut diceritakan secara runtut mengenai perjuangan Ratu Kalinyamat. Jauh sebelum lahirnya Kartini, Ratu Kalinyamat yang juga berasal dari Jepara ini dinobatkan menjadi pemimpin Jepara pada tahun 1549. Pada masa kepemimpinannya, Jepara menjadi Pangkalan Angkatan Laut dan memiliki armada perang yang sangat kuat.
Hal ini dapat dilihat ketika Jepara mengirim angkatan perangnya ke Malaka untuk menggempur Portugis. Semangat perlawanan Ratu Kalinyamat tidak pernah luntur meskipun mengalami kekalahan melawan Portugis. Ratu Kalimayat menunjukkan ketangguhan dan keberaniannya ketika pada akhirnya Jawa bebas dari penjajahan Portugis pada abad ke-1